23. Bali (D); Pantai

Beginne am Anfang
                                    

Bosan terus berbaring di tempat tidur, aku pun berjalan menggunakan kruk ke balkon kamar. Dari balkon aku dapat melihat pantai Kuta yang indah dan berkilauan karena terkena sinar matahari. Kalau saja kakiku tidak sakit, pasti aku sudah ikut berlarian di tepi pantai seperti orang-orang di bawah sana. Aku benar-benar iri dengan mereka.

“Mau ke pantai?” tanya Dewa tiba-tiba. Membuat aku terlonjak kaget. Untungnya aku tidak punya riwayat penyakit jantung. Kalau punya, mungkin aku sudah tinggal nama sekarang.

Yaelah bos ... kalo masuk kamar orang nggak bisa ketuk pintu dulu gitu? Coba kalo gue yang begitu, pasti udah diceramahi panjang lebar tanpa jeda.

“Tadi saya udah ketuk pintu, tapi kamu nggak ngerespons, Pitaloka. Saya takut kamu kenapa-napa,” jelas Dewa tanpa ditanya. Sepertinya makluk berkromosom XY itu tahu yang tahu apa yang tengah aku pikirkan. Masa, sih, aku semudah itu untuk dibaca?

Aku cengengesan. “Maaf, Mas, saya nggak denger. Mungkin karena saya lagi di balkon.”

Dewa mengangguk mengerti. “Gimana keadaan kaki kamu?”

“Sudah lebih baik, kok, bengkaknya mulai berkurang. Oh, ya, Mas, makasih karena tadi malem udah nolongin saya pas tenggelam dan makasih udah nganter saya ke rumah sakit buat rontgen. Maaf baru bilang makasih sekarang karena tadi malem saya malah ketiduran pas pulang dari rumah sakit,” ujarku tak enak.

Tadi malam aku memang tidak sempat bilang terima kasih untuk segala hal yang Dewa lakukan padaku. Dikarenakan pulang dari rumah sakit aku malah ketiduran di mobil. Bangun-bangun aku sudah ada di kamar dengan Agnia yang menemani.

Dewa mengangguk paham, kemudian menatap mataku tajam. “Saya nggak bakal ngelarang kalo kamu mau berbuat kebaikan, Pitaloka. Tapi tolong, usahakan kebaikan itu nggak bikin kamu celaka. Membantu orang lain memang perlu, tapi kalo itu buat kamu terluka ya, sama aja boong.”

“Ya, Mas, saya paham. Sekali lagi terima kasih.” Bukannya marah karena Dewa menceramahiku panjang lebar aku malah senang. Membuat aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa aku sudah gila sekarang?

Saat aku sedang menenangkan jantungku yang mulai berdebar abnormal, Dewa tiba-tiba berjongkok di depanku. Membuat aku mengerutkan kening bingung. “Mas Dewa kamu—“

“Naik!” perintah Dewa.

“Hah?”

“Saya bilang naik, Pitaloka. Ayo ke pantai!”

Aku memelototkan mata kaget. Maksudnya Dewa mau menggendongku sampai pantai?!

“Tapi, Mas, say—“

“Ini perintah! Ayo cepat naik, Pitaloka!”

Aku meneguk ludah kasar. Hati dan pikiranku berdebat di dalam sana. Hati berkata ‘ya’ tapi logika berkata sebaliknya.

Aku berpikir cukup lama, tapi akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti kata hatiku sendiri dan segera naik ke punggung lebar Dewa. Please, untuk kali ini saja, izinkan aku menjadi orang yang tak tahu diri.

Dewa segera berjalan ke arah pantai setelah aku naik di gendongan makluk berhormon testosteron itu, dan selama perjalanan tentu saja kami menjadi pusat perhatian. Karena malu aku menenggelamkan wajahku di lekuk leher Dewa. Sedangkan pria itu terlihat cuek bebek seperti biasa, walau orang-orang terang-terangan menatapnya dengan pandangan seolah mengejek ‘Dasar bucin!’ tanpa kata.

Sesampainya di tepi pantai Kuta, kupikir Dewa akan menurunkanku di pasir lalu membiarkanku duduk di tepi pantai seraya menikmati senja. Namun yang terjadi malah sebaliknya, karena Dewa juga mengajakku bermain kejar-kejaran dengan ombak walau aku masih tetap di dalam gendongan pria itu.

Aku sudah melarang Dewa untuk tidak melakukan hal tersebut, karena aku sadar kalau berat badanku tidak ringan sama sekali. Tetapi laranganku ditolak mentah-mentah oleh Dewa.

Pria itu lagi-lagi membuat dadaku hangat dan kupu-kupu di perutku berterbangan. Jangan tanyakan jantungku, karena ia sudah menggila sejak tadi. Kalian tahu itu.

Alhasil kami bermain ombak seraya sesekali berbagi tawa. Berbagi renjana keracak* yang membuat dadaku hampir meledak. Ah, walau akhirnya hanya aku yang merasakan renjana*, itu sama sekali tidak masalah karena begini saja sudah membuatku bahagia. Karena setelah sekian lama akhirnya aku jatuh cinta lagi. Ya, aku mengaku kalah.

Ternyata feeling mama benar. Bali memang membawa keberuntungan.

***

Noted :

Keracak* adalah perasaan melonjak-lonjak atau merasa girang.

Renjana* adalah rasa hati yang begitu kuat.  Seperti: cinta,  kasih,  sayang.

Trapped  (Terbit) ✓Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt