“gue mau ke SMA bakti, pas lewat liat lo disini, makanya gue samperin” jawab ali datar, seolah mengisyaratkan kalau dirinya memang biasa saja pada prilly.

Prilly menghela pelan, mengerti kalau ali tak mungkin mencarinya. Karena mungkin namanya pun masuk dalam bagian yang tak penting bagi ali.

“ooh gitu” balas prilly lesu, dan melepaskan tangannya dari tangan ali dan membuang mukanya menatap kosong permukaan danau yang bergemerisik tertiup angin.

“lo bolos? Kenapa? Gara-gara sama ule tadi?” tanya ali bertubi-tubi. Lagi-lagi, prilly dengan cepat memutar kepalanya untuk menatap ali yang masih dengan posisinya tadi.

“lo nanya?” tanya prilly balik. Karena setahu prilly, baru kali ini ali bertanya tentang dirinya lebih dari satu pertanyaan. Apa ini tanda dia perhatian atau hanya sekedar bertanya?. Pertanyaan itu bermain di benak prilly. Karena, gritte pernah mengatakan padanya, tak semua orang yang bertanya pada kita karena dia peduli, mungkin dia bertanya hanya sekedar ingin tahu, setelah itu pergi. Dan ali, rasanya tak mungkin masuk dalam bagian orang yang peduli padanya.

Prilly langsung memukul kepalanya sendiri, karena sudah berpikir yang buruk tentang ali.

“kenapa pril? Sakit?” lagi-lagi ali kembali terlihat seperti menunjukkan kekhawatirannya pada prilly. Dia langsung berjongkok dan memegang kedua tangan prilly yang masih memukul-mukul kepalanya.

Prilly menatap kaget tangannya yang merasakan kehangatan dari tangan ali yang bersentuhan dengan tangannya. Iya, ali memegang erat tangannya. Wajah pucat dan kuyunya, menatapnya penuh kekhawatiran. Dan rasanya prilly baru kali ini melihat ali memandangnya seperti ini.

Ali dan prilly terdiam dengan kehanyutan tatapan mereka berdua. Semilir angin, menghembuskan musik tersendiri bagi mereka berdua. Tak ada satu pun kata atau kalimat yang meluncur dari bibir mereka masing-masing. Ali terhanyut dengan kecantikan prilly. Dan prilly terlalu kaget dengan kekhawatiran yang terpancar sangat jelas di wajah ali, dan kalaupun ali mengelak, dia tak akan bisa, karena kekhawatiran yang ada di wajah ali, tak bisa dibohongi lagi.

“lo.. khawatir, sama gue.. li?” tanya prilly ragu dan masih tak percaya dengan apa yang didengar dan dilihatnya saat ini.

Ali mengerutkan keningnya saat prilly melontarkan pertanyaan yang sangat aneh baginya. Ali menghela napasnya pendek dan menempelkan punggung tangannya pada kening prilly, “lo ga sakitkan?” dia kembali bertanya dan tak menghiraukan pertanyaan prilly tadi.

Prilly mulai terhipnotis dengan sikap ali yang penuh teka-teki dan tak pernah di mengertinya. Prilly menggelengkan kepalanya pelan, menatap ali dengan datar.

Ali menghela lega. Dia melepaskan tangannya dari kening prilly, dan ikut duduk di samping prilly.

“jadi, apa yang ngebawa lo kesini?” tanya ali, ikut menatap danau yang ada di depannya.

Ali sedikit tersenyum saat melihat danau ini. Danau ini tak pernah dilupakan oleh ali sedikitpun. Semuanya masih tergambar jelas di benaknya. Semua tentang masa lalunya. Dua belas tahun yang lalu. Dengan gadis mungil yang sudah disukainya sejak lama, dan dia berjanji akan menjaga gadis itu sampai kapanpun. Dan danau ini, serta sekitarnya, menjadi saksi janji ali saat itu.

Prilly mengendikkan bahunya, enggan untuk menjawab pertanyaan ali, karena ali lah yang membuatnya berlari kesini, menenangkan diri, walau dia merasa baru pertama kali ke tempat ini namun tempat ini seolah tak asing baginya.

“gue.. Cuma mau menyendiri aja” jawab prilly dengan parau. Dia menatap kosong danau yang ada di depannya, padahal terpancar jelas di matanya kalau prilly sedikit berbohong. Dia memang ingin menyendiri, tapi lebih tepatnya, hatinya terluka dengan sikap ali yang seolah tak sedikitpun merasakan kecemburuan jika dia bersama cowok lain.

girlfriend vs footballWhere stories live. Discover now