chapter one

90.4K 3K 21
                                    

"pulang gih" ucap ali, sambil menerima sodoran aqua botol dari pacarnya, prilly latuconsina. Prilly yang baru saja tersenyum menyambut hangat kedatangan pacarnya, langsung membuang mukanya, kesal karena ali seperti tak menghargai kedatangannya.

"masih mau disini" celetuk prilly pelan, namun ali malah tak mendengarkan ucapan prilly.

"eh, iya iya. Minggu depan latihan lagi buat turnamen bulan depan" teriak ali, sambil melambaikan tangannya pada temannya. Ternyata dia malah mengobrol bersama temannya.

Prilly mendengus kesal. Kesal karena ali selalu seperti ini. Selalu terlihat lebih mementingkan futsal, lebih mencintai futsal, dibanding dirinya sendiri, yaitu pacarnya.

"gue balik!" ketus prilly kesal, dan menyampirkan tasnya dengan kencang.

Ali yang mendengar prilly pamit, langsung menoleh, "hati-hati" cetusnya datar, "thanks airnya sama kehadirannya" lanjut ali lagi, namun dia tak sedikitpun menyadari kekusutan di wajah prilly. Dia hanya melemparkan senyum singkatnya pada prilly.

Prilly tak sedikitpun melirik ali, dia langsung berderap pergi begitu saja, meninggalkan ali yang prilly sendiri sudah tahu kalau ali tak sedikitpun melepas kepergiannya dengan kata-kata romantis yang kebanyakan orang yang pacaran katakan.

Prilly berjalan menyusuri trotoar kompleks perumahannya dengan menghentak-hentakkan kakinya. Dia benar-benar kesal dengan sikap ali yang sedikitpun tak pernah berubah. Hampir satu tahun pacaran, ali tak sedikitpun pernah bersikap romantis dan perhatian padanya. Dia selalu lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain futsal, tanding futsal, dan semuanya futsal.

"arrghh.. pacarnya itu gue apa si bola futsal sih" gerutu prilly. Namun, dia tak bisa memungkiri tentang perasaannya terhadap ali. prilly terlalu mencintai ali. karena itulah sampai saat ini dia masih mau bertahan untuk di dekat ali. bertahan untuk menjadi pacar ali, yang seolah tak pernah dilirik sedikitpun oleh ali.

"woi, kenapa muka lo kusut gitu?" tegur gritte, sahabat prilly yang ternyata sudah menunggui prilly di teras rumahnya, sambil membawa setumpuk buku, yang tak salah lagi pasti kumpulan soal-soal matematika.

"jangan bilang lo kesini mau minta ajarin matematika?" tuding prilly langsung, semakin mengerucutkan bibirnya, kesal karena harus bertemu dengan pelajaran yang sedang tak ingin ditemuinya saat ini. Dia mencintai matematika. Sangat mencintai matematika. Mungkin cintanya pada matematika sama persis seperti ali mencintai bola futsalnya, namun satu hal yang tetap berbeda, prilly masih menghargai keberadaan ali dibandingkan ali yang tak pernah menghargai kehadirannya.

Kekesalannya pada sikap ali tadi, yang langsung menyuruhnya pulang, membuat moodnya sangat memburuk. Sangat-sangat buruk, dibanding dia mendapatkan nilai enam pada pelajaran yang dia sukai.

"yap" jawab gritte dengan enteng, dan mendekati prilly.

"jangan deket-deket" cegah prilly dengan cepat, menahan gritte agar tak menghampirinya. Namun, gritte tak mempedulikan cegahan prilly, dia langsung menyodorkan setumpuk soal-soal matematika yang ada di tangannya ke tangan prilly yang tanpa sadar menerima tumpukan yang diberikan gritte.

"duh teeee, lo kalo mau minta ajarin, di saat mood gue lagi ga down doooong" seru prilly sedikit meringis, ingin menangis namun tak ada air mata yang menetes dari matanya.

"emang ada apaan lagi sih?" tanya gritte bingung karena sahabatnya benar-benar terlihat sangat kusut hari ini, "daan.. lo dari mana?" lanjut gritte lagi, karena prilly tak memberitahukan apa-apa padanya, yang dia ingat, prilly sudah menjajikan kalau dia sore ini akan mengajarinya matematika.

"tau ah" seru prilly kesal, dan melangkah dengan gusar ke dalam rumahnya, namun, baru saja melangkah di ambang pintu, ada tangan yang memegang bahunya, menahannya untuk masuk ke dalam rumah, "apalagi sih teeee?" teriak prilly semakin dongkol.

girlfriend vs footballTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang