24

164 23 0
                                    

(Backsound: Adele-Hello)


******

2 Januari 2008

"Mau minum?" seorang gadis menoleh pada sosok pria yang memberikannya air mineral.

Gadis itu tersenyum, lalu menerima pemberian dari seorang yang sebenarnya sudah dikenal sejak masa orientasi dulu. Shelby melihat wajah pria yang masih berdiri di hadapannya, wajah itu sudah sangat tidak asing lagi dengannya. Itu adalah Willis Galvin. Siapa yang tidak tahu salah satu Mahasiswa yang terkenal seantero Kampus ini? Dari segi fisik sudah tidak usah ditanya. Betapa menawannya pria ini walau hanya menggunakan pakaian seadanya. Otaknya pun tidak usah diragu kan lagi kepintarannya. Willis selalu menjadi bahan perbicaraan teman-temannya setiap kali mereka melihatnya. Shelby sudah mengenal Willis jauh sebelum teman-teman. Sejak masa orientasi, ia berada dalam satu kelompok dengan Willis, dan pria itu lah yang mengajaknya bicara untuk pertama kali. Setelah itu, mereka saling mengenal satu sama lain sampai detik ini.

Willis duduk di sampingnya, dengan jaket kulit hitam dan kaos putih yang terpasang di tubuhnya, serta celana levis yang menutupi kaki panjangnya. Wajah Willis dipenuhi dengan keringat, terkena sinar matahari yang begitu menyengat. Membuat mata Shelby tidak berpaling darinya. Shelby mengeluarkan tisu, lalu menghapus keringat yang membasahi wajah Willis. Willis reflek menoleh, dan Shelby menghentikan gerakannya lalu menunjukan senyum manisnya.

"Keringetan banget, sih. Memangnya habis darimana?" tanya Shelby yang senyumnya tidak luntur dari wajahnya.

Willis diam. Terpana dengan wajah Shelby yang sedang tersenyum manis di hadapannya. Seketika jantung Willis terhenti, hatinya ingin berteriak betapa manisnya senyum Shelby hari ini. Dalam beberapa kesempatan, Willis pernah bertemu berbicara langsung dengannya, seperti saat ini. Dan dalam kesempatan itu entah apa yang dirasakan oleh hatinya, tapi ia merasa nyaman dekat dengan Shelby. Atau mungkin karena aura yang dipancarkan begitu positif? Sehingga membuat orang-orang yang ada di dekatnya terasa nyaman.

"Cari lo," jawaban yang keluar dari mulutnya benar-benar reflek, tapi memang benar, Willis sedang mencari Shelby. Kenapa gue bodoh banget, sih? Willis bergumam dalam hatinya.

"Cari gue?" Shelby mengernyit bingung. "Memang gue kenapa sampai dicariin?" sambungnya masih dengan ekspresi bingung.

"Nggak. Gue mau minta bantuan lo, lo anak Sastra Indonesia kan?" tebak Willis yang dianguki oleh Shelby. "Lo mau bantu gue nggak?" Willis bertanya memastikan.

Shelby diam sejenak. Ternyata seorang yang dikagumi banyak orang bisa meminta bantuan juga. Shelby menunduk, berpikir sejenak sebelum memilih keputusan.

"Pertama gue mau nanya dulu. Kenapa harus gue?" Shelby melontarkan sebuah pertanyaan pada Willis. Hanya ingin tahu alasan kenapa Willis meminta bantuan padanya? Padahal ada banyak anak Sastra Indonesia yang menjadi penggemar Willis, bahkan teman sekalasnya pun banyak. Tapi kenapa harus Shelby.

Sebenarnya Willis tidak suka seperti ini. Tapi apa boleh buat? Willis juga butuh Shelby. Sangat membutuhkannya. Jadi, mau tidak mau Willis harus menjawab pertanyaan Shelby yang baru saja dilontarkan padanya.

"Anak sastra yang paling gue kenal cuma lo doang. Dan katanya waktu lo SMA, lo pernah bikin karya puisi untuk anak-anak pengidap Kanker dan hasil penjualan bukunya, dikasih sama anak-anak pengidap Kanker. Terus lo juga pernah juara lomba menulis puisi. Jadi, gue pikir lo bisa bantuin gue, dan gue sangat memohon."

Dalam seumur hidupnya, Willis tidak pernah berbicara sepanjang ini, kecuali kalau ia benar-benar butuh atau sedang rapat. Dan kali ini Willis benar-benar butuh Shelby.

TiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang