08

310 55 5
                                    

(Backsound: Astrid-Tentang Rasa)

*****

Sebuah kebiasaan yang jarang Tiara lakukan adalah; bangun terlambat. Dan hari ini Tiara bangun terlambat. Kalau tadi malam ia tidak terlambat menutup mata, mungkin jadwal bangun Tiara tidak akan mundur seperti ini. Bayangkan saja, Tiara tidur jam tiga pagi, sebuah keajaiban baginya bisa bangun jam enam lewat lima belas menit. Padahal mata kuliah akan dimulai pukul 07.30. Dan Tiara belum mempersiapkan apapun, apalagi ia harus menyiap 'kan sarapan untuk dirinya dan sang Ayah.

Keterlambatannya membuat Tiara tampil seadanya. Dengan baju dan celana yang ia lihat pertama kali saat membuka lemari, serta bedak bayi dan liptint yang menghiasi wajahnya, tanpa apapun lagi. Tiara menggunakan rias wajah untuk kepuasan dirinya sendiri. Tergantung suasana hatinya ingin tampil seperti apa. Contohnya hari ini, karena ketetera dan terdeska oleh waktu, Tiara sangat tidak nyaman dengan penampilannya. Tapi tidak apa, asal ia tidak terlambat masuk kelas. Karena pelajaran pertama adalah Bu Diana, orang yang tidak memberikan toleransi waktu keterlambartan.

Tiara berdecak ketika mendengar pintu kamarnya diketuk beberapa kali disertai panggilan namanya. Itu adalah Ayah, Tiara mengabaikan suara ketukan pintu karena sedang merapih 'kan isi tasnya agar tidak terlalu berantakan. Tapi, ketukan dan suara yang memanggil namanya itu semakin diabaikan semakin keras. Mau tidak mau, akhirnya Tiara menunda kegiatannya yang sedang merapihkan tasnya. Tiara membuka pintu dan di hadapannya sudah ada sang Ayah sambil memegang segelas kopi yang ia buat sendiri.

"Temen kamu, tuh, sudah di depan," ucapan Darto membuat Tiara mengernyit bingung.

Temannya? Siapa? Linda? Biasanya Linda akan memberi kabar kalau ia ke datang. Tapi ini tidak ada kabar apapun dari Linda.

"Temen aku?" tanya Tiara bingung.

"Iya. Mending kamu ketemu dia dulu, nanti lanjutin rapih-rapihnya."

Tiara menguk kan kepalanya dan berlari kecil ke depan rumahnya. Ia diam sejenak. Tidak percaya. Di hadapannya sudah ada pria dengan kemeja berwarna putih dan celana bahan berwarna hitam panjang. Pria itu sedang memainkan ponselnya dan bersandar pada pintu mobil.

Willis? Bisiknya dalam hati. Selama beberapa detik melihat dari jendela, Tiara akhirnya menemui pria itu dengan penampilan yang sungguh tidak sempurna dan kurang puas.

"Willis?" panggil Tiara dengan suara lembutnya. Willis yang awalnya fokus pada ponsel-nya, kini mendongkak kan kepalanya dan memasukan ponsel ke dalam saku. "Kok, di sini? Ngapain?" tanyanya bingung.

"Inget apa yang gue bilang semalem? Lo sekarang nggak perlu takut keluar rumah karena ada gue," Willis berbicara dengan nada datarnya.

"Ya, tapi kan aku mau kuliah," suara Tiara tiba-tiba menjadi tinggi.

"Gue antar, lah. Sudah sana rapih-rapih lagi. Gue tunggu."

Tiara diam beberapa saat dan berlari ke dalam rumahnya untuk mengambil tasnya yang bahkan belum selesai dirapihkan. Bahkan tidak jadi dirapihkan karena Tiara memasuk kan apapun ke dalam tasnya. Setelah selesai dengan tasnya, Tiara mengambil sepatu yang ia lihat pertama kali di rak. Penampilannya hari ini benar-benar berantakan, semua serba seadanya.

Keluar dari rumahnya, Tiara melihat Willis dan Ayah-nya sedang ngobrol sesekali mengeluarkan candaan dan tertawa. Dengan rasa yang benar-benar tidak enak, Tiara menghampiri mereka dan yang sedang bercanda.

"Om, saya pergi dulu, ya," pamit Willis pada Darto.

"Iya, jagain anak saya, ya," balas Darto.

"Aku berangkat dulu, Yah," Tiara juga berpamitan pada Darto dan mengikuti Willis masuk ke mobil.

TiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang