Part 8

8K 555 5
                                    

Mas Adi menyodorkan paper bag. Dari gambarnya, aku tahu apa isinya.

"Tak perlu! Aku bisa beli sendiri!" ketusku. Tak banyak bicara, Mas Adi  masuk ke rumah, menaruhnya di meja, lalu duduk di kursi ruang tamu. Mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. Aku menghela napas, dia berada di sini terasa risi dan malas  untuk melihat apa yang dia lakukan, aku pun masuk, meninggalkannya.

Aku membuka kulkas, dan mengambil botol yang berisi air putih, kemudian menuangkannya dalam gelas yang berada di meja, lalu duduk di depan meja makan, yang menghadap jendela.

Terdengar suara Mas Adi yang masih di ruang tamu, sepertinya dia berbicara di telepon dengan seseorang. Entah berbicara dengan siapa, karena suaranya ngga jelas terdengar dari sini, hanya suara Mas Adi yang mengatakan iya dan iya saja.

"Aku pulang dulu," ucap Mas Adi. Aku tersentak. Tak menyadari dia sudah berada di belakangku. Paper bag tadi ditaruhnya di depanku.

"Bawa pulang ini, Mas. Aku ngga mau nerimanya." Aku mengambil dan menyodorkan ke dia.

"Maaf, soal kemarin," lirihnya, sepertinya dia menyadari kesalahannya. Lalu melangkah menuju pintu depan.

"Aku ngga butuh. Kasih ke istrimu aja. Dia mungkin lebih butuh ini. Oya, tadi aku ketemu Desi. Dia memintaku untuk ngusir Mas jika ke sini. Jadi ... Mas ngga perlu datang lagi. Ngga baik, laki-laki beristri cantik, sering main ke rumah janda!" ketusku.

Mas Adi berhenti, lalu membalikkan badan, diam dan menatapku dengan tajam. Tak menghiraukan tatapannya, aku mendekatinya  lalu menyodorkan paper bag berwarna biru itu ke dadanya. Dia masih diam saja.

"Bawa pulang ini! Oya, HP yang tadi pagi sudah aku balikin ke Desi," ucapku lagi.

"Apa lagi?"Mas Adi akhirnya bersuara, tapi terdengar  sedikit bergetar. "Apa lagi yang dia bicarakan?" tanyanya lagi. Tangannya mengepal, tapi itu tak membuatku takut.

"Lebih baik tanya istrimu! Mas ngga bakalan percaya, kalo aku yang cerita! Sudah sore, Mas pulang saja! Nanti istrimu nuduh aku lagi, ngumpetin suaminya." Aku meraih tangannya, dan menaruh paksa tali paper bag itu digenggamannya. Aku menuju pintu depan yang terbuka dan berdiri di samping daun pintu sambil memegang handelnya.

Mas Adi berjalan mendekatiku, menaruh paper bag itu di meja, dan menghampiriku. Tiba-tiba dia menarik tanganku.

"Mas!" seruku. Tangan kanannya memegang tangganku, lalu tangan kirinya membanting pintu hingga tertutup.

"Mas!!" teriakku. Dia menatap dengan mata seperti kemarin malam. Aku mencoba melepaskan tangannya. Dia semakin mempererat cengkraman, lalu dia menyeretku masuk ke dalam. Mencoba menahannya, tapi tenagaku tak sebanding, hingga akhirnya kami sudah berada di kamar.

"Mas ... lepas! Kamu mau apa?" Aku takut melihat raut wajahnya yang memerah. Dia membawaku ke tepi ranjang.

"Mas ... lepaskan!" Aku meronta sekuat tenaga. Namun, akhirnya aku sudah berada di antara lengan dan dadanya. Kudorong tubuhnya, agar ada celah untuk lepas dari pelukannya. Namun, sia-sia.

"Mas! Aku bukan istrimu lagi!" Aku masih terus berusaha melepas dekapannya. Dia mencoba untuk mencium, tapi aku berusaha menghindar, dan akhirnya  dia mendorongku hingga terjatuh di ranjang, tubuh Mas Adi yang besar berada di atas tubuhku sekarang.

"Mas, sadarlah! Aku bukan istrimu lagi." Aku menangis, tapi dia tak peduli dengan tangisanku. Dia terus berusaha membuka kancing kemeja putih yang aku pakai, satu persatu. Tangan kananku ditahan tangannya, sedangkan tangan kiriku terus berusaha mendorong, menjauhkan badannya yang semakin menghimpitku, hingga susah untuk bergerak.

"Mas ... tolong lepaskan! Jangan lakuin ini, Mas. Aku bukan istrimu lagi!" Teriakan dan tangisanku tak membuat dia sadar juga.

"Mas ... aku sedang mens. Jangan lakuin ini!" lirihku, aku sudah tak bisa teriak lagi. Habis tenagaku hingga tersisa air mata.

Istri Mantan SuamikuWhere stories live. Discover now