<<< 18 >>>

9.1K 1.7K 167
                                    

*Ramaikan. Biar saya semangat lanjutinnya. Thanks buat yang vote dan komentar.

Nirina

Aku cepat-cepat menarik diri dari usaha Dewa kali ini. Meski sebenarnya susah banget untuk bisa membuat jarak hindaran dari dia. Aku, kangen cowok ini lebih dari apapun. Tapi diriku yang lain nyadar kalau aku masih punya Aga dan ini salah kalau aku semudah itu menuruti hal-hal yang bisa mengancam kepercayaan seseorang. Maksudku, Dewa memiliki sebagian dari aku untuk banyak hal, tapi Aga adalah yang saat ini aku miliki.

"Makan dulu ya sebelum balik," kata Dewa saat kami menuruni tangga seat bioskop.

Aku mengangguk saja.

Kami nggak perlu naik atau turun lantai karena area makan berada di lantai yang sama dengan bioskop.

"Steak Nomnom mau nggak?" tanya Dewa, "Udah lama banget gue nggak makan di sini sama lo, Rin."

"Lo mau traktir gue?" ucapku santai.

Dewa menyenggolkan pundaknya ke pundakku. Dan aku agak kaget waktu tiba-tiba dia melingkarkan tangan kirinya di pundak. Merangkulku sampai di depan meja pemesanan Nomnom. Suasananya lagi rame. Sebagian kursi diisi oleh orang-orang yang baru keluar dari bioskop. Sebagian lainnya cuma orang kelaparan abis keliling mal.

Setelah buat pesanan kita duduk di kursi yang deket dengan dinding kaca menghadap langsung ke luar. Lampu-lampu di gedung seberang masih menyala. Terlihat ada beberapa orang yang masih sibuk di balik kubikalnya. Bekerja sampai malam. Aku agak melamun sebentar. Kepikiran apakah Mama sama Papa juga sesibuk itu?

"Filmnya seru, ya," suara Dewa yang sekarang lebih berat dari terakhir aku mendengarnya. Setahun yang lalu barangkali.

"Mm," jawabku yang masih memandangi kaca. "Dewa," kataku kemudian sambil menoleh padanya.

"Iya?"

"Hari-hari lagi kacau banget belakangan," kelemahanku. Kalau di dekat Dewa bawaannya pengin banget curhat. Nggak tahu. Curhat sama cowok lebih nyaman dari pada sama cewek. Cowok punya logika yang bisa jadi penerang untuk labirin masalah. Sementara kalau aku curhat sama cewek kadang bukannya ada solusi, mereka malah ikutan nangis, ikutan emosi, ikutan marah, dan ikut membenci. Atau paling parah malah menghakimi. Khusus Dewa, dia salah satu cowok yang punya golden mind untuk menjawab persoalan pelik. Seolah semua kesengsaraan yang dia alami selama ini sudah jadi guru khusus untuk dia bersudutpandang dengan hidup.

Dewa membuka ritsleting jaketnya. Lalu mencondongkan badannya ke meja.

"Kalau lagi punya hari yang berat, biar nggak semakin berat jangan pernah beranggapan bahwa yang lagi punya masalah seberat itu cuma lo doang," simpulnya seketika.

"Nggak segampang itu."

"Menganggap tidak ada justru lebih mudah dari pada meresapi masalah, Rin."

Dewa merogoh sakunya dan mengeluarkan sebungkus rokok. Tak lama kemudian asap menggulung-gulung dari bibir tipisnya.

"Sejak kapan?"

Dewa paham aku nanya soal apa. Dia tersenyum, "Mungkin gini harusnya kalau cowok yang nggak sekolah."

Mataku menyipit. Dia lalu tertawa, "Enggak, Rin. Bercanda. Ngerokok karena, pengin aja."

"Nggak ngelarang. Cuma mau komen muka lo nggak pantes sama rokok."

Sebelah bibirnya tersenyum, "Kenapa?"

Aku nggak jawab.

"Memangnya kenapa hari lo kacau?" tanya Dewa kemudian, "Naga, ya?"

Bye•OlogyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang