EMPAT

12.8K 748 13
                                    

Berkas yang kupelajari dari beberapa hari yang lalu belum selesai sampai sekarang. Damian tidak mengizinkan aku untuk membawa tugas itu ke rumah. Jika saja dia mengizinkan aku untuk mengerjakan tugas itu di rumah, maka akan lebih cepat selesai dan semua laporan kantor pun bisa ia ketahui. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya sehingga melarangku untuk membawa tugas ke rumah. Sekarang, lihatlah pekerjaan yang kembali menunmpuk karenanya. Berkas-berkas baru datang di atas mejaku untuk kukoreksi. Aku pusing dengan semua ini. Belum lagi berkas baru yang harus kukerjakan untuk rapat sebentar lagi. Kenapa Damian tidak mau mengerti dengan maksud dan tujuanku? Padahal ini demi kebaikan kantornya.

Aku terkesiap ketika deringan telepon menggema. Kuraih benda itu dan menempelkannya di telinga.

"Apa berkas untuk rapat sudah selesai? Apa kamu sudah cek ruangan rapat?" tanyanya. Mulai keluar nada diktenya.

Aku menjulingkan mata. "Sudah, Pak." Aku membalasnya.

"Bawa berkas itu ke mari, aku ingin melihatnya." Damian menyuruhku. Aku menghela napas.

"Iya." Aku membalas singkat.

Malas meladeninya. Jika saja, jika saja, jika saja. Ah, sudahlah. Aku malas mengulang-ulang lagi. Bosan rasanya membahas dia dalam hati.

Aku beranjak dari tempat duduk. Kuraih map berisi berkas untuk rapat dan membawanya menuju ruangan Damian. Kuketuk pintu ruangannya ketika aku tiba di depan ruangan atasanku yang belagu.

"Masuk!" Damian berseru.

Aku pun masuk. Kudekati mejanya, lalu kuletakkan map itu di atas meja. "Ini berkasnya." Aku bersuara.

Damian meraih berkas itu. Dia terlihat serius meneliti isinya. Dia menutup map. "Kamu ke ruang rapat sekarang, nanti aku menyusul," katanya.

Siapa juga yang mau ke ruang rapat denganmu? Lebih bagus aku ke sana sendiri.

Aku mengangguk, berbalik badan, lalu pergi meninggalkan ruangan ini. Syukurlah, jika dia tidak kembali protes seperti hari sebelumnya ketika aku salah membuat laporan. Semoga saja seperti ini terus.

Semenjak kerja di sini, aku jadi sering terlambat makan. Bukan karena tidak mau makan, tapi karena tugas memaksaku untuk menunda makan. Seperti siang ini. Aku belum makan siang karena harus mengerjakan tugas dadakan.

"Aisyah." Terdengar seseorang memanggilku.

Aku menoleh. Kulihat Bili menghampiriku. Dia teman baruku di kantor ini. Aku senang bisa berteman dengannya.

"Hai, Kak." Aku membalasnya dengan sapaan.

"Bagaimana?" tanyanya.

"Bagaimana apanya?" tanyaku balik.

"Berkas presentasi rapat?" Bili menatapku sekilas. Kami masih berjalan menuju ruang rapat.

"Aman. Aku harus lebih teliti lagi. Om Damian nggak komentar apa-apa. Dia malah menyuruh aku ke sini duluan. Semoga saja seperti ini terus selanjutnya. Terima kasih untuk bantuannya." Aku tersenyum.

Dengar dari Bili, sekretaris Damian tidak pernah bekerja lama di sini. Tidak sampai satu bulan mereka keluar karena sifat otoriter Damian pada sekretarisnya. Banyak tugas yang dia berikan sehingga sekretarisnya merasa keberatan dengan pekerjaan yang dia diberikan. Damian terkenal tegas. Dia tidak segan untuk memecat jika ada karyawan yang tidak disiplin dan membangkang. Apa itu alasan dia sulit dapat jodoh? Bagaimana ada wanita yang kuat dengannya jika sifatnya saja seperti ini pada karyawan? Semoga saja aku kuat menghadapinya.

"Kamu pernah dengar Pak Damian memiliki calon?" tanyaku pada Bili.

"Memangnya ada apa? Kenapa kamu bertanya seperti itu padaku?" Suara Bili terdengar takut.

Om Damian [Tamat]Where stories live. Discover now