TIGA

15.3K 773 12
                                    

Jika pada umumnya orang-orang mendapatkan pekerjaan yang lebih tinggi dari apa yang dia harapkan akan merasa senang dan bahagia, tapi berbeda dengan aku. Aku tidak senang atau bahagia. Aku tidak senang karena harus kembali bertemu dengan Damian. Beberapa hari ini tidak bertemu dengannya, aku merasa tenang. Entah apa jadinya nanti jika aku harus setiap hari bersamanya. Jika saja bukan karena Revan atau orang tuaku, mungkin aku akan menolak pekerjaan ini. Aku lebih memilih menjadi pelayan restoran daripada menjadi sekretaris Damian. Ini seperti petaka bagiku. Aku bagaikan berjalan di kaca yang basah. Aku harus hati-hati dalam melangkah agar aku tidak terpeleset. Aku sudah menyiapkan mental untuk menghadapi Damian setiap hari. Semoga aku kuat menghadapinya.

Aku keluar dari kamar untuk sarapan bersama dengan Kak Sabrina dan Dania. Ini hari pertama aku kerja. Aku tidak boleh terlambat apalagi mengecewakan Kak Sabrina dan Kak Jordan. Mereka sudah baik padaku dan memberiku pekerjaan. Aku sudah berjanji pada mereka akan melakukan yang terbaik untuk menjadi sekretaris Damian.

"Pagi, Kak." Aku menyapa Kak Sabrina ketika tiba di ruang makan. "Pagi juga, Dania." Aku duduk di samping Dania.

"Pagi, Syah." Kak Sabrina tersenyum padaku.

"Pagi juga, Kak Aisyah." Dania membalas sapaanku.

"Sepertinya kamu sudah siap untuk bekerja dengan Damian. Kamu jangan khawatir. Damian sebenarnya baik." Kak Sabrina menasehatiku.

"Iya, Kak." Aku membalasnya. Malas pagi-pagi bahas dia.

Ya. Aku awalnya menolak karena Damian sangat mengesalkan bagiku. Tapi Kak Sabrina selalu membelanya dan mengatakan jika Damaian baik, ramah, dan pengertian. Kalau saja Kak Sabrina tahu jika Damian berbeda dari apa yang dia katakan. Intinya Damian di mataku buruk. Dia tak baik seperti apa yang Kak Sabrina katakan.

Aku melangkah keluar rumah setelah selesai sarapan dan mengobrol sedikit dengan Kak Sabrina. Aku jenuh dengan obrolannya yang membahas Damian, Damian, dan Damian. Apa tidak ada topik lain selain membicarakan orang itu? Aku muak mendengar nama Damian.

"Ke sekolah Nona Dania terlebih dahulu atau ke kantor Tuan Damian terlebih dahulu?" tanya Alex ketika aku masuk ke dalam mobil.

"Ke sekolah Dania aja dulu, Mas. Takutnya nanti Dania terlambat. Waktuku masih panjang untuk sampai di kantor." Aku membalasnya.

Dania masuk ke dalam mobil ini. Alex pun melajukan mobil ini menuju sekolah Dania. Aku rasa masih lebih baik Alex daripada Damian. Dia lebih menghargai aku. Dia ramah, murah senyum, dan yang pasti dia pengertian. Sangat jauh dari Damian yang sombong.

"Apa nanti kalau Nona Aisyah pulang perlu saya jemput?" Alex menawariku.

"Yaelah, Mas Alex, jangan lebay begitu, dong. Panggil aku nama saja. Aku sama Mas Alex lebih tuaan Mas Alex, harusnya aku yang lebih menghormati Mas Alex. Jangan panggil aku itu lagi. Aku nggak mau." Aku protes pada Alex.

"Tidak bisa, Non." Alex kukuh.

"Aku juga nggak mau dipanggil itu." Aku masih protes.

"Kak Aisyah sama Om Alex kenapa, sih? Kok seperti Om Damian sama Kak Aisyah, suka berantem?" Dania menyela.

"Nah. Kalau Mas Alex masih panggil aku seperti itu, maka aku akan panggil Mas Alex seperti Dania memanggil Mas Alex. Gimana?" Aku menatap Alex dengan senyum kemenangan.

"Baiklah. Nona Aisyah ingin kupanggil apa?" Alex menyerah.

"Ais saja, itu sudah cukup." Aku tersenyum.

"Itu masih kurang. Apa tidak ada imbuhan lain supaya lebih sopan?" Alex tak terima.

"Itu bagiku sudah sopan. Sudah, jangan protes lagi." Aku menimpali.

Om Damian [Tamat]Where stories live. Discover now