2

220 16 0
                                    

#Sumpah_Pengantin
#Part2

Rumah kontrakan mereka semakin sepi sejak pertengkaran hari itu, Rusdi selalu berangkat kerja pagi-pagi saat istri sibuk dengan pekerjaan rumah, belum mau membuka percakapan, rasa kecewa masih jelas terasa. Terlebih Anggri tidak berusaha meminta maaf terlebih dulu, jiwa lelakinya terluka.

Namun, meskipun tahu tindakan ini tidak benar dalam syariat, saling mendiamkan masalah akan semakin memperkeruh suasana, sebab itu hari ini harus membicarakan masalah hingga tuntas. Soal doa konyol sang istri tak akan diambil pusing, tak pernah terbesit dalam benak akan menikahi wanita lain.

Mungkin bagi sebagian lelaki lain, permintaan Anggri menjadi surga yang dirindukan, tapi baginya tidak. Rusdi tahu semua tak semudah teori yang selama ini sering didengar ketika menghadiri pengajian. Akan lebih banyak beban di pundak, dua hati yang harus dijaga dengan semua keterbatasan, juga tidak mudah membuat keluarga mereka menerima orang baru di pernikahannya.

Tentang kehadiran anak di tengah mereka memang sudah lama dinantikan. Ia menyaksikan sendiri betapa istri mungilnya sering kesakitan sepulang menjalani terapi yang diikuti, serta uang tabungan umroh yang habis digunakan, membuat lelaki itu tak ingin memaksa Anggri lagi.

Di tempat lain, wanita itu baru saja selesai mengikuti pengajian rutin yang diadakan setiap hari rabu. Tak seperti biasanya, dia lebih banyak diam dan tersenyum samar jika ada yang menyapa. Bahkan, sikapnya itu membuat heran sahabatnya.

“Kamu kenapa, Nggri?” tanya wanita berkacamata saat mereka telah duduk di teras masjid.

“Gak pa-pa, Nur,” jawab Anggri menampilkan senyum palsu.

“Kamu terlihat berbeda, bagaimana bisa tidak apa-apa?” cecar Nur tak percaya jawaban yang didengar.

“Aku masih sanggup menahan, Mbak. Nanti jika terasa semakin menyesakkan, aku akan cerita.” Anggri menggenggam tangan kurus itu. Baginya masalah dengan suaminya bukanlah hal yang patut diumbar.

“Baiklah, semoga masalah kalian cepat selesai.” Wanita itu menyerah, tahu jika Anggri belum mau membagi beban yang berusaha disembunyikan.

Anggri selesai menata meja makan menanti kepulangan suami yang diragukan, seperti dua hari lalu, usahanya sia-sia. Tak tahan dengan keadaan yang ada, membuat wanita ini ingin pulang ke kampung halaman sementara, menenangkan pikiran yang mulai menggila atas ucapannya yang menjadi doa.

Dua jam berlalu, tapi belum ada tanda-tanda Rusdi pulang. Sejak saat itu mereka tak lagi saling mengirim pesan. Sup kacang merah yang baru saja dimasak sudah dingin seperti udara malam ini dan nafsu makan telah menguar entah ke mana.

Jam menunjukkan pukul sembilan malam, tapi yang ditunggu belum juga menunjukkan batang hidungnya. Wanita itu kembali merapikan makanan yang belum tersentuh tangan.

Dengan pipi basah, Anggri merebahkan tubuh yang payah, entah karena lelah menunggu, atau luka yang tak terlihat. Kata maaf yang selama ini tersimpan, seolah ingin ditelan sebelum berhasil diucapkan.

Sebagai wanita dia merasa sakit didiamkan seperti ini, seolah tak ada lagi kesempatan untuk menjelaskan dan memperbaiki, membuatnya ingin menutup hati kembali.

Lamat-lamat terdengar suara pintu terbuka dengan pelan, yakin bahwa suami sengaja tak ingin membangunkan, memaksanya pura-pura memejamkan mata. Semua penjelasan yang sebelumnya disiapkan menguap begitu saja.

“Sudah tidur, Dek?” rusdi duduk di tepi ranjang kecil mereka.

Hening, Anggri sengaja tak menjawab pertanyan suaminya.
 
“Ya sudah kalo kamu masih gak mau bicara, mas tidur di ruang depan lagi saja.” Lelaki itu tahu istrinya belum terlelap, tapi sengaja menghindar. Meskipun ia telah bertekad menyelesaikan semuanya.

Sumpah Pernikahan Where stories live. Discover now