Alza - Satu

36 2 0
                                    

Moza menyusuri gedung sekolahnya menuju rooftof, gadis itu lagi-lagi memutuskan untuk membolos.

Moza mengatur nafasnya yang ngos-ngosan saat sudah tiba di rooftof. Pandangannya berbinar saat menatap sosok yang sedang duduk sendiri disebuah kursi panjang sambil menikmati sebatang rokok yang ada di tangan kanannya.

Moza melangkah pelan, mendekat kearah Athilla yang masih tidak sadar akan kedatangannya.

"Hay Al?" Sapanya dengan seyum kecil saat Athilla telah menyadari kedatangannya.

Athilla tidak menjawab. Pria itu membuang rokoknya yang masih setengah dan menginjaknya dengan sepatu. Athilla merongo ponsel yang ada disaku celana abu-abunya. Kini pandangannya fokus memainkan ponsel tanpa berniat menanggapi Moza yang sudah duduk tepat di samping kanannya.

Moza menelan ludah susah paya. Sikap Athilla begitu dingin terhadapnya. Moza memilih bungkam, pandangannya menatap kosong kearah dinding yang bercat putih di depannya dengan kedua kaki diayung-ayungkan.

Hampir dua puluh menit berlalu,Moza merasa bosan sendiri. Gadis itu melirik kearah Athilla yang masih saja fokus dengan ponsel ditangannya. Moza terseyum kecil menatap wajah datar serta dingin Athilla yang masih sama seperti dulu. Seyum dibibir Moza semakin berkembang saat gadis itu menyadari bagaimana bisa dirinya jatuh cinta sedalam itu terhadap pria seperti Athilla Devano.

Athilla Devano tidak lebih dari seorang badboy yang memiliki attitude buruk di sekolah. Berkelahi, tawuran, tukan bolos, suka merokok dan selalu melanggar aturan, begitulah orang-orang mengenal sosok Athilla.

"Al gue_" Moza menggantungkan perkataannya saat melihat Athilla memasang earphone pada kedua telinganya.

Moza kembali menelan ludahnya. Tatapannya difokuskan menatap wajah dingin Athilla. Gadis itu menelusuri setiap lekuk paras tampan Athilla. Rahang yang kokoh serta hidung mancung. Bola mata berwarna hijau dilengkapi bulu mata lentik serta alis paripurna, benar-benar paras yang sempurna.

Moza mengalihkan pandangannya. Gadis itu menunduk, mencoba menahan rasa sakit yang berkecamuk dalam hatinya.

"Lo tau bagian tersulit saat mencintai seseorang adalah disaat kita harus membiarkannya pergi dan mengucapkan selamat tinggal" ucap Moza dengan nada serak, gadis itu mendongak untuk menatap pria di depannya yang tanpak asik sendiri dengan dunianya.

"Apa gue memang harus benar-benar melepas lo Al?" Tanya Moza dengan mata mulai berkaca-kaca.

Moza tau, Athilla tidak mendengarkannya karena earphone masih terpasang manis dikedua telingannya.

"Al, ada saatnya gue berhenti untuk menyukai lo. Ada saatnya gur berpikir ulang untuk menaruh perasaan ini pada lo. Tidak bisakah lo menunggu sampai saat itu tiba?" Moza kembali menunduk. Tetes demi tetes air matanya mengalir dengan deras. Dirinya belum siap, dia masih ingin bersama Athilla. Masih ingin melalui harinya dengan Athilla.

Moza menahan isakannya. Gadis itu menggigit bibirnya kuat-kuat agar tangisnya terhenti.

"Al?" Panggil Moza lagi, gadis itu mengangkat wajahnya yang masih dipenuhi linangan air mata.

Athilla masih tetap sama, pria itu masih fokus dengan ponsel ditangannya tanpa sedikitpun peduli dengan gadis disampingnya yang telah berurai air mata.

Moza mengepal kuat kedua tangannya yang berada diatas paha. Sekuat tenaga gadis itu menahan agar air matanya berhenti. Moza menghela nafas panjang, gadis itu kembali tertunduk, dirinya tidak dapat menatap Athilla yang masih saja mengacukannya.

"Gue" Moza memejamkan mata untuk mengumpulkan suatu keyakinan.

"Gue"

"Gue pamit Al" Moza membuka matanya, gadis itu terseyum kecil dan mengangguk yakin. Dirinya memang harus melepas Athilla pergi.

Sekali lagi Moza menoleh, menatap wajah dingin Athilla. Detik berikutnya gadis itu beranjak dari tempatnya, melangkah pergi meninggalkan rooftof yang telah menjadi saksi bisu apa yang telah terjadi.

--------------------------

Athilla melepas earphone yang sama sekali tidak tersambung dengan ponselnya. Bibirnya tergerak membentuk sebuah senyum miris. Apa yang baru diucapkan Moza semuanya ia dengar dengan sempurna.

Kedua tangan Athilla terkepal kuat. Ia tidak boleh kalah dengan perasaannya sendiri. Memang sejak awal hubungannya dengan Moza adalah sebuah kesalahan. Athilla memejamkan matanya, mencoba mencari ketenangan dalam kegelapan yang dibuatnya.

"Apa sekarang lo menyesal?" Sebuah suara mengangetkan Athilla.

Athilla perlahan membuka matanya, pandangannya tajam menatap dinding putih didepannya. Tanpa menoleh pun Athilla sudah dapat menebak siapa pemilik suara tersebut.

"Apa lo benar-benar harus melepas dia dengan cara seperti ini?" Kembali orang tersebut bertanya. Langkahnya perlahan mendekat, berdiri tepat didepan Athilla yang masih enggan untuk melihatnya.

Athilla bangkit dari duduknya dan menatap tepat pada mata pria di depannya.

"Lo datang sebagai siapa?" Tanyanya dengan tatapan tajam. "Sebagai sahabat gue atau sebagai laki-laki yang care kepada cewek yang telah gue campakan. Raka Aditama Putra?" Lanjut Athilla seakan menantan.

Hening, tidak ada jawaban dari pria bernama Raka tersebut. Pria itu tetap berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan kedalam saku celana.

Cih.

Athilla berdesir kasar. Bukan ini yang diinginkannya. Ia ingin agar pria di depannya, yang tidak lain adalah sahabat dari kecilnya itu menghajar dan mengutuknya karena telah mencampakan dan menyakiti hati gadis yang diyakininya disukai oleh sahabatnya juga.

Mungkin tidak banyak yang tahu, terlebih Raka sendiri tidak pernah mau mengakuinya, tapi sebagai seorang pria, Athilla dapat menebak kalau sahabatnya itu menyukai Moza. Jauh sebelum Athilla berpacaran dengan Moza, Athilla sudah sangat yakin kalau Raka menyukai Moza.

Athilla membuang muka, apa persahabatan mereka lebih berarti bagi Raka sehingga pria itu tetap diam, bahkan setelah apa yang telah dilakukannya terhadap Moza.

Bugk

Bugk

Bugk

Tanpa diduga dan tanpa persiapan terlebih dahulu, Raka menghantam tubuh Athilla bertubi-tubi, membuat Athilla terbatuk dan menahan nyeri diperutnya.

"Itu karena lo telah melukai hati Moza" ucap Raka.

"Dan ini hadiah gue sebagai sahabat lo" Raka menatap Athilla dengan sebuah seyum kecil dibibirnya.

Bugk

Bugk

Bugk

Athilla tersungkur kebawah, kali ini Raka menghantamnya dengan kaki, menendangnya tanpa ampun.

Shit

Athilla mengumpat kasar saat darah segar keluar dari mulutnya akibat kerasnya hantaman Raka pada perutnya.

Terdengar tawa kecil dari mulut Raka, membuat Athilla ikut tertawa. Raka mengambil duduk di samping Athilla bersandar pada tembok dibelakangnya. Suasana kembali hening, yang terdengar sesekali hanya helaan nafas dari keduanya.

>>> -_- <<<

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Aug 24, 2019 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

AlzaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora