tiga

31K 2.1K 36
                                    

   BAB 3

Arshila menatap gedung tinggi di hadapannya dengan takjub. Baru kali ini ia bisa melihat gedung mewah yang menjulang tinggi di hadapannya dengan nyata bukan di sinetron atau film yang pernah ia tonton.

Tangan gadis itu terulur menutup keningnya sambil mendongak menatap seberapa tinggi gedung di hadapannya.

"Satu, dua, tiga, empat."

Arshila terus mendongak berusaha menghitung ada berapa lantai gedung ini. Namun, ia hanya bisa berhenti di lantai 24 karena seterusnya sudah tidak terlihat lagi.

"Ini serius aku bakal bersih-bersih di sini? Wah, lantainya pasti banyak. Bisa mati aku kalau harus membersihkan seluruh gedung ini," ujar Arshila pada dirinya sendiri. "Tapi, aku lebih mati lagi kalau enggak bekerja dan enggak ada uang untuk beli makan," keluhnya dengan ekspresi merana.

"Ehem!"

Arshila tersentak. Tubuhnya memutar ke belakang dan menatap jas hitam terbalut dasi hitam dan kemeja putih yang terlihat mahal. Bau parfum yang tercium dari tubuh pemilik jas membuat jantung Arshila berdebar tak normal.

"Kenapa wanginya bikin aku deg-degan?"  gumamnya lagi.

Perlahan tapi pasti kepala Arshila terangkat naik ke atas. Manik matanya bertatapan langsung dengan mata biru gelap mirip mata bule yang sering di lihat Arshila di dalam televisi.

Pemilik wajah dengan rahang kokoh dan mata warna biru gelapnya membuat pria yang berdiri tepat di depannya sangat tampan dan  menggoda.

"Bule cuy. Ya ampun baru ini aku menemukan bule asli bukan di tivi,"  gumam Arshila menatap bule tampan di depannya takjub.

Arshila tersenyum sendiri dengan tatapan tak lepas dari pria yang juga menatapnya dengan pandangan menilai. Sedang hanyut dalam lamunan, ia dikejutkan dengan suara ponsel yang berasal dari dalam saku celana hitamnya.

"Halo," sapa Arshila terdengar semangat, membuat seseorang di seberang sana segera menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Shila, jangan jerit-jerit. Saya tidak tuli," balas suara di seberang sana,  membuat Arshila terkekeh.

"Pak Bon kenapa telepon aku?"

"Kamu jadi masukin lamaran ke kantor enggak? Saya sudah nunggu kamu di ruang HRD," ujar Pak Bondan pada Arshila. 

Bondan adalah suami Nani yang menawarkan pekerjaan pada Arshila. Dia sudah menunggu lebih dari tiga puluh menit di depan ruang HRD, namun pekerja yang ia rekomendasikan pada pihak HRD belum juga menampakkan wajahnya.

"Jadi dong, Pak. Saya sudah di depan kantor dan lagi memandangi pemandangan indah ciptaan Tuhan yang paling aduhay," celoteh Arshila tanpa mengalihkan tatapannya pada bule tampan tersebut.

"Berhenti dulu kamu mandang hal yang enggak berguna itu.  Sekarang saya tunggu kamu di lantai dasar ruang HRD sekarang. Telat lima menit kamu saya blacklist dari daftar penerimaan karyawan."

Bondan mematikan sambungan telepon membuat Arshila membulatkan bibirnya terkejut, kemudian ia mengerucut bibirnya sebal.

Arshila kembali mendongak menatap bule yang masih setia berdiri di tempatnya dengan tubuh yang tidak bergerak seperti patung. Lalu,  tatapan Arshila jatuh pada ponsel di tangannya dan menatap bule tampan itu sekali lagi. Kemudian gadis itu menghela napas sedih karena ponselnya tidak memiliki fitur kamera. Padahal ia ingin sekali foto bersama sang bule.

Dengan punggung yang mendadak lemas, Arshila memutar tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam gedung tanpa menoleh lagi pada bule tampan tersebut. Arshila takut jika ia menoleh barang sejenak bisa-bisa ia  berkeinginan untuk menempel erat pada sang bule tampan.

Arshila melangkah masuk ke dalam gedung. Setelah mendapat arahan dari resepsionis akhirnya Arshila berdiri di depan Bondan yang tengah berkacak pinggang sambil menatapnya tajam.

"Lama banget kamu 'sih. Saya sudah nunggu kamu lama tahu," ketus Bondan menatap Arshila kesal.

"Iya, maaf, Pak. Habis di luar aku lihat cowok bule ganteng. Jadi,  aku natap dia dulu. Siapa tahu nanti aku punya anak bisa mirip dia," kata Arshila tersenyum polos.

Bondan mendengkus mendengar kalimat Arshila. Segera pria itu memerintah Arshila untuk masuk dan melakukan interview.

Arshila memutuskan untuk masuk hanya bermodalkan satu lembar kertas berisi lamaran kerjanya tanpa ijazah.

Awalnya pihak HRD tidak ingin menerima Arshila karena identitas gadis itu tidak jelas, namun karena ini adalah gadis yang direkomendasikan langsung oleh Bondan membuat mereka mau tak mau menerima Arshila bekerja dengan syarat training selama tiga bulan.

Tiga bulan Arshila tidak bekerja dengan baik maka Arshila akan dipecat tanpa pesangon sesuai kesepakatan mereka.

"Ini seragam kamu. Mulai besok kamu sudah boleh bekerja."

Pak Marzuki menyerahkan dua set pakaian pada Arshila yang diterima gadis itu dengan ucapan terimakasih dan rasa syukur karena sekarang ia bukan pengangguran.

"Selamat, Shila. Ingat, kamu harus kerja yang rajin dan jangan bikin malu saya," ujar Bondan tegas.

"Siap, Pak bos. Apa 'sih yang enggak bisa aku lakukan demi uang?" Arshila menaik turun alisnya menatap Bondan dan Marzuki dengan senyum lebar, membuat kedua pria paruh baya itu hanya mendengkus hampir secara bersamaan.

_____

Ruang rapat terasa mencekam dengan aura suram yang menguar dari pemimpin rapat yang selalu membuat para bawahan gemetar takut.

Sang CEO bernama lengkap Arthur Kenzove Syegavano menatap satu persatu makhluk yang berada di depannya dengan tajam mengintimidasi.

Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum dingin yang mampu menggetarkan perasaan seseorang.

"Jadi, prospek untuk pembangunan mall di daerah Surabaya baru mencapai 34 persen. Begitu?" tanyanya dingin.

Para anak buahnya saling tatap dengan perasaan takut hingga membuat tangan mereka berkeringat dingin.

Bruk!

Arthur, pria itu menggebrak meja di hadapannya  dengan keras sehingga membuat peserta rapat tersentak dengan wajah pucat.

"Tidak berguna," gumamnya sengit. "Proyek sudah berjalan dan hampir dua tahun lebih pengerjaannya. Lalu, prospeknya hanya 34 persen?" Arthur mendengkus sinis. "Kalian bisu dan tidak bekerja dengan baik,"  cetusnya membuat semua membelalakkan mata terkejut.

"Tuan, sebenarnya prospek sudah hampir mencapai 50 persen, namun ada beberapa kendala saat pembangunan tengah berlangsung." Seorang staf mulai buka suara.

"Kendalanya?" Arthur menatap pria itu tajam membuat si pria menelan ludahnya kalut.

"Ada beberapa warga yang tidak ingin menandatangani surat jual beli tanah. Mereka memaksa untuk menjual tanah dengan harga tinggi, dan--"

"Dan kalian tidak bisa membujuk orang-orang itu. Begitu?" sela Arthur tajam.

Takut-takut mereka mengangguk setuju membuat Arthur mendengkus.

"Aku selalu memperingati kalian. Gunakan cara halus jika mereka menurut, dan gunakan cara kekerasan jika mereka memberontak," ujar Arthur tegas.  "Jika mereka masih bersikukuh tidak ingin menjual dengan harga yang sesuai, maka mereka tidak usah ada lagi di dunia ini."

Semua yang berada di ruang rapat tidak lagi terkejut mendengar ucapan CEO mereka.  Itu sudah biasa dan sudah menjadi rahasia umum di kantor.

Mereka yang menurut akan mendapatkan hal-hal yang tak terduga  dan mereka yang memberontak maka hal buruk pasti akan terjadi.

[2] ARSHILAOnde as histórias ganham vida. Descobre agora