Satu

85K 2.7K 85
                                    

Arshila berlari kencang melewati beberapa rumah warga kampung untuk menghindari kejaran para preman sewaan rentenir.

Sungguh, ia baru saja bangun dari tidur ketika seseorang mengetuk pintu kontrakannya dengan brutal
Hal yang membuat gadis cantik berusia 22 tahun itu menyadari jika yang mengetuk pintu pasti preman-preman itu.

Beruntung ada pintu di belakang kontrakan yang ia sewa dua bulan belakangan ini. Jika tidak, mungkin terpaksa ia harus membobol atap.

"Woy, berhenti!"

Arshila, si gadis cantik dan konyol itu tidak bodoh untuk menghentikan kaki kecilnya yang sepertinya sudah agak membesar akibat kebanyakan berlari selama beberapa tahun ini. Arshila tidak akan berhenti apapun yang terjadi. Karena jika ia berhenti maka nasibnya akan tidak terkatakan.

Gadis cantik dengan celana selutut, kaos oblong warna merah pudar, dan sandal jepit terus berlari melewati jalanan yang terlihat ramai oleh anak-anak yang akan berangkat sekolah.

Sampai di depan gang, Arshila tak berhenti barang sejenak. Gadis itu terus berlari kencang dengan empat orang yang mengejarnya dari belakang.

"Shil, naik sini!"

Suara teriakan Aldo membuat Arshila menoleh dan segera menaiki sebuah motor bebek dengan dua penumpang di atasnya. Tanpa pikir panjang, Arshila naik di belakang. Sementara Reinald, pemuda itu terjepit di posisi tengah dengan Aldo yang membawa motor pinjamannya.

"Ke mana nih kita?" teriak Arshila membuat Ramzi menoleh dan mendelik.

"Kamu bisa enggak, enggak usah teriak-teriak di telinga aku?"

"Kamu sendiri teriak-teriak di depan wajah Aku!" balas Arshila tak mau kalah. "Kamu pasti belum sikat gigi ya? Bau jengkolnya menyengat sekali!" tuduh Arshila disambut cengiran Ramzi.

Hening tak ada suara lagi. Aldo mengendarai motor memasuki gang-gang sempit karena saat ini mereka tengah berbonceng tiga dan tidak ingin motor butut tanpa body ini ditilang polisi.

Sampai di depan sebuah toko pegadaian, ketiganya turun dari motor. Arshila tentu saja menatap sahabat-sahabatnya bingung mengapa mereka turun di depan toko pegadaian seperti ini.

"Kenapa kita turun di sini?"

Aldo menatap Arshila kemudian menghela napas berat. Mereka sudah berteman sedari kecil dan sangat mengetahui kehidupan masing-masing seperti apa.

"Kita sudah tidak aman lagi tinggal di kota ini. Makanya aku putuskan kalau kita akan merantau ke kota besar. Siapa tahu 'kan pulang-pulang kita bisa jadi millyader," ujarnya mengangkat bahu. "Kalau kita lama-lama di sini, bisa-bisa kamu akan tertangkap, Shil. Kamu tahu sendiri 'kan mereka incar kamu buat dijadikan simpenan sama rentenir itu."

Arshila menghembuskan napasnya berat. Matanya berkaca-kaca menatap kedua sahabatnya yang selalu ada untuknya.
"Aku minta maaf ya gara-gara aku kalian juga ikut di kejar-kejar sama preman suruhan rentenir." Arshila bergumam lirih membuat kedua sahabatnya saling menatap dan akhirnya ketiganya saling berpelukan satu sama lain di depan kantor pegadaian.

Banyak pasang mata menatap aneh pada ketiganya yang berpelukan di depan pegadaian.

"Sekarang kita ngapain di sini?" tanya Arshila menatap sahabat-sahabatnya.

Aldo dan Ramzi kemudian tersenyum penuh arti. Keduanya tampak menarik Arshila masuk ke dalam toko dimana sudah ada beberapa pegawai yang mulai bekerja.

"Aku mau menggadaikan ini." Ramzi dengan santai mengeluarkan sebuah map warna biru dari dalam baju bagian belakangnya. Pria itu tersenyum menatap Aldo dan juga Arshila yang masih tak mengerti.

[2] ARSHILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang