3. Reta: Bule Sok Tahu

9.6K 1.1K 180
                                    

Satu minggu sebelumnya....


"Eyang ora setuju yen kowe kerjo dadi tukang masak ning omahe wong liyo. Opo jare tanggane mengko? Masio kluwargane dhewe iki ra patio sugih, tapi ora ono sing dadi babu*."
(*Eyang ndak setuju kamu kerja jadi tukang masak di rumah orang. Apa nanti kata tetangga? Walaupun keluarga kita ndak kaya-kaya amat, tapi ndak pernah ada sejarahnya yang jadi pembantu.")

Aku hanya bisa meringis dalam hati. Eyang Uti-ibunya ayah kandungku-mendadak berkunjung siang ini setelah kukabari soal keberangkatanku ke New York. Kalau tahu reaksinya akan begini, kusampaikan sehari menjelang keberangkatan saja.

"Sanes babu*, Eyang," jawabku tanpa menghentikan aktivitas memilah-milah pakaian yang akan kubawa. "Namanya koki, juru masak pribadi. Dan Reta kerja di sana sekalian ikut program magang dari kampus, kok." (*bukan pembantu)

Pucuk dicinta ulam tiba, kampusku-Tristar Culinary Institute-membuka program magang ke luar negeri. Saat melihat New York menjadi salah satu negara tujuan, aku segera mendaftar dan alhamdulillah disetujui.

Perusahaan yang kulamar adalah Chevalier's Restaurant Group Inc. Perusahaan yang mengelola restoran dan bar ala Prancis yang cukup terkemuka di New York, salah satunya L'Abeille, restoran tempat Mas Ben bekerja. Setelah mengirimkan aplikasi dan tes wawancara daring, tiga hari kemudian aku dinyatakan diterima.

Secepat itu. Teman-temanku bahkan harus menunggu hingga sebulan. Tentu saja karena aku memanfaatkan jasa orang dalam. Siapa lagi kalau bukan Mas Ben.

"Podho wae! Eyang ndak rela cucu kesayangan Eyang jadi pesuruh di rumah orang. Terus, nanti kalau masakanmu ndak pas sama selerane pie? Kamu pasti dimarah-marahi. Atau yang lebih parah, kamu disiksa dan diperkosa kayak Gayatri, anak tetangga Eyang yang jadi TKI di Arab Saudi."

Menurut penuturan Mas Ben, temannya itu luar biasa pemilih soal makanan. Bisa kubayangkan betapa cerewetnya dia. Tapi aku sudah kebal menghadapi pelanggan model begitu.

Satu yang paling kuingat adalah insiden di restoran hotel berbintang di Surabaya, tempat magangku sebelum hamil dan keguguran. Seorang bule marah-marah sampai masuk dapur restoran karena menurutnya rasa rendang pesanannya tidak autentik. Kebetulan aku yang memasak rendang itu dan tentu saja aku yang diomeli.

Itu bule benar-benar sok. Tahu apa dia tentang masakan Padang? Baru sebentar di Indonesia saja lagaknya songong begitu. Gara-gara dia nilai magangku jadi rendah.

Kalau soal diperkosa, aku cukup yakin itu tidak akan terjadi. Karena sebelum alat reproduksinya berdiri, bisa-bisa sudah lebih dulu kukebiri.

"Tapi TKI yang sukses juga banyak kok, Bu," timpal ibuku tiba-tiba dengan tatapan sepenuhnya tertuju pada televisi yang menayangkan program infotainment. Tapi aku cukup yakin Ibu tidak benar-benar menontonnya. "Malah sampai bisa poligami segala."

TKI yang Ibu maksud adalah ayahku. Dan yah, begitulah. Ayah menikah lagi dengan sesama TKI di Jepang saat aku berusia lima bulan di kandungan Ibu. Ayah bekerja di pabrik perusahaan otomotif dengan gaji yang lumayan besar kala itu. Dan mungkin karena yakin bisa menghidupi dua istri, beliau menikah lagi.

Ibu tak terima, memilih bercerai saja. Dan Eyang menyalahkan Ibu yang tak mau diajak merantau ke negeri orang. Padahal kondisi Ibu yang lemah saat mengandung dirikulah sebabnya. Hanya saja orang-orang tak mau mengerti. Selalu saja istri yang dipersalahkan jika suami nikah lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Turn OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang