21. Piano and Memories

15.1K 1.6K 39
                                    

Tuts piano itu ada 2, yaitu hitam dan putih saling berirama, sama halnya dengan hidup. Hitam maupun putih akan menjadi bagian dari sebuah perjalanan hidup, pahit ataupun manis.


***


Kinanti

Dulu saat gue masih berumur 4 tahun, saat Papa masih ada, dia paling sering menanyakan pertanyaan yang sama hampir disetiap harinya.

Setiap gue pulang dari sekolah PAUD sampai malam menjelang tidur Papa selalu bertanya pada gue, "Kinan mau punya adek gak?"

Gue selalu menggeleng dan jawaban gue selalu sama, "Gak mau Pa, soalnya nanti Mama sama Papa bakal lebih sayang sama adek dari pada aku." Untuk ukuran anak berumur 4 tahun gue sudah bisa memiliki pemikiran seperti itu karena sering melihat tetangga gue yang berusia 6 tahun saat itu sering di pukuli Papa nya karena adiknya menangis.

Gue jadi sangat anti untuk memiliki adik.

Tapi saat pertama kali bertemu dengan Max, adiknya Jeffrey suami gue. Gue merasa punya adik ternyata gak seburuk itu. Justru mereka bisa saling berbagi segala keluh kesah satu sama lain. Apa mungkin karena mereka bukan saudara kandung makanya segan untuk bertengkar?

"Enggak kok, Mas Jeff juga sering marahin aku kalo nilai ulangan aku jelek." Ujar Max saat itu, "Kita juga suka rebutan waktu maen tendo soalnya waktu itu Ayah cuma beliin satu."

Mereka memang tidak sama tapi mereka bisa saling melengkapi satu sama lain.

Coba aja dulu gue punya adik. Mungkin kalo gue berantem sama Mama atau slek sama Ami, pasti gue bisa cerita sama adik gue. Gak menyimpannya sendirian. Kayak yang Jeffrey lakuin selama ini.

"Jeff, aku haid." Ucap gue setelah keluar dari toilet dengan wajah datar.

"Yahhh," Keluhnya ringan.

Gue dan dia memang pernah melakukan itu beberapa hari yang lalu setelah pulang dari rumah Ibu.

Cuma gue dan dia yang tau. Heheheh.

"Kenapa?"

"Gagal deh jadi ayah..,"

Mendengar pernyataannya barusan gue langsung tertawa ringan sembari menghampirinya. Dia langsung memeluk lekung pinggang gue dengan keadaan terduduk di atas kasur. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya tepat di perut gue.

"Kenapa deh?" Tanya gue sediki tertawa.

Dia menatap gue dengan wajah kusam dan bibir cemberut, "Pengen punya dedek..." Pintanya, "Bikin lagi yuk...!"

Nadanya sedikit merengek.

Gue langsung melepaskan pelukannya dari pinggang gue dan berdiri menatapnya, "Ngaco!"

"Kok ngaco sih?"

Gue mendelik sebelum menunjuk jam yang tertempel di dinding, "Ini tuh jam berapa?"

12.30 siang.

"Kita kan mau nonton Rafa hari ini," Lanjut gue berdecak, "Kalo gak mau ya udah aku sendiri aja."

Merajuk.

Dia langsung bangkit dari tempat tidur, "Iya sayaaaaang, aku inget kok." Ujarnya berjalan kearah toilet.

Perjalanan dari rumah menuju ke Gedung Kesenian, Jakarta Pusat berkisar sekitar 30 menit.

Dan jam 13.50 gue dan Jeff sudah berada di dalam teater, duduk diantara banyaknya sepasang orang tua  dan siswa-siswi yang dengan antusias untuk menyaksikan anak dan teman-temannta tampil di atas panggung itu.

More | JJH ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang