Serendipity [03]

46 8 0
                                    

"Kalau begitu, maukah kau menemaniku kesana?"

Eve menoleh menatap Era. Pemuda itu tersenyum sembari menyeruput minumannya.

"Ku rasa jalan-jalan bersama dengan ku lebih baik. Kita bisa bersantai sejenak, membahagiakan diri dan merilekskan otak dari hiruk pikuk duniawi."

Eve terdiam mendengar ucapan Era yang dirasa agak aneh —atau mendekati ucapan seperti pria kuno, mungkin?

Eve kemudian mulai menimbang-nimbang, apakah harus menemani pemuda itu?

Seakan mengerti dengan pikiran Eve, Era kembali berucap. "Apakah di klinik itu hanya, tersisa diri mu seorang? Maksud ku, apa tidak ada dokter lain yang bertugas?"

"Itu hanyalah klinik kecil, tuan Jansenn. Pikir mu, berapa banyak dokter yang ada disana?" Tanya Eve dengan senyum geli.

Yah, gadis itu merasa tergelitik dengan pertanyaan Era, seolah-olah pria itu adalah bocah belasan tahun yang sedang mengajaknya bolos sekolah sekaligus mencari keuntungan pribadi.

"Setidaknya, ada asisten mu, bukan? Ayolah, bolos kerja untuk menemaniku  bermain, tidak akan seburuk yang kau pikirkan, kok." Rayu Era.

Eve mengalah, gadis itu tertawa melihat berbagai macam ekspresi kekanakan Era yang sangat kontras dari umur pria itu.

Toh, ia juga butuh hiburan, menghilangkan penat sejenak dari kesibukan yang tidak pernah berkesudahan. Terlebih lagi, ada teman kocak baru yang menemaninya. Bolos sehari, rasanya tidak seburuk itu. Asalkan tidak keseringan bolos saja.

.
.
.

Dua sepeda terlihat di kayuh saling beriringan, melewati daratan sungai yang telah membeku. Sesekali pengemudi masing-masing sepeda saling bertukar pikiran mengenani pemandangan indah yang ada di sana.

Era benar-benar takjub, tidak menyangka sungai beku memiliki pesona tersendiri. Kemana saja dia belasan tahun ini? Salahkan dirinya yang mungkin tidak pernah melihat nilai estetika dari hal-hal sederhana.

Eve kali ini memberinya pelajaran baru, dan Era mensyukurinya.

"Bagaimana menurut mu?"

Era menoleh sejenak lalu tersenyum pada Eve. "Tidak buruk, pemandangan disini sangat indah." Jawabnya. "Apa kau sering kesini?"

Eve menggeleng pelan, tampak berpikir sejenak. "Dulu sering, tetapi tiga tahun belakangan aku tidak pernah kesini."

"Wah, sayang sekali. Apa karena tidak ada yang menemani mu?"

"Bukan seperti itu, aku sibuk bekerja."

Kening Era mengerung, pria itu menghentikan laju sepeda ketika mendapati sebuah bangku kosong lalu mengajak Eve duduk di sana.

.
.
.

Era memperhatikan wajah tenang Eve yang tengah asyik melihat pemandangan sekitar. Pria itu tersenyum.

"Tiga tahun kau tidak mengunjungi tempat ini, murni karena kesibukan atau ada hal yang lain?" Era bertanya membuka percakapan diantara mereka sekaligus ingin menghilangkan rasa penasaran yang sedari tadi ada di pikiran.

Perlahan, Eve berbalik menatap Era, kali ini kening gadis itu yang mengerung. "Alasan mengapa sejak beberapa menit yang lalu keningmu mengerut, apa karena ingin menanyakan hal ini?" Eve balik bertanya dan mendapat anggukan dari Era sebagai jawaban. Gadis itu tergelak. "Aku memang sibuk bekerja. Kalaupun ada waktu luang, tak ada yang bisa ku ajak kesini."

"Maksud mu, harus ada yang menemani?" Era kembali bertanya sembari mengusap kedua telapak tangan. Kepulan asap keluar dari mulut dan hidungnya menandakan bahwa hawa disana semakin dingin walau cahaya matahari pagi masih bersinar terang benderang.

"Yah, begitulah."

Eve memasukan jemarinya kedalam saku coat, mengambil satu hotpack untuk diberikan pada Era.

Era menerimanya dengan tatapan takjub, tak menyangka bahwa Eve siap sedia membawa barang sederhana yang bahkan tak pernah dipikirkanya akan berguna di saat-saat seperti ini, lalu keduanya terdiam, sibuk menikmati pemandangan alam yang membentang.

Lima belas menit kemudian, Era kembali bersuara, memecah keheningan.

"Tadi pagi, apakah suara ku dan alunan musik itu mengganggu tidur mu?"

"Tidak." Eve menjawab tanpa berbalik menatap Era. Gadis itu masih sibuk dengan kegiatannya.

"Syukurlah. Tapi aku berani bertaruh, kau mendengar ku sedang berdebat, bukan?"

Kalimat pertanyaan Era selanjutnya, mampu meraih semua atensi penuh gadis itu.

Eve seakan kembali merasa seperti seseorang yang telah mencuri dengar dengan sengaja.

Sadar akan reaksi Eve yang berlebihan, Era pun tertawa pelan. "Rileks, aku tidak menyalahkan mu. Yang tadi itu adalalah tunanganku."

"Maaf?" Eve sedikit terkejut dengan penuturan lawan bicaranya. Dalam hati ia bergumam, apakah ini baik-baik saja?

"Sudah ku katakan, rileks. Sebenarnya aku tidak ingin bercerita. Tapi kau sudah mendengarnya, apa boleh buat." Ucap Era enteng. Sama sekali tak terbebani.

"Hei! Kau tidak perlu seperti ini. Aku paham, berdebat hal biasa di dalam suatu hubungan."

Lagi-lagi Era tertawa. Jawaban Eve seakan menunjukan bahwa gadis itu peduli dengan ceritanya.

"Terkadang, aku tidak memahami bagaimana pola pikir wanita."

"Wanita tidak sesederhana yang di pikirkan, tetapi wanita juga tidak serumit itu." Ucap Eve.

Era melipat kedua tangannya di depan dada kemudian mengalihkan atensi penuh pada Eve. Entah mengapa dirinya bisa segamblang ini kepada seseorang yang bahkan dikenalnya kurang dari waktu 24 jam. Dan ini adalah pertama kalinya.

"Begitukah? Bolehkah aku meminta pendapatmu, nona Eve?"






You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 07, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SERENDIPITY [ˌserənˈdipədē] Where stories live. Discover now