Epilog 1 : Aftermath

Start from the beginning
                                    

Kata-kata Jaemin berputar di kepalanya tidak peduli seberapa keras ia bertekad untuk tidak membiarkan hal itu mengganggu pikirannya. Dia memang berkata pada Mark bahwa ia perlu waktu, nyatanya hal itu tidak merubah hubungannya dengan Mark.

Mereka berdua bukannya menjaga jarak atau bagaimana seperti yang Renjun kira. Hubungannya dengan Mark setelah hari itu di restoran seperti―seperti apa? Dia tidak bisa mendefinisikan hubungannya yang sekarang dengan Mark karena mereka berdua tidak pernah berada pada fase hubungan yang diberi label. Sejauh yang Renjun tangkap, mereka hanya teman. Ya, teman.

"―with benefit?"

Renjun membenturkan kepalanya ke meja komputer. Kata-kata terkutuk yang dilontarkan Sicheng pada hari yang sama saat Jaemin dengan kurang ajar mendobrak pintu kamarnya tiba-tiba melesat begitu saja. Bagai anak panah yang menancap di tengkoraknya. Bagai tangan gaib yang seolah menampar Renjun ke realita.

"Fokus, Renjun, fokus! Hal itu tidak penting, kau masih punya segudang kerjaan untuk dikumpulkan besok!" ia bergumam cepat pada dirinya sendiri dan menatap tajam pada layar menyala-nyala di hadapannya.

π

Renjun berpikir masalah percintaannya tidak perlu diperkeruh lagi. Ia tidak pernah banyak ambil pusing atas tingkah laku Mark terhadapnya. Hanya saja hampir dua minggu ini Jaemin terus menempelinya dan bersikeras kalau 'kau tidak boleh bermain api begini Renjun' atau 'kau harus punya hubungan yang jelas atau kalian akan sama-sama terluka', mau tidak mau hal itu ikut menggerogoti pikiran Renjun.

Tetapi kalau dipikir-pikir sikap Mark yang satu ini menambah bara api yang mengobarkan api dilema yang lambat laun membakar pikirannya dari dalam―dan patut dipertanyakan juga. Karena―

"Hyung sejak kapan kau jadi clingy begini?"

Seoul sudah memasuki musim panas sejak satu bulan yang lalu, sinar matahari mulai menyengat kulit dan kelembaban udara terasa berat dan lengket di sekitarnya. Renjun tidak habis pikir kenapa Mark bersikeras memeprtahankan posisi duduknya yang menempel pada Renjun dan mengalungkan satu lengan di leher Renjun untuk menariknya mendekat.

"Kupikir kau tidak suka kontak fisik," sambung Renjun saat Mark tidak mengacuhkan pertanyaannya. Kaos putih yang dipakainya mulai menempel di punggung yang lembab karena menyandar pada bagian depan tubuh pria di sampingnya. Dalam hati ia menyesal tidak melepas jaket denimnya terlebih dulu.

"Hyung?"

"Kalau kau kepanasan turunkan saja temperatur pendingin udaranya," gumam Mark santai, kata-katanya sedikit tersamarkan karena mulutnya menempel pada ujung kepala Renjun. Walau begitu mata pria itu tidak lepas dari layar televisi yang menayangkan serial horor Netflix.

Bukan itu masalahnya. Sungut Renjun dalam hati. Sesuatu sedang mengganggu pikiranku dan sikapmu ini tambah membuatku bingung.

Persetan.

"Hyung."

"Hm?"

Renjun memutar bola matanya. Ia menarik nafas dalam-dalam, sekarang bukan waktunya unuk mengumpati Mark. "Sebenarnya hubungan kita apa?"

Ikatan tangan Mark di sekitar tubuhnya agak mengendur selama sepersekian detik sebelum menarik Renjun lebih dekat kearahnya. Hal yang mustahil kecuali Mark bertekad menaikkan Renjun ke setengah pangkuannya―tepatnya itulah yang sekarang ia lakukan?

"Come again?"

"Aku tidak akan mengatakannya dua kali," sekali saja cukup untuk menginjak ego dan harga dirinya. Mark tidak perlu tahu tapi semburat warna merah mulai menghiasi wajahnya sekarang.

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now