Chapter 13

2.7K 412 91
                                    

Kendaraan beroda empat itu meluncur di kawasan perumahan Gangnam  yang selalu dibetengi tembok dan pagar-pagar tinggi. Hari masih terlalu pagi untuk orang-orang berkeliaran. Menyisakan jalanan lenggang untuk mobil itu meluncur.

Beberapa blok dan persimpangan kemudian roda-roda itu berbelok menembus pagar platinum yang menjulang tinggi. Memasuki sebuah area luas dimana mansion keluarga Lee berdiri kokoh.

Pemuda yang mengendarai mobil sport itu mendengus mengamati pemandangan yang di laluinya. Maniknya memandang hina semak-semak hydrangea yang berjajar rapi menghiasi sisi-sisi jalan yang dipoles batu. Raut wajahnya dingin ketika melewati air mancur bundar yang berada di tengah taman. Patung malaikat bersayap dengan pedang yang berjajar melingkar seolah melotot mengutuk eksistensinya dan ia tidak peduli.

Bugatti hitam itu akhirnya terparkir apik di halaman berlapis batu yang berhadapan langsung dengan pintu menjulang dari kayu oak berdaun ganda. Daun pintu dengan relief floral itu menukik ke bawah tepat saat seseorang keluar dari sisi kemudi. Mark memandang datar pada Kepala Pelayan Cho yang muncul di balik pintu.

“Direktur menunggu anda di ruangannya, Tuan Muda.”





Ada sesuatu tentang ayahnya yang membuat Mark selalu merasakan emosi yang bercampur aduk di dadanya. Apakah itu amarah, kebencian, penolakan, atau penghinaan, Mark tidak tahu pasti. Yang jelas ide berada di ruang yang sama, berbagi udara yang sama dengan laki-laki itu membuat Mark muak.

Setiap ia melihat ayahnya ia diingatkan bagaimana sebuah fantasi dan impian seorang anak kecil tentang ayahnya hancur begitu saja. Bagaimana getirnya saat Mark menyadari pikiran naif seperti memiliki keluarga sederhana yang bahagia hanya angan-angan yang menggantung terlalu tinggi di atas sana.

“Kau akhirnya datang juga. Kupikir sopan santunmu sudah jatuh terlalu jauh untuk memenuhi panggilan seorang ayah pada anaknya,” laki-laki paruh baya itu berujar.

Di singgasananya, yang Mark lihat adalah sosok bangsawan sekaligus konglomerat berhati dingin yang punya uang terlalu banyak. Mempunyai kekuasaan terlalu absolut dan melimpah hingga untuk memanggil seseorang saja ia hanya perlu menjentikkan jarinya.

Dan juga seseorang uang terlalu egois untuk dipanggil ayah.

“Yang kupenuhi panggilannya sekarang, adalah seorang Direktur perusahaan adidaya yang tidak tahu cara yang tepat untuk berbicara pada anaknya.”

Dari tempat Mark berdiri, ia dapat melihat ayahnya tengah menatap melalui mata setajam emangnya dengan binar mencela. Hembusan nafas lelah keluar dari mulutnya.

“Kau bahkan tidak memperhatikan cara bicaramu pada orang yang lebih tua.”

“Aku tidak punya banyak waktu untuk berpura-pura baik di hadapanmu. Toh, sampai kapanpun aku akan tetap menjadi anak kurang ajar yang terbuang dari keluarga ini,” kekeh Mark getir seraya menyapu pandangan pada interior ruangan itu.

Berbagai nada warna cokelat tidak memberi kesan hangat sama sekali pada ruangan ini. Bahkan rak-rak kayu yang mempertahankan warna aslinya terlihat begitu mati dan dingin. Jajaran pigura yang berderet pada papan yang terpatri di tembok membuat Mark mendecih dalam hatinya.

Berbagai potret keluarga yang terpajang terlalu palsu. Terlalu dipaksakan. Munafik.

Bagi orang lain, potret itu sangat lengkap, sangat sempurna. Kumpulan fantasi tiap-tiap orang tertoreh pada lambat-lambat ivory berwarna itu.

Bagi Mark. Potret itu cacat. Sangat.

“Aku tidak yakin kau bisa mempertahankan sikapmu itu setelah mengetahui alasanku memanggilmu kemari,” laki-laki yang duduk di balik meja itu berdiri. Menarik sebuah amplop cokelat dari salah satu laci  kabinet di belakangnya.

Mark memandang sangsi gerak-gerik Lee Jaejoong. Alisnya menukik sebelah sebelum dengan ragu-ragu duduk di sofa berlengan mengikuti instruksi ayahnya. Duduk berseberangan dengan pria itu setelah sekian tahun membuatnya bernostalgia pada waktu-waktu ketika ia harus mendapat kuliah wajib dari ayahnya.

“Jelaskan ini.”

Matanya melirik penuh tanya pada amplop folio yang disodorkan  padanya oleh tangan berhias Girard-Perregaux 1996 Skeleton. Ia menatap bergantian pada Ayahnya dan amplop itu sebelum memutuskan untuk membuka segel.

Beberapa lembar ivory 3R dengan gambar resolusi tinggi jatuh meluncur di atas meja. Tidak bisa dibilang sedikit—mungkin sekitar dua lusin gambar. Mark mematung sejenak melihat sekilas foto itu lalu mendongak menatap tajam Direktur Lee.

Sesuai dugaannya, pria itu tengah memandangnya penuh penghakiman dibalik kacamata persegi yang bertengger pada wajah tegasnya.

“Apa yang perlu kujelaskan?” ujar Mark lebih tenang dari pada dugaannya ketika ia dihadapkan dengan berbagai foto Renjun. Jelas sekali diambil tanpa sepengetahuan mahasiswa tingkat tiga itu.

“Dia pacarmu?” selidik ayahnya dengan rasa penasaran yang Mark tahu dibuat-buat. Tanpa mendengar jawaban Mark pun Direktur Lee Industries itu pasti tahu apa yang sedang terjadi.

“Kau mengirim seseorang untuk mengikutinya hanya untuk mengancamku?”

“Kau tidak menjawab pertanyaanku.”

“Dari mana kau mendapat gambar ini?”

Respon keduanya sama-sama keras kepala dan semaunya sendiri. Kalau seperti ini, Mark jadi merasa benar-benar seperti seorang anak dari Lee Jaejoong.

“Seorang wartawan menghubungi departemen pers dan publikasi Lee Industries  satu minggu sebelumnya. Dua hari kemudian ia datang membawa buah tangan yang sekarang ada di genggamanmu,” ujarnya kelewat kalem. (Mark berekspektasi dirinya sudah dimaki-maki pada detik ini)

Matanya kembali menelusuri amplop coklat di tangannya. Ia membolak-balik kertas bertekstur dan tipis tersebut sebelum membaca sebuah tulisan dengan tinta indigo di pojok kanan.

“Dionysus Media...” ejanya lirih. Matanya mengeras melihat kata pertama sebuah perusahaan pemberitaan dan majalah terkenal itu.

“Jadi benar dia pacarmu?”

“Bisa jadi.”

Kalau saja Huang Renjun masih terjebak dengan masa lalunya.

“Jangan bercanda, Lee Minhyung,” tegur Jaejoong tajam. Matanya mengernyit tidak suka melihat Mark yang sama sekali tidak tergertak bahkan setelah ia memanggil nama koreanya. Prmuda Lee itu malah sibuk meneliti foto-foto hasil jepretan paparazi.

“Aku sedang tidak dalam mood untuk bergurau juga,” balas Mark pelan. Ia kini menatap lamat-lamat pada satu foto yang mengambil Mark dan Renjun sebagai fokus utama dengan pemandangan sungai Han dan kerlap-kerlip lampu perkotaan Seoul sebagai latarnya.

“Apakah ini bentuk pemberontakan yang lain?” celetuk Jaejoong setelah menyisir ekspresi Mark yang jarang-jarang terlihat tenang saat berada di sekitarnya.

“Pemberontakan?” Mark mendongakan kepalanya.

Lee Jaejoong menyandarkan tubuhnya ke belakang. Dengan satu tangan terkepal menumpu dagunya  dan kaki yang disilangkan, ia tersenyum tipis pada putra sulungnya yang keras kepala.

“Aku tahu siapa Huang Renjun. Dan kalau ini adalah salah satu bentuk pembangkangan dan pembalasan untuk Jeno ataupun padaku, kau hanya akan berakhir melukainya,” tuturnya pelan, hampir terdengar simpatik. Hampir.

“Jangan kau pikir aku tidak mengenalmu. Faktanya—dan realita yang tidak bisa diubah—kau adalah putraku. Hentikan permainanmu sebelum semuanya memburuk. Kau  lebih dari siapapun, tahu benar kecenderunganmu yang selalu melukai orang-orang di dekatmu.”

Kesunyian memenuhi ruangan berbentuk setengah lingkaran itu. Buku-buku yang tertata menjulang ke langit-langit seperti menahan nafas menyaksikan dua insan yang sedang berdiskusi.

“Kalian, memang tidak mengenalku sama sekali,” Mark berujar lambat-lambat. Matanya penuh ketidakpercayaan.

“Kau dan kakek mungkin boleh mengatur hidupku sebagai robot untuk menjalankan Lee Industries. Tapi punya hak apa kalian menilai sentimen yang kumiliki terhadap Renjun?” lanjutnya diiringi senyum miring yang makin lama makin lebar.

Bagaimana dengan perasaanku?

“Ayah sendiri adalah orang yang membuatku kehilangan sosok Ibu. Punya hak apa berbicara tentang aku yang akan menghancurkan hidup seseorang?”

Kalimat terakhir Mark bagai menarik pelatuk tak kasat mata. Bak granat yang ditarik pemicunya. Postur santai yang ditampilkan Lee Jaejoong sirna seketika. Digantikan tubuh yang menegang dengan satu tangan mencengkeram lengan sofa. Matanya sekeras berlian dan menyorot dingin.

“Jangan ungkit-ungkit tentang wanita itu lagi, kau tidak tahu apa-apa.”

Nada bicaranya sedingin es dan segersang padang pasir. Serak dan tertahan oleh emosi yang meluap-luap.

“Aku—”

“Jeno baru saja bertunangan, keadaan perusahaan sedang stabil begitu juga penyatuan antara Lee Industries dan Apollo Hotel. Kuharap kau tidak mengacaukannya hanya karena permainan kecilmu. Ingat untuk apa kau kembali ke Korea, Mark Lee.”

Mendengar kalimat bernada absolut tanpa pembantaian itu membuat Mark mendengus. Kemudian tertawa hambar dengan raut mencemooh. Perlahan ia berdiri sambil merapikan mantelnya. Ia tidak bodoh, kalimat tadi juga berarti 'keluar dari ruangan ini sekarang'.

“Kalian memang benar-benar tidak mengenalku,” Mark mengulang kata-katanya lagi penuh penekanan.

Putra sulung keluarga Lee itu melangkah menuju pintu, tanpa membalik badannya ia berkata sarat akan sarkasme. “Sayang sekali hanya foto itu yang ia kirim. Kalau kalian meminta lebih, akan ada tontonan yang lebih menarik.”

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now