Chapter 20

2.2K 343 59
                                    

A/N: ADA A/N DI DEPAN ADA APANIIH??

gaada sih cuma mau bilang selamat membaca :"



Renjun masih ingat pertemuan pertamanya dengan laki-laki bermarga Lee yang kini duduk berhadapan dengannya di meja kayu yang terletak di sudut kafe. Ia bertemu dengan remaja yang berusia sama dengannya di kafe yang sama di hari pertama masa orientasinya di sekolah menengah atas.

Semester baru dimulai pada awal musim semi, dan meskipun bunga mulai bermekaran saat itu dan es sudah mencair, tubuh Renjun masih menggigil saat berjalan-jalan tanpa jaket tebalnya. Tanpa pikir panjang ia menerobos pintu kaca yang kerangka kayunya masih berbau cat varnis pekat, ia berjalan cepat ke kasir dan memesan satu cokelat panas yang stoknya tinggal satu.

Tidak ada pertemuan klise semacam menumpahkan minuman ke kemeja mengkilap Jeno atau bagaimana. Yang ada Renjun hampir mengutuk Jeno hari itu karena ia menjadi orang terakhir yang bisa memesan cokelat panas. Pakai bahasa mandarin tentu saja, bahasa koreanya masih payah saat itu. Renjun dengan berat hati harus menerima kenyataan dan membawa pulang americano panas dengan uap mengepul di tangannya, yang di lidahnya terasa lebih pahit. (Renjun menyalahkan mood buruknya dan orang asing yang mengambil cokelat panas terakhir sebagai penyebabnya)

Tidak ada yang spesial di pertemuan pertama itu, berani bertaruh Jeno bahkan tidak mengingatnya atau menyadari eksistensi Renjun saat itu. Yang mereka berdua tidak sadari, pertemuan itu bagaikan kunci yang membuka pertemuan-pertemuan mereka selanjutnya. (Walaupun sebenarnya tidak bisa dibilang sebagai pertemuan juga sih)

Renjun hampir setiap hari mengunjungi kafe yang hampir ditutupi tanaman itu sepulang sekolah. Dan menjadi awal mula ketergantungannya terhadap kafein―walaupun rasa pahit yang tertinggal di lidahnya bukan rasa favorit Renjun. Dan hampir setiap kunjungannya ia mendapati sosok remaja berwajah dingin dengan mata tajam yang duduk di pojokan.

"Jangan bodoh Jen, atau kuceburkan bokongmu ke air mancur di depan sekolah―"

Sayup-sayup Renjun dapat mendengar suara Jaemin. Matanya yang tertutup membuat indra pendengaran Renjun lebih tajam dari biasanya. Saat itu Seoul tengah memasuki pertengahan musim semi, dan Renjun memiliki kebiasaan berbaring di bawah pohon cherry blossom yang beberapa tumbuh di halaman belakang sekolah.

"Aku tidak berpikir ini ide yang bagus―"

"―berhenti bersikap membosankan. Inilah kenapa Mark-hyung dengan mudah menindasmu."

"Aku tidak pernah membiarkan siapapun menindasku, bodoh."

Suara siswa yang kedua itu agak meninggi dan terselip rasa jengkel saat mengucapkan kalimat terakhir. Tidur-tidur-malas Renjun mulai terganggu, dia membuka salah satu matanya sambil menolehkan kepalanya malas-malasan ke samping.

Renjun bersyukur karena walaupun dalam kondisi setengah mengantuk, ia dapat menahan diri untuk tidak berkata omong kosong―dan apapun yang dapat mempermalukan dirinya sendiri―di hadapan Jaemin dan laki-laki yang sangat familier. Jeno tampak canggung dan bodoh, meskipun itu tidak menutupi paras tampannya―tapi bukan itu intinya. Perlu lima menit bagi Renjun sebelum mengalihkan pandangannya.

Lima menit untuk mengamati rahang tegas yang mengatup kaku dan hidung mancung yang seperti sedang menahan nafas. Matanya masih setajam biasanya dan air mukanya tidak lebih ramah―Jeno memang seperti itu. Hanya saja mata yang biasanya tidak terbaca itu sedikit berpendar cemas dan frustasi. Saat Renjun menengok untuk kedua kali, dia menangkap keseluruhan bahasa tubuh Jeno yang dengan jelas menggambarkan kecanggungannya dan keenggangan untuk berada di tempat ini.

"Renjun, ini Jeno―"

Aku tahu, anak-anak di kelas masih sering bergosip tentang anak konglomerat keluarga Lee.

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now