Pertemuan Pertama Kami

110 0 0
                                    

Stefani mengerutkan kening saat melihat segerombolan ibu-ibu yang sedang asik berbisik-bisik seru. Mereka tampak sesekali mengangguk - anggukkan kepala dan kemudian mengeleng-geleng. Kerutan didahi Stefani semakin bertambah tatkala dia melihat sebuah mobil mewah terparkir didepan rumahnya yang terbilang sederhana.

Wah, orang tuanya pastilah kedatangan tamu penting dan kaya kalau dilihat dari mobilnya, batin Stefani.

"Permisi bu," sapa Stefani sambil tersenyum.

"Oh, nak Fani. Baru pulang kuliah?" tanya mereka berbasa basi. Stefani hanya mengangguk. Kemudian dia menerobos gerombolan ibu-ibu yang kembali melanjutkan gosipnya dan masuk ke dalam pekarangan rumahnya.

Dia duduk di teras depan sambil menunggu tamu tersebut pulang, namun tidak lama dia mendengar suara hentakan dari dalam.

"Kalau kalian tidak bisa melunasi hutang-hutang kalian dalam waktu tiga hari, maka kami akan datang untuk menyita rumah ini beserta isinya!"

Setelah suara menggelegar itu, tak lama dua orang pria bertubuh agak gempal keluar dari dalam rumahnya. Mereka berdua melirik Fani yang menunduk karena takut. Dia benar-benar terkejut dengan kejadian barusan. Jadi mobil mewah didepan rumahnya itu adalah mobil milik para rentenir - rentenir itu?

Mobil kedua pria itupun menjauh. Fani kemudian bergegas masuk kedalam rumahnya dan mendapati mama yang tampak syok dan papa yang mondar mandir dengan wajah kacau.

"Papa berhutang sama mereka?" Kalimat itulah yang pertama kali meluncur dari mulut Fani.

Papa menatap Fani dengan wajah bersalah.

"Aku pikir keadaan keluarga kita baik-baik saja. Jadi aku salah?"

"Kamu pikir keluarga kita baik-baik saja? Kalau kau tidak bersikeras untuk kuliah, papa dan mama pasti tidak akan ke pusingan untuk membayarkan biaya kuliahmu yang mahal itu," Sandra, kakak pertamanya keluar dari dalam kamar. Wajahnya begitu kesal.

"Apa itu benar? Kalian berhutang untuk membayar kuliahku?" Fani menuntut penjelasan.

"Tidak sayang, papa meminjam uang untuk modal usaha. Tapi usaha itu tidak berjalan baik. Kami bangkrut," kata Papa menenangkan.

"Silakan kalian bela saja Fani terus. Dia ingin kuliah, kalian kuliahkan, walaupun harus berhutang, sedangkan aku? Aku ingin kursus make up pun sampai sekarang tidak kalian dengar," sahut Sandra.

"Kami tidak membela siapapun disini, Sandra. Kalian adalah anak kami, kami ingin mengusahakan yang terbaik untuk kalian."

"Lalu kenapa kalian memperlakukan kami berbeda? Kalian hanya sayang pada Stefani." Selesai melontarkan perkataan kasar pada kedua orang tuanya, Sandra kembali masuk kedalam kamarnya dan membanting pintu kamarnya dengan keras. Kedua orang tuanya hanya bisa menghela napas panjang.

"Papa, mama, kalian berhutang pada siapa?"

Papa dan mama saling melemparkan pandangan.
"Keluarga Atmaja," jawab Papa pelan.

"Ap...?" Stefani sampai tidak sanggup meneruskan kata - katanya karena begitu terkejut.

Keluarga Atmaja adalah keluarga terpandang dan terkenal di kota ini. Tidak ada yang tidak mengenal keluarga mereka. Putra sulung keluarga Atmaja adalah seorang anggota parlemen terkenal dan putra keduanya adalah seorang pengusaha, walaupun beliau sudah lama meninggal. Tapi keluarga mereka masih begitu berpengaruh disini.

"Berapa?" tanya Stefani sambil menelan ludah.

"500 juta. Belum termasuk bunga," Papa tampak frustasi saat menyebutkan nominal hutang keluarga mereka. Namun bukan papa dan mama saja yang frustasi, tapi Stefani juga.

Story About YouWhere stories live. Discover now