Alhamdulillah beberapa bulan setelahnya kami menikah. Kedua pihak keluarga menyambut bahagia ikatan sakral itu. Hari-hari terasa di surga kala aku melewatinya bersama Sasha. Hingga suatu saat di bulan ketiga pernikahan kami, aku menerima perintah khusus dari pemilik perusahaan tempatku bekerja.

"Pak Riyan, saya ingin mulai bulan depan Bapak menjadi ajudan saya. Bisa kan?" Permintaan Pak Bram membuatku tertegun. Ajudan?

"Tenang. Gaji Bapak saya naikkan empat kali lipat," katanya lagi.

"Terima kasih atas kepercayaan Bapak, tapi apa saya boleh minta waktu untuk menjawabnya?"

"Hm ... okay. Bapak punya waktu dua hari untuk mempertimbangkan."

Entah mengapa kalimat Pak Bram seperti menyatakan bahwa aku punya waktu dua hari untuk kemudian mengatakan, "Ya, saya bersedia!". Aku paham betul sifatnya yang tak suka dibantah.

Malam itu hati-hati kusampaikan pada Sasha perihal pekerjaanku. Ia tak setuju. Katanya, dengan pendidikan yang kupunya, aku lebih pantas menjabat sebuah posisi yang 'jelas' seperti sekarang daripada menjadi seorang ajudan. Lagipula ia tak mau jika waktuku habis tersita untuk keperluan bosku nantinya.

Aku dilema. Di satu sisi apa yang dikatakan Sasha memang benar. Namun di sisi lain (sisi yang tak diketahui siapapun bahkan Sasha), aku punya pertimbangan tersendiri yang membuatku tergoda untuk menerima tawaran menggiurkan itu. Sebuah kesempatan langka bisa menjadi ajudan seorang miliarder seperti Pak Bram.

Itulah titik awal perang dingin di antara kami. Aku merasa istriku tak mau mengerti keinginanku. Saat kuminta pengertian padanya dengan sangat, ia tetap bertahan dengan pendiriannya. Akhirnya aku dinobatkan sebagai ajudan Pak Bram tanpa menunggu persetujuan Sasha.

Demikianlah. Sebagian waktuku memang akhirnya tersita untuk bosku. Sebagai seorang ajudan, aku harus menyediakan waktu 24 jam untuknya. Apalagi saat itu Pak Bram sedang memiliki persoalan rumit dalam keluarga.

Lalu sebagai tanda pengertiannya padaku yang juga telah menikah, ia memberikan libur selama 3 jam setiap hari Sabtu. Ya, Allah! Tantangan ini begitu berat. Mendapati semua itu Sasha menangis sejadinya. Ia merasa tak dihargai sebagai istri.

Di sela kemelut yang melanda aku mencoba berpikir jernih. Aku sungguh meminta maaf karena menerima tawaran itu tanpa menunggu persetujuannya. Kukatakan juga bahwa semuanya hanya sementara, sebagaimana yang Pak Bram janjikan padaku dalam sebuah pembicaraan kami.

Ya, untuk beberapa waktu Sasha berusaha percaya bahwa tak lama lagi kehidupan kami bisa seperti semula. Sampai akhirnya tak ada yang berubah setelah masa terlewati hingga satu tahun lamanya.

Kemudian pertengkaran demi pertengkaran mewarnai pesan instan yang seharusnya menjadi perekat hubungan kami. Tiga jam jadwal kebersamaan yang ada kadang jadi tak terisi lagi dengan hal-hal yang romantis. Lalu semuanya semakin rumit, dan perceraian menjadi satu-satunya jalan yang bisa kami ambil untuk menghentikan penyiksaan ini, meskipun hatiku teriris.

*

Sejak perceraian itu aku tak bisa tenang. Jika selama ini aku selalu berkomunikasi dengan Sasha melalui pesan instan dan video call, setelah bercerai jelas itu tak lagi bisa kulakukan. Aku mencemaskannya.

Untuk memecah hubungan yang beku sering kukirimkan info-info yang kadang tak penting, hanya bermaksud untuk memancing perhatian mantan istriku itu. Namun apa daya, ia mengabaikan semua. Aku harus puas dengan dua centang biru yang terpampang di layar iPhone-ku.

Sampai beberapa menit lalu saat aku tak sanggup lagi memendam rindu, Dena, adikku, minta ditemani menemui Sasha untuk wawancara. Katanya ia ingin melengkapi bahan makalahnya, dan ... ah, entahlah aku tak terlalu menghiraukan. Yang kutahu, ini menjadi kesempatan pertamaku untuk bertemu dengan orang yang kucintai. Aha!

[Pulang kantor jam berapa, Dek? Nanti Abang jemput, ya? Love: R.i.y.a.n]

[Ping!]

Kukirimkan pesan itu tanpa memedulikan apapun jawabannya.

"Paham kan, Yan?"

"Yan!"

Aku terperanjat. Sejak tadi Bimbim ternyata memanggil namaku. Ah, Bimbim! Sasha memang selalu menarik perhatianku melebihimu.

*

Rumah masih sepi. Tadi Sasha juga tak ada di kantornya. Aku berkeliling sejenak melepas memori tentang segala lekuk bangunan itu. Kutekan saklar di ruang dapur. Hah! benar saja. Lampu itu tak menyala. Sasha memang tak terlalu peduli dengan lampu-lampu di rumah kecuali jika semuanya telah mati. Kuganti lampu itu dengan stok yang selalu tersedia di lemari penyimpanan.

"Jangan bergerak!" Aku terkejut mendengarnya. Kulihat Sasha berdiri di ambang pintu bak superwoman bertampang garang. Ia hampir saja melemparku dengan vas bunga kaca berwarna biru zamrud kesayangannya.

Saat Sasha tahu itu aku, sekilas kulihat rona merah membayang di wajahnya. Aku tak sanggup menatap. Lalu kami berdebat tentang bagaimana aku bisa masuk ke rumah ini.

Saat mantan istriku itu sibuk menginterogasi, aku justru sibuk menata hati yang sejak tadi berdebar tak karuan. Wajah cantik itu, aroma tubuhnya yang wangi, suaranya yang selalu manja di telingaku.

Ah, Dena tolong cepatlah datang bersama karedok pesananku! Wanita cantik ini benar-benar melenakan betapapun aku berusaha mengelak.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Akhirnya!

"Maaf, Bang ... beli karedoknya antri. Pantas aja ya Abang kangen berat. Pasti enak."

Dena datang. Mereka saling berpelukan melepas rindu. Obrolan khas wanita pun menggema di sekeliling ruangan. Lalu basa-basi itu kami akhiri dengan shalat berjama'ah di mushala kecil yang dulu kubuatkan untuk Sasha. Entah bagaimana perasaannya saat ini. Kesalkah?

Maafkan aku yang selalu mengganggumu, Dek. I am still loving you.

***

CINTA SANG AJUDAN (Mantan Suamiku, Berhentilah Menggodaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang