Part 11

3.9K 290 32
                                    

PoV Sasha

Aku terpaku menatap Bang Riyan yang menyetir di sampingku. Seperti terlempar ke masa lalu, kunikmati setiap inci wajahnya yang selalu saja mampu menciptakan debar-debar cinta di dada.

Ah, pria ini! Kami sudah bercerai, tapi entah mengapa sikapnya seolah menyiratkan bahwa aku masih menjadi incaran hati. Beberapa menit lalu ia baru saja menolak sahabatku yang telah memendam rasa padanya sejak bertahun lalu.

Tina! Aku tak tahu harus membencinya atau tidak. Selain cinta, ketegasan Bang Riyan membuatku lupa untuk merasakan hal lain apalagi kebencian. Tina adalah tempatku mencurahkan isi hati ketika dulu mencoba menarik perhatian Bang Riyan yang sebenarnya tak terlalu peduli dengan sikap gadis-gadis di sekelilingnya.

Mungkin ada yang merasa aneh dengan kehidupan Bang Riyan yang selalu dekat dengan masalah wanita. Namun jika kamu pernah sekampus dengannya pastilah takkan sedemikian heran tentang hal ini.

Aku adalah salah satu bukti sejarah bahwa ia memang sangat dikagumi oleh lawan jenisnya. Ya, kuakui aku tak seberani gadis lain dalam menunjukkan perasaan. Aku tak berani membawa beragam masakan ke kampus hingga menyatakan cinta padanya di kantin atau perpustakaan.

Meskipun begitu apa yang kulakukan sesungguhnya sudah cukup membuatku malu dan sayangnya diri ini tetap saja melakukan itu.

"Bang ... ini, pakai aja payungku," kataku di suatu sore yang basah, saat melihat Bang Riyan dalam deraian hujan.

"Sasha, tunggu!" Ia memanggilku yang langsung berlari menjauh. Bang Riyan tak tahu bahwa aku sama sekali tak sanggup lagi menoleh padanya.

Sejak itu aku benar-benar menghindar. Malu! Meskipun kami terkadang berada dalam kegiatan yang sama, namun Bang Riyan yang berada dua tingkat di atasku semakin sibuk untuk menyiapkan tugas akhir kuliahnya. Jadi aku sedikit lega.

Oh ya ... sejujurnya, Bang Riyan tak pernah menyatakan cintanya padaku semasa kuliah dulu. Hanya saja sikapnya benar-benar berubah sejak kejadian dalam hujan itu. Aku sempat mendapat ancaman dari beberapa fans-nya karena telah membuat perhatian Bang Riyan tercurah padaku.

"Dek?"

"Hellow?"

"Ehm!"

"Sayang?"

Astaghfirullah! Aku terkejut saat sesuatu yang dingin menyentuh pipiku.

"Ih, Abang jahat!"

"Haha ...." Ia tertawa saat melihatku merengut. Sekaleng minuman dingin baru saja ia gunakan untuk menarikku keluar dari lamunan masa lalu.

"Lamunin apa sih? Minum dulu," katanya, santai. Ternyata Bang Riyan sudah menepikan mobil sejak tadi.

"Lho, Bang ... ini kan kantorku?" ucapku sambil menerima minuman yang diangsurkannya.

"Memang. Kamu harus balik ke kantor kan?"

"Ya, Allah! Aku lupa membelikan bunga untuk tunangan Pak Nandito. Aduh, aku harus balik ke toko itu." Sedikit panik kucoba membuka pintu, tapi Bang Riyan menahan.

"Hei ... tenang, Sayang. Biar Abang selesaikan ya. Kemana bunganya dikirim?" Aku terpana melihat Bang Riyan yang langsung menghubungi seseorang melalui gawainya.

"Alamatnya, Dek?" katanya, berbisik.

Kusebutkan alamat butik milik Jenifer dan ya, semua masalah bunga itu jadi beres.

"Okay ... sekarang silakan masuk kantor dulu, Abang tunggu di sini ya."

"A ... apa? Tunggu di sini? Ma ... maksudnya?" Aku tergagap menanggapi sikap Bang Riyan yang semakin aneh.

"Pulang kerja kita ketemu Mikayla, yuk!"

Uhuk! Aku tersedak.

"Kok wajahnya gitu?" Bang Riyan memiringkan kepalanya demi melihatku.

"Aku benci sama dia," kataku, lalu terkejut sendiri dengan sikap reaktifku.

"Eh ... ada yang cemburu. Alhamdulillah," kata Bang Riyan dengan senyum menyebalkan.

"Ih, apa sih, Bang?" kataku sambil memukul manja tangannya.

Untuk melarikan diri, aku pun turun dari mobil itu, setengah berlari menuju ruanganku, dan menyelesaikan sisa pekerjaan dengan lengkung yang enggan menghilang dari bibir.

***

Malam yang cerah. Bintang-bintang tampak gemerlapan di atas sana. Aku dan Bang Riyan melangkah di pelataran parkir sebuah hotel mewah di Jakarta.

Tiga menit berlalu. Ruangan beraroma vanila menyambut kami yang sejak tadi tak hentinya saling melempar senyum. Sebuah restoran menjadi tujuan kali ini. Tak lama kemudian, dari kejauhan tampak seorang gadis mengenakan jilbab bermotif abstrak tersenyum ke arah kami.

"Mikayla?" Bang Riyan tampak terkejut, lalu menatapnya kagum.

"Iya, Mas," jawab gadis itu, senang. Namun air mukanya langsung berubah saat melihat Bang Riyan datang bersamaku.

"Mas, bukannya kita mau makan malam berdua?" katanya tanpa basa-basi.

"Hm ... maaf, Mika. Sebenarnya malam ini saya ingin memperkenalkan seseorang, ini ... Sasha, kekasihku."

"Hah?" Aku dan Mikayla kompak mengucapkannya.

"Mas Riyan ... kamu tega banget!" Mikayla mulai berkaca-kaca.

"Tenang. Ayo, duduk dulu. Silakan, Dek." Bang Riyan menarik sebuah kursi untukku dan meminta Mikayla juga duduk di seberang meja.

Sementara aku berusaha mengendalikan debar di dada, Mikayla tampak kesulitan mengatur emosinya.

"Mas ... hhhh ...." Bulir bening itu akhirnya jatuh dari sudut matanya.

"Mika, cepat atau lambat semua ini harus saya sampaikan. Sasha adalah mantan istri saya dan kami akan menikah kembali. Saya minta kamu jangan salah paham dengan tugas ...."

"Ngga, Mas! Aku ngga rela!" Mikayla menyela ucapan Bang Riyan.

"Tenang, Mika."

"Gimana aku bisa tenang, Mas? Keluargaku hancur. Cuma kamu harapanku. Lihat! Aku udah merubah penampilanku demi kamu, Mas Riyan. Aku ingin menjadi wanita baik-baik seperti yang kamu mau," ucap Mikayla terisak.

Hening. Aku tahu betul Bang Riyan tak sanggup melihat orang lain menderita di hadapannya. Suasana mulai tak nyaman bagiku.

"Maafkan saya, Mikayla ...," ucap Bang Riyan memecah keheningan.

"Aku ngga mau, Mas ...." Ia meraung, membuat kami sukses menjadi pusat perhatian.

Bang Riyan menatap tak enak ke arahku. Seperti memberi kode agar sebaiknya kami segera pergi dari tempat itu.

"Mika ... hanya itu yang ingin saya sampaikan. Kami pamit dulu. Sebaiknya kamu istirahat."

Baru saja kami bangkit dan hendak melangkah, tiba-tiba Mikayla bergegas mendekati dan memeluk Bang Riyan dari belakang.

"Mas, tolong nikahi aku. Bukankah pria boleh memiliki istri lebih dari satu? Aku rela menjadi istri keduamu, Mas."

Aku tercengang melihat apa yang dilakukannya. Ya, Allah! Ada apa dengan gadis ini? Mengapa ia selalu membuatku cemburu? Mataku beralih menatap Bang Riyan yang tertegun. Ia menghembuskan nafas dengan mata terpejam.

Sungguh aku tak sanggup berlama-lama menyaksikan adegan yang membuat dadaku terasa ingin meledak. Meskipun tak rela, sebaiknya aku pergi. Biarlah Bang Riyan menyelesaikan masalahnya sendiri. Aku tak mau ikut campur.

Aku benar-benar sudah melangkah, namun detik selanjutnya aku kehilangan kesempatan itu. Sebab kini Bang Riyan telah menarikku ke dalam pelukannya. Ia mendekapku hangat, kian lama kian erat.

Aku tercekat. Dadaku seolah tak mampu bertahan. Permintaan Mikayla masih terngiang di telinga. Bagaimana jika Bang Riyan terpengaruh dengan keadaan ini? Perlahan tapi pasti, kurasakan sakit di sudut hati.

"Bang ... aku harus pergi," bisikku bergetar.

"Kumohon ... jangan tinggalkan aku," balasnya.

***

CINTA SANG AJUDAN (Mantan Suamiku, Berhentilah Menggodaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang