ASPIA 19

25.1K 3.9K 167
                                    

"Aduh, sakit bakpia tempe,.. ih.."

Kenan bersungut-sungut saat aku menabok lengannya. Habisnya dia tuh ngagetin aku, yang termenung di atas kasur. Bukan termenung sih, tapi jantungnya berdegup kencang saat menunggu Aslan di luar, di sidang oleh ayah. Duh, perutku juga terasa mules kalau seperti ini.

Kenan kini mengusap lengannya dan duduk di depanku. Dia sepertinya membawa berita yang menghebohkan, karena raut wajahnya tampak cerah ceria begitu.

"Apaan, sih? Ngagetin aja tahu, bikin deg-deg an."
Aku menyentuh dadaku sendiri, sedangkan Kenan kini malah menyeringai lebar.

"Ecieee, yang nungguin mas bojonya di sidang sama ayah."

Aku langsung mencubit lengan Kenan tapi dia sudah menjauh dan menjulurkan lidahnya.

"Nih, detektif Kenan edogawa bawa berita bagus."

Aku hanya mengangkat alis mendengar ucapan Kenan. Dia ini sok jadi detektif. Rambut di sisir dengan jemarinya lalu dia bersedekap.

"Menurut ramalan cuaca malam ini ada seorang wanita yang bakal guling-guling di atas kasur. Mueheeeheheheee.."

Aku sudah siap mengangkat bantal ingin melempar ke arah Kenan, tapi dia segera mengangkat tangannya.

"Kosek, to bakpia ketan item. Belum selesai ngomong ini."

 Aku kini hanya menatapnya dengan penasaran. 

"Barusan Ken denger nih.."

"Kamu nguping?"

Aku langsung maju untuk berbicara lebih jelas kepada Kenan. Dia langsung menganggukkan kepalanya. 

"Iyalah nguping, kan Ken kepo gitu. Ih, itu mas bos kok ngomongnya pelan banget tapi, kayak emak-emak mau beranak.." Tuh kan, ini anak emang minta ditabok. Tapi Kenan kini sudah menjauh lagi untuk menghindari cubitan apa tabokanku.

"Dan Kenan denger sesuatu.."

 "Apa?"
Kenan kini malah berpindah tempat duduk di kursi yang ada di depan meja tempatku membaca atau belajar. Lalu dia berlagak seperti bos yang menopangkan salah satu  kakinya di paha.

"Setelah ayah kasih ujian naik gunung, lari sepuluh kilometer, dan berenang menyeberangi benua Amerika, Mas bos akhirnya di-skak mat."

Kenan itu kalau ngomong muter-muter. Dasar bocah.

 Aku kini beranjak dari dudukku dan melangkah mendekati Kenan, berdiri di depannya lalu bersedekap.

"Ga, mutu. Mbak bisa tanya sendiri sama ayah."

Aku berbalik dan akan melangkah saat Kenan menarik lenganku.

"Kosek to cah ayu. Di suruh sabar kok gak bisa. Orang sabar kan pantatnya lebar loh."

Absurd lagi. Aku sudah melotot ke arah Kenan yang kini dijawab dengan senyuman jahil.

"Wes intinya apa to?"
 Kenan mengernyit mendengar pertanyaanku, "Sik tadi apa ya? Ken ngomong sampai mana tadi?"

Lah ini anak bikin emosi. "Sampai timbuktu, negerinya paman gober."

Jawabanku itu malah membuat Kenan tergelak, dan aku kembali mendengus kesal. 

"Siapkan hatimu mbak ayu, besarkan hatimu. Siapkan tisu yang banyak. Intinya tuh ayah kasih tahu ke mas bos kalau mbakku yang cantik ini bakalan nikah ama Dokter Dimas."

Aku tentu saja terdiam mendengar ucapan Kenan. Ini beneran? Kenan langsung beranjak dari duduknya dan berlari keluar.

"Sik mau dengerin lagi."

 Lah dia belum selesai mendengarnya?
 Aku langsung melangkah ke arah kasur dan terduduk di tepi kasur. Duh rasanya kok sedih gini ya? Ayah pasti menolak Aslan dan tetap memilih Dokter Dimas. Aku juga tidak bisa berbuat apapun, toh ayah sudah mengenal keluarga Dokter Dimas, sedangkan Aslan?
 ****** 

Aku menggeliat dan menguap. Rasanya baru saja bisa tidur, mataku terasa begitu berat. Alunan lagu SABYAN yang menjadi dering panggilan telepon membuat aku seketika membuka mata. Mengulurkan tangan ke arah nakas, dan mengambil ponselku. Aku tidak tahu ini pukul berapa. Tadi sempat menangis, terus ketiduran.

'BOS CALLING'

Id name itu yang tertera di layar ponselku membuat aku langsung menegakkan tubuh. Sudah pukul 1 dini hari. Aku benar-benar tertidur tadi. Aslan pasti juga tadi sedih dan langsung pulang.

"Assalamualaikum."

Suaraku terdengar begitu parau saat ini. Kutempelkan ponsel di telinga. Jantungku berdegup kencang menunggu..

"Waalaikumsalam, Sofia. Maaf, mengganggu tidurmu. Tapi aku benar-benar tidak bisa tidur sebelum mendengar dari kamu."

Aku mengernyitkan kening, tidak tahu apa yang akan kami bicarakan. Semuanya jadi canggung.

"Kak.. eh bos..."

 Aku bingung memanggil siapa...

"Bisakah panggil mas saja?"
 Suara di ujung sana tampak terdengar begitu ceria. Ini dia sedih kan bukan malah bahagia karena ditolak ayah?
Aku saja tadi menangisi Aslan, kenapa dia malah sepertinya tidak sedih?

"Kenapa telepon?" Akhirnya aku sedikit jutek mengatakan hal itu. Dia ini sukses membuat emosiku naik turun.

"Eh. kok galak gitu? Sama calon suami kok."

Mataku membelalak mendengarnya, "Eh, bukannya mas udah ditolak kan sama ayah? Maafin ya mas, Pia juga gak tahu harus ngomong apalagi. Tapi Pia tidak bisa menentang ayah. Pia tahu meski masih mencintai mas, tapi restu orang tua itu lebih penting."

Aduh aku ngomong apa tadi? Keceplosan lagi kan ya? Kutepuk bibirku sendiri dengan tangan. Di ujung  sana Aslan terdiam. Aduh aku salah lagi kayaknya ini.

"Mas, duh maaf mas... Pia..."

 "Pia, alhamduliah.. alhamdulilah, Ya Allah."

Eh, dia kenapa? Aku mendengar Aslan malah berteriak di ujung sana. Jangan-jangan dia stres ya karena tidak bisa mengambil hati ayah dan mengusir Dokter Dimas? Aduh.

"Mas,,, kenapa?"
 

"Udah, kamu bobok lagi aja ya! Have nice dream. Jangan lupa berdoa, atau kalau gak bisa bobok, shalat tahajud. Aku juga mau melaksanakan shalat tahajud. Kamu itu jawaban dari doa-doa ku di sepertiga malam ini. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

 Aku menatap layar ponsel yang sudah menunjukkan kalau Aslan mengakhiri teleponnya. Dia ini maksudnya apa sih? Kok aku bingung sendiri.

BERSAMBUNG

Aduh makasih loh mas bos udah merjuangin aku ....sini tak sun hehehehe

SIAP MAS BOS! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang