ASPIA 18

24.5K 4K 213
                                    

ASLAN ADYATMA SERKAN

Aku gugup. Belum pernah aku seperti ini. Aku itu orang yang jarang untuk gugup, karena tidak pernah gentar menghadapi apapun. Hanya sedikit moment yang bisa membuatku seperti ini.Tanganku terasa dingin saat aku menggenggamnya. Malam ini, sebenarnya aku datang ke sini, untuk meminta maaf kepada Sofia. Aku sedih melihat raut wajahnya tadi saat pergi meninggalkan ruanganku. Dia terlalu tertekan olehku, jadi aku berniat memberinya waktu.

"Atma..."
Suara berat itu menyentakku kembali ke alam nyata lagi. Aku duduk di kursi dari rotan, di teras depan.

Allah memberiku jalan lebih mudah dengan mempertemukanku dengan Om Kafka. Ayah Sofia ini memang sudah aku kenal. Dulu, saat mengantar materi ke rumahnya Sofia, aku malah terkena ujian hafalan Alquran dari Om Kafka.

"Iya,om."

Aku menegakkan tubuhku dan kini menatap Dokter Gigi Kafka. Beliau tidak banyak berubah, masih tetap saja berkharisma dan malah tambah berwibawa.

"Kamu sudah menetap di sini?"
Om Kafka kini menatapku dengan serius.

Kuanggukan kepala dan berusaha untuk tidak terlihat gugup.

"Iya om. Insyaallah saya akan di sini. Menetap di Indonesia."

Om Kafka mengernyitkan keningnya, lalu memegang dagu dengan jemarinya. Dia tampak tidak percaya denganku.

"Apa hubungan kamu sama Sofia?"

Aku mencoba untuk bersikap lebih rileks.

"Saya bosnya Sofia."

Om Kafka kini mengernyit lagi lalu menatapku lebih dalam.

"Dan? Apakah kamu tahu kalau kamu sudah membuat Sofia bersedih selama ini?"

Pertanyaan itu langsung membuat ulu hatiku terasa sakit. Aku memang telah bersalah.

Aku menunduk dan menganggukkan kepala.

"Saya tahu om. Saya telah membuat Sofia menangis selama ini. Semua itu mengganggu saya."

Aku menghela nafas dan kini menatap Om Kafka. Beliau pasti tahu Sofia menderita.

"Katakan apa alasan kamu berbuat seperti ini? Sofia sudah bahagia sekarang, dan akan menikah dengan seorang dokter."

Jantungku berdegup kencang dengan pertanyaan itu
Untuk sesaat aku kehilangan orientasi. Seperti kalah sebelum berperang. Tapi aku beristighfar dan menguatkan hati lagi.

"Saya hanya belajar ikhlas om. Kalau Sofia memang jodoh saya, pasti akan diberi kemudahan. Tapi kalau memang bukan jodoh saya, ikhlas melihat Sofia menikah."

"Ya udah. Ikhlasin Sofia sama Dokter Dimas."

Raut wajah Om Kafka tidak terbaca. Aku kembali beristighfar di dalam hati. Semoga aku kuat.

"Apakah Dokter Dimas sudah meminang Sofia? Dan om menerima?"

Mendengar pertanyaan itu Om Kafka segera menggelengkan kepala. Beliau kini mengalihkan tatapan ke langit malam ini. Tidak ada bintang, yang ada hanya langit kelam di atas sana. Hawa dingin juga kian terasa. Menembus kulit tanganku yang tidak terlindungi oleh jaket.

"Aku bukan ayah yang diktator. Meski ingin Sofia mendapatkan imam yang baik, tapi semuanya kembali kepada Sofia."

Ucapan Om Kafka membuat aku tersenyum. Beliau memang patut menjadi panutan.

Om Kafka kini menatapku lagi.

"Apa alasan kamu tidak ada kabar selama ini? Melukai hati Pia sedemikian rupa. Tahukah kamu kalau tangisan seorang anak itu perlahan menyayat hati orang tua."

Aku makin menciut dengan ucapan Om Kafka. Kutegakkan diri dan mencoba untuk tak gentar dengan tekanan dari Om Kafka.

"Saya memang salah om. Saat berpamitan kepada Sofia saya memang mengatakan mencintai Sofia."
Aku menatap Om Kafka yang masih bergeming dan menatapku lekat.

"Tapi saya menyuruhnya untuk melupakan saya karena takdir sepertinya tidak sama. Kedua orang tua saya memutuskan menetap di Mesir dan menghabiskan masa tua di Turki. Kembali ke negara papa, lalu ada tampuk tanggung jawab yaitu mengurus perusahaan keluarga. Saya tahu tidak mungkin untuk kembali ke Indonesia."

Om Kafka kini menyipitkan matanya.

"Kamu mendahului takdir kalau berpikiran seperti itu."

Aku menganggukkan kepala menyetujui ucapan beliau.

"Iya saya salah om. Hanya saja saat dua tahun saya di bangku kuliah, papa jatuh sakit. Terpaksa kami kembali ke Turki. Lalu papa menjodohkan saya dengan putri dari sahabatnya. Saya setuju karena merasa hal itulah yang membuat papa bahagia."

Kuhela nafasku. Mencoba mengenyahkan kenangan tidak enak saat itu. Bagaimana aku harus menerima semuanya, kondisi papa yang kritis.

Om Kafka tanpa kuduga menepuk bahuku.

"Yang tabah.."
Ucapan beliau bagai air di padang pasir. Menyejukkan.

"Tapi sepertinya takdir berkata lain, papa meninggal sehari sebelum saya menikah. Setelah itu calon istri saya memutuskan pertunangan. Saya bersyukur. Tapi saya juga masih harus fokus menyelesaikan kuliah dalam masa berkabung. Semuanya buruk, mama masih bersedih. Sementara saya harus kembali berjuang dengan pendidikan saya. Tidak ada sedikitpun saya melupakan Sofia saat itu Om. Tapi saya juga merasa kecil untuk menghubungi Sofia. Yang notabene putri dari Om. Orang yang saya sangat kagumi dan menjadi panutan."

Ada rasa iba dari tatapan Om Kafka. Beliau berdehem dan mengalihkan tatapannya.

"Dan sekarang, setelah saya berjuang jatuh bangun menyelesaikan semuanya, alhamdulilah saya masih bisa dipertemukan dengan Sofia."

Om Kafka diam, akupun akhirnya diam. Tidak berani mengatakan apapun lagi.

Rasanya seperti berjam-jam saat akhirnya Om Kafka berkata yang mengejutkanku.

"Lamar Sofia sekarang juga kalau kamu memang sudah mantap dan ikhlas. Om tidak suka anak om didekati dengan cara tidak jelas."

Tentu saja mataku membelalak mendengar itu semua. Mulutku kelu untuk mengatakan apapun.

"Maksud om? Saya diterima?"

Om Kafka kini mengangkat satu alisnya.

"Memangnya kamu sudah melamar Pia?"

Aku tergeragap diberi pertanyaan seperti itu. Om Kafka sedang mengujiku.

Aku menegakkan diri lagi, rasa haru menguar di dadaku.

"Om saya pinang Sofia dengan ucapan bismilah. Semoga Om mau menerima saya menjadi imam untuk Sofia. Insyaallah saya bisa. Saya mencintai Sofia bukan karena fisik semata, tapi karena akhlak dan iman Sofia. Saya mencintai Sofia karena Allah SWT."

Setelah mengatakan itu tentu saja jantungku makin berdegup kencang. Aku tidak tahu ini lamaranku yang kacau atau memang terlalu gugup.

"Modal apa kamu melamar anak saya?"

Pertanyaan itu membuat aku terdiam. Tapi kemudian mengucapkan ini dengan mantap.

"Iman Islam saya."

Om Kafka tampak terdiam dan menatapku lekat. Mengintimidasi. Aku berdoa terus di dalam hati semoga tidak membuat kacau semuanya.

"Kita tunggu jawaban Sofia. Karena dia yang akan menikah sama kamu."

Deg

Hatiku bersyukur mendengar ini semua. Jadi lamaranku diterima kan? Bismilah semoga Sofia menerimanya.

Bersambung

Sorry baru up. Ketiknya lama banget ini. Mau nyusun kata2nya tuh susah banget heheh semoga dapat feelnya ya..

SIAP MAS BOS! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang