PART 1

87 2 0
                                    

Ah sudahlah menikah saja, untuk apa kamu capek-capek sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya kamu hanya akan jadi juru masak, jadi tukang cuci, jadi pelayan suamimu di ranjang, jadi baby sister untuk anak-anakmu, sudahlah tidak usah bermimpi terlalu tinggi, perempuan itu kodratnya akan seperti itu, saat ini ataupun nanti akan tetap seperti itu. Kamu jangan termakan dengan orang-orang yang mengatas namakan emansipasi wanita

Emansipasi wanita itu hanya membodohkanmu, mereka hanya akan mengajakmu untuk melawan kewajiban-kewajibanmu sebagai seorang perempuan, coba kamu lihat wanita-wanita yang menjunjung emansipasi wanita, jadi apa sekarang? Hidupnya tidak jelas dan jadi wanita pembangkang, tidak nurut kepada suami dan merasa dirinya sederajat dengan suaminya, mereka juga tidak bisa berperan dan melaksanakan fungsinya.

Lagi pula, kamu itu bukan anak orang kaya, biaya kuliah itu tidak sedikit, apalagi hidup di kota semua tidak ada yang gratis disana, dengan apa bapakmu akan membayar uang kuliah dan biaya hidupmu di kota? Dengan daun tembakau yang setinggi pohon cambah itu? Ah sudahlah hentikan mimpi konyolmu, menikah sajalah dengan Rosyid, dia akan membahagiakanmu dan mencukupi kehidupanmu, kamu tidak perlu bekerja, hanya cukup melaksanakan kewajibanmu sebagai seorang istri, hidupmu akan terjamin dan bapakmu tidak harus peras keringat untuk mencari biaya.

Ah kata-kata itu masih terngiang-ngiang di ingatanku, aku ingat sekali ketika salah satu tetanggaku melontarkan semua kata-kata itu saat ia tahu bahwa aku akan melanjutkan pendidikanku ke malang. Dari beberapa orang yang tidak setuju Pak Subroto adalah salah satu orang yang paling tidak suka jika aku melanjutkan studiku. Beberapa kali ia datang kerumah untuk membujuk agar aku tidak melanjutkan studiku dan meminta menikah dengan ponakannya, Rosyid. Ya aku akui Rosyid memang laki-laki yang mapan dan perawakan yang tampan, tapi entah kenapa aku tidak ada rasa kepadanya, mungkin karena sejak kecil kami sudah menjadi teman baik, sehingga perasaanku tidak lebih dari sebatas itu.

Tidak ada yang dapat menghalangi tekadku yang sudah bulat seperti bulan purnama yang sempurna, meksipun pak Subroto sampai memutus jembatan suramadu sekalipun aku tidak akan menghentikan langkahku, toh ia bukan siapa-siapa, ia hanya tetangga yang mencoba masuk dalam kehidupanku tanpa diundang, dan tanpa ada yang memintanya datang.

Ayah dan Ibu saja mendukungku saat aku meminta izin untuk kuliah di Malang, meskipun mulanya ibu terlihat begitu berat untuk melepasku, ya salah satunya karena aku seorang perempuan, ia takut terjadi apa-apa denganku, begitupun dengan ayah. Ayah takut kalau aku tidak bisa menjaga diri dengan baik, apalagi mereka tau pergaulan di kota sangat bebas, hamil diluar nikah, narkoba dan hal-hal negatif lainnya sudah terbayang-bayang dalam benak mereka. Tapi perlahan aku dapat meyakinkan mereka bahwa aku bisa, dengan restu mereka aku bisa menggapai segala mimpi dan cita-cita.

Meyakinkan mereka tidak mudah, butuh waktu hingga hampir satu bulan untuk membuat mereka benar-benar ikhlas melepas kepergianku merantau ke kota, menimba ilmu yang lebih tinggi. Namun sebelum itu ibu dan ayah memintaku untuk merenungkan kembali apa yang menjadi mimpiku, menata niat dan meminta jalan terbaik kepada gusti pangeran, selalu pesan itu yang ibu dan ayah wanti-wanti kepadaku sebelum aku benar-benar berangkat dan memutuskan kuliah di malang.

Segala usaha dilakukan oleh pak Subroto untuk menggagalkanku agar aku tidak kuliah di malang, sejak dia tau bahwa aku tetap akan melanjutkan studiku di Malang ia seketika menghentikan kerja samanya dengan ayah, ayah yang biasanya mengerjakan sawahnya dengan hitungan bagi hasil sejak saat itu pak Subroto sudah tidak lagi menyerahkan kepada kedua orang tuaku, dengan harapan kalau mereka akan melarangku kuliah, usaha itu tidak berhasil.

Sejak ayah tidak lagi bekerja dengan pak Subroto memang keadaan ekonomi keluargaku melemah, bapak tidak bisa lagi mengirimi aku uang untuk biaya kuliah dan biaya hidupku di malang, beruntungnya aku masih punya tabungan, setiap hari aku selalu menyisihkan uang jajanku untuk aku tabung, dan hasil dari aku menabung bisa aku gunakan untuk biaya kuliah selama satu semester dan untuk membayar kost.


Apa yang akan terjadi selanjutnya? apakah ia mampu bertahan dan menggapai mimpinya dengan keadaan ekonomi yang semakin terpuruk? tunggu part selanjutnya ya 

Impossible is NothingWhere stories live. Discover now