"Itu apa?"

"Ini surat rumah dan tanah punya ibuku yang saat ini ditempati ibu tiriku. Kamu tahu 'kan kalau mereka tidak memperlakukan aku dengan baik. Jadi, aku juga tidak akan memperlakukan mereka," ujar Ramzi santai.

Bola mata Arshila membulat sempurna saat mendengar pengakuan sang sahabat.
"Kamu nyurinya dari ayah kamu?" jerit Arshila terkejut.

"Aku bukan mencuri, Shil. Ini memang milikku yang diberikan kakekku padaku sebelum meninggal." Ramzi cemberut mendengar tuduhan sahabatnya itu. "Mereka saja yang tidak tahu malu mengakui hak yang bukan milik mereka. Jadi, aku putuskan untuk mengambil dan menggadaikannya. Jika kita sudah punya banyak uang, kita akan tebus lagi," ujarnya panjang lebar membuat Aldo terkekeh.

"Aku memang suka punya sahabat yang pinter dan cerdik seperti kamu."

"Rei." Ramzi dengan bangga menepuk dadanya dengan wajah sombong yang membuat Aldo memutar bola matanya.

Satu jam kemudian.

Ketiganya melangkah keluar usai melakukan transaksi dengan uang sepuluh juta yang sudah di simpan Rei di dalam celana dalamnya.

Saat melihat Ramzi menyimpan uang di antara gundukan aset pribadinya, sontak saja Arshila dan Aldo bergerak menjauh dengan kernyitan jijik yang tidak dapat mereka sembunyikan.

"Memangnya tidak ada tempat lain selain di situ?" Arshila melirik gundukan celana Ramzi ketika mereka keluar dari kantor pegadaian.

Rei tersenyum. Pria itu dengan bangga berujar, "jika kita menghadapi perampok di tengah jalan, enggak akan ada yang tahu dengan keberadaan uang ini."

Arshila dan Aldo saling tatap dan bergidik jijik membayangkan jika nanti mereka akan makan dengan uang yang disembunyikan di tempat aneh seperti itu.

"Ayo, kita beres-beres sekarang sebelum kita berangkat ke kota besar memulai misi kita untuk menjadi milyader!" Ramzi berseru bersemangat membuat semangat Aldo dan Arshila yang sebelumnya surut kini terpacu kembali.

"Semangat demi menggapai masa depan cerah!" seru Aldo dan Arshila kompak.

Ketiganya mengangguk kemudian memutuskan untuk naik motor bertiga meninggalkan kantor pegadaian. Beruntung Aldo masih memiliki aliran saudara jauh dengan pemilik tempat pegadaian hingga dipercaya untuk bisa menggadaikan surat di sana.

Sore harinya ketiga sahabat itu melangkah menuju pelabuhan dengan masing-masing ransel di punggung mereka.

Aldo menatap Ramzi yang berdiri di sebelah Arshila.
"Kamu sudah memesan tiketnya bukan? Lalu makanan kita? Camilan saat di laut?" cercanya pada Rei.

"Sudah beres semua. Kita hanya tinggal masuk ke dalam kapal dan menunggu beberapa jam hingga tiba di kota besar," ungkapnya dengan senyum manis menghiasi wajah tampannya.

"Kalau begitu ayo tunggu apa lagi?" timpal Arshila menatap kedua sahabatnya.

Keduanya kompak mengangguk dan merangkul pundak Arshila untuk masuk ke dalam kapal setelah mereka menyerahkan tiket pada si penerima karcis.

                            *****

"Di sini kita akan memulai kehidupan baru," ucap Aldo menatap rumah yang baru mereka kontrak.

Mereka baru tiba di kota besar saat hampir menjelang sore lalu bergegas untuk mencari kontrakan yang bisa di sewa untuk mereka bertiga.

Arshila menatap rumah yang tak terlalu besar dengan dua kamar tidur, dapur, ruang tamu, dan juga kamar mandi. Gadis cantik yang mengenakan jaket jeans pudar dan celana selutut itu mengangguk puas.

"Setidaknya kita enggak tidur di jalan malam ini," ujar Arshila yang disetujui oleh Ramzi dan Aldo.

"Nah, sekarang kita bisa tidur. Aku dan Ramzi tidur di kamar ini," tunjuk Aldo pada kamar bagian depan. "Dan kamu, Shil, tidur di kamar ini." Kali ini Aldo menunjuk kamar nomor dua.

"Tempat tidurnya?" Ramzi menatap Aldo dan Arshila dengan mata sayu karena sudah dalam posisi mengantuk.

"Di lantai dulu. Besok kita akan mencari tempat tidur yang layak." Aldo menyahut dengan santai. "Uangmu masih tersisa 'kan?"

"Ini masih cukup banyak. Kita menganggur selama satu tahun saja uangnya masih cukup," sahut Ramzi setelah menghitung kasar pengeluaran mereka satu hari ini.

"Iya, kita bisa nganggur setiap hari dan setelah itu kita akan di tendang atau di penjara gara-gara enggak bayar uang kontrakan," cibir Arshila menatap jengkel sahabatnya ini. "Bukankah visi misi kita pantang pulang sebelum jadi jutawan?" Sebelah alisnya terangkat menatap kedua sahabatnya yang kini tersenyum lebar.

"Benar. Kita ini adalah tim rantauan yang pantang pulang sebelum jadi jutawan. Jangan ngarep jadi milyader cukup jutawaan aja kita udah bangga!" ujar Aldo bersemangat.

"Dan jika aku sudah menjadi jutawan di kota besar ini, aku akan pulang kampung dan membeli semua mulut-mulut yang selalu menghinaku," sambung Ramzi dengan penuh tekad dan semangat.

Arshila menatap sahabatnya ragu.
"Mmm, Ramzi, memang kita bisa beli mulut orang? Kita bisa aja loh di tangkap polisi atas tuduhan penganiayaan."

Ramzi dan Aldo saling tatap sebelum keduanya sama-sama berbalik meninggalkan Arshila yang terbengong di tinggalkan begitu saja.

Arshila masih sahabat mereka yang terkadang polos dan sedikit lemah otak. Pikirannya sangat jarang mencerna informasi dengan cepat sehingga terkadang ia menjadi korban tipu daya orang lain.

[2] ARSHILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang