Tuti Si Tukang Tipu

28 0 0
                                    

Namanya Tuti. Wanita itu berumur empat puluh tahun. Rambutnya panjang tapi tipis tak terrawat. Kulit wajahnya cokelat tua khas orang desa. Tingginya sekitar 150 cm. Dia pandai berbahasa kromo alus. Sebagai seorang pembantu rumah tangga, dia cukup rajin dan tekun mengerjakan semua urusan dapur dan kebersihan rumah. Tuti menawarkan jasa tenaga dari satu perumahan ke perumahan lainnya.

Para majikan merasa senang didatangi Tuti. Rumah bersih, dapurpun beres. Maka tak akan sulit bagi Tuti untuk berbasa basi meminjam uang pada majikannya di hari ketiga ia bekerja.

"Ngapunten bu, kulo badhe ngampil arto. Wingi dalemipun kulo kerubuhan wit gedhang . Kulo badhe ndandosi seng." Tuti memasang wajah penuh kasih sayang. Matanya sayu, tubuhnya dicondongkan ke depan setengah membungkuk, pandangannya diarahkan ke bawah tanda malu. Telapak tangannya digosok-gosokkan tanda ragu-ragu, walau dalam hati ia sangat mantap karena hal seperti ini sudah berulang kali ia lakukan. Kalau dihitung-hitung, majikan yang sedang ada di hadapannya adalah majikannya yang ke lima dalam tiga minggu terakhir.

"Oalah kok kasian banget kamu Mbak Tuti. Lha mau pake uang berapa?"

Senyum tipis tersungging dari wajah lugu Tuti. Dia menaikkan pandangan kearah sang majikan. Tubuhnya digoyang-goyangkan sedikit dan tangan kanannya menunjuk dua jari.

"Kaliatus ewu mawon bu."

Dengan entengnya sang majikan mengulurkan uang dua lembar ratusan ribu kepada Tuti tanpa ada prasangka buruk apapun. Majikannya sangat membutuhkan jasa pembantu rumah tangga karena dirinya sibuk bekerja di kantor.

Tuti menerima uang tersebut sambil mengucapkan terima kasih dengan manis. Semanis janjinya yang akan datang lagi esok pagi.

"Alhamdulillah, maturnuwun sanget, Bu. Mugi-mugi ibu diparingi rejeki ingkang lancar."

Tapi apa yang terjadi esok hari? Sang majikan tak melihat Tuti muncul lagi. Telepon dari majikan di reject begitu saja. Majikan tak tahu mau protes kemana karena Tuti bilang kalau rumahnya jauh. Itu saja yang diketahui majikannya.

Saat majikannya menelepon, Tuti sedang naik motor Bravo dengan asap tebal yang diproduksi dari knalpot butut. Dia sudah hafal beberapa perumahan yang akan menjadi target barunya. Pola kerjanya juga sudah tertata rapi bagaikan divisi marketing perusahaan menyiapkan annual market plan.

Tuti akan bertanya pada satpam perumahan, siapa yang sedang membutuhkan pembantu rumah tangga. Dan dengan mudahnya informasi didapat. Lalu Tuti mendatangi rumah itu pada sore hari sekitar pukul lima sore agar bisa bertemu langsung calon majikan baru. Wajah lugu dan bahasa kromo alus Tuti tak pernah gagal memikat para majikan yang sangat membutuhkan tenaga Tuti.

Majikan barupun didapat. Seperti biasa, Tuti bekerja dengan penuh dedikasi tinggi. Rumah bersih, rapi, kinclong bahkan taman dengan bunga-bungapun dirawat dengan sepenuh hati. Pada hari ketiga, Tuti melancarkan aksinya dengan mulus. Berhasil.

Esoknya, majikan baru menelepon Tuti. Tapi kali ini majikannya menelepon tiada henti. Pagi, siang, sore, malam bahkan mengirim pesan singkat dengan nada mengancam. Majikannya yang satu ini ternyata galaknya bukan main. Tuti ketakutan karena diancam akan dicari rumahnya sampai ketemu. Tutipun mematikan teleponnya dan tinggal sementara di rumah ibunya di kampung yang berbeda kecamatan dengan kontrakannya.

Tuti menikmati kehidupannya. Dia pikir, uang dua ratus ribu yang dia pinjam nilainya tak seberapa bagi majikannya. Toh majikannya juga kaya raya. Jadi, uang itu seperti recehan di dompet saja. Tuti mengumpulkan 'jerih payahnya' juga untuk hal yang tidak sia-sia. Bulan depan akan ada acara piknik RW ke Malang Jawa Timur. Selama ini dia tak sanggup membayar biaya plesiran itu sehingga tak sekalipun Tuti bisa ikut. Kali ini, Tuti sangat yakin bisa mengikutinya. Tuti sudah mendaftar untuk dua orang, yaitu untuk dirinya dan anaknya. Biayanya sudah dilunasi seminggu sebelum keberangkatan.

Pada hari keberangkatan, Tuti dan anaknya berangkat habis subuh dari rumah ibunya menuju kantor kelurahan tempat berkumpul rombongan piknik ke Malang. Masih sepi. Tuti beranggapan kalau dirinya datang terlalu pagi.

Anaknya yang masih kelas satu SD menarik-narik tangan Tuti seolah tak sabar untuk segera naik ke atas bus wisata yang belum muncul sampai saat itu. Tuti membuka tas mencari telepon yang sudah seminggu ini dia matikan. Ah, teleponnya ketinggalan di rumah ibunya.

Anak Tuti mulai rewel dan menangis. Terpaksa Tuti menggendong anaknya untuk pergi ke rumah Pak RW karena sudah lewat satu jam dari jadwal keberangkatan, tak seorangpun dia temui di kelurahan. Harusnya jam 5 pagi rombongan berangkat. Ini sudah jam 6 pagi.

Dengan keringat yang terus meleleh, Tuti terus berjalan menuju rumah Pak RW.

Rumahnya kosong. Tak ada orang. Tapi dia membaca pengumuman di papan informasi

Keberangkatan Tour To Malang dimajukan jadwalnya yang semula berangkat jam 5 pagi hari Minggu, dimajukan jam 11 malam Sabtu. Sekertaris harap mengirim pesan lewat grup What's App ke warga yang telah mendaftar.

Kali ini, air mata Tuti yang terus meleleh.


To już koniec opublikowanych części.

⏰ Ostatnio Aktualizowane: Jul 26, 2019 ⏰

Dodaj to dzieło do Biblioteki, aby dostawać powiadomienia o nowych częściach!

Tuti Si Tukang TipuOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz