35th Chapter - [Wavering]

1.5K 294 130
                                    

Arjuna Shanders

Maaf jika aku mengatakan sesuatu yang membuat diriku sendiri merutuk. Diam dalam ambang ketidakpahaman. Mengais serpihan memori yang bertebaran sedikit demi sedikit. Sedalam apa pun bilah pisau menyayat kulit dadaku, aku hanya ingin tahu, apakah sama sakitnya dengan perasaanmu yang terbunuh oleh orang yang kaucintai?

Orang itu secara bangga membunuh dirimu dalam seringaian bahagia. Bagaimana cara aku menjelaskan perasaanku saat ini? Bahkan menemukan diriku sendiri masih bisa bernapas dan hidup, bukanlah sesuatu yang patut disyukuri. Justru itu membuatku semakin gila. Beruntung rompi anti peluru itu melindungi organ dalam dadaku dengan sempurna, sehingga aku tak perlu mati mengenaskan di jalanan sepi.

Bukan, bukan mengenaskan karena aku tergelepar di jalanan. Namun mengenaskan karena tubuhku diremukkan oleh wanita berambut merah yang―meskipun ia menyamarkan wajahnya―kuyakini kalau wanita itu adalah gadis yang sangat kucintai.

Saat itu aku bertekad untuk tidak mati. Meski luka gores di sekujur tubuhku membekaskan darah. Orang-orang mengerubuniku kasihan, tapi tetap saja mataku tidak bisa berpaling ke arah lain selain menatap dirinya menjauh, membiarkannya pergi dan merahasiakannya agar ia tetap aman. Meski ribuan pertanyaan berceceran di dalam kepalaku―mengenai apa yang telah membuatnya berubah menjadi seorang pembunuh berdarah dingin.

Terus saja terkaan itu menggema di kepalaku di sepanjang perjalanan menuju markas tim. Di dalam gedung yang tampak tua tak berpenghuni. Gedung tua samaran saja, realitanya, isi gedung ini dipenuhi dengan perabotan layak pakai dan juga tempat penyimpanan senjata. Tiga hari yang lalu Roger memepercayakan tempat ini padaku sebagai pimpinan baru.

Triana menuntun tubuhku yang terseok-seok ke sebuah ruangan serba putih. Di mana telah ada dua orang dokter dan asistennya yang mereka datangkan untuk merawatku. Jangan berpikir para agen seperti kami akan di beri perawatan khusus di rumah sakit, tentu kami tidak akan pernah mendapatkan perlakuan yang seperti itu. Apa pun alasannya―bersembunyi, menyamar, tanpa identitas―merupakan azas yang sampai mati pun tetap melekat pada kami.

Aku meringis kesakitan begitu Triana merebahkan tubuhku di atas sofa, setelah sebelumnya aku menolak untuk digeletakkan di atas bed pasien. Jhon membantuku membuka baju dan juga rompi anti peluru yang sudah membekaskan dua lubang proyektil tajam.

"Beruntung dia menembakmu di bagian dada. Kalau dia menembakmu sama seperti dr. Alfred Straimurs, pasti kamu udah ngga ada di sini lagi, Bro," ujar Jhon sambil membantu melepaskan sepatuku juga dan menaikkannya ke atas meja yang sebelumnya dialaskan sebuah bantal sofa.

Aku menarik napas lelah. Tidak sedang ingin berkomentar apa pun. Membiarkan tubuhku di perlakukan oleh dr. Amanda dan juga asistennya yang sangat sigap. Kudengar Triana juga sudah memanggilkan ahli psioterapi untuk membetulkan urat pergelangan kaki kiriku. Rasanya seperti bengkak hampir meledak.

"Akan lebih mudah buat kami mengobati lukamu jika kamu tidur di atas bed, Juna," Dr. Amanda menyarankan. Tangannya yang sudah terbungkus sarung tangan latex itu padahal sudah mondar-mandir di sekujur tubuhku yang terluka.

Aku hanya meringis pelan dengan kepala tergeletak pada sandaran sofa. Memerosotkan diri tak ingin tidur. Dan juga, tak menghiraukan kata-kata dr. Amanda dan juga asistennya yang sudah menggerayangi tubuh telanjang bagian atasku secara sukarela.

"Lakukan saja tugasmu, Dok. Jangan membuatku tampak seperti laki-laki lemah karena harus berbaring di bed keras itu." Kalimatku membuat dr. Amanda hanya menggeleng dan berdecak kesal.

"Aku buatkan teh manis hangat untukmu, Jun. Kamu harus meminumnya untuk memulihkan tenaga." Triana menganjurkan. Aku hanya membuka sebelah mataku mengintip, menangkap wajah dua agenku yang terlihat cemas.

THE LADY HAMMER (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang