1

16.8K 1.5K 181
                                    

"Apa kita memang harus pindah?"

Haechan meringis, memperhatikan ruang tengah rumahnya yang kini dipenuhi tumpukan kardus, ditambah satu lagi kardus yang ia bawa dan letakkan di atas salah satu tumpukan.

"Kita sudah membahas ini, Haechan," suara wanita terdengar dari arah dapur, disusul langkah cepat-cepat menuju ruang tengah dan dua kardus diletakkan di samping tumpukan yang sudah ada, menciptakan tumpukan baru. "Kau butuh ini."

"Aku butuh udara segar, Bu, bukan pindah," erang lelaki itu. Ia menolak gagasan bahwa ialah yang betul-betul membutuhkan kepindahan ini, sedang hati maupun akal sehatnya jelas-jelas menolak.

"Dan bagaimana kaupikir kita bisa dapat udara segar di Seoul?" serang ibunya, membuat lelaki itu seketika bungkam dengan wajah cemberut.

"Sebaiknya ambil syal dan jaketmu. Perjalanan akan panjang dan Ibu tidak mau kau kedinginan."

Tak ada yang bisa Haechan lakukan apabila wanita itu telah berujar dengan intonasi suara yang menunjukkan ketidakinginan untuk dibantah.

Lelaki bertubuh kurus dengan tinggi semampai itu beranjak dari tempatnya, menaiki tangga ke lantai atas dan memasuki kamar tidurnya yang telah kosong. Semua barang telah dipindahkan ke dalam kotak, meninggalkan hanya setitik hati Haechan di sana, menggantung dan mengorek-ngorek kenangan sepanjang masa hidupnya di rumah itu. Bahkan sejak ayahnya masih ada.

--

"Sudah semuanya, Nyonya?"

"Ya, sudah semuanyaㅡHaechan, jauh-jauh dari situ. Kemari."

Haechan melamun, memandangi para pria lalu lalangㅡpetugas pindahanㅡmemindahkan kardus demi kardus ke dalam mobil pick up.

Sampai kapan pun menunda waktu, dari mulai mengatakan bahwa gangguan pernapasannya kambuh dan merengek untuk bisa menghabiskan waktu lebih lama sebelum meninggalkan rumah, semua tetap terjadi. Waktu kepindahannya tiba dan Haechan tidak lagi bisa memberi alasan lain yang dapat membuat ibunya mengulur waktu lebih lama.

Ia menoleh ke balik punggung, memandangi rumah yang telah jadi saksi hidupnya sepanjang waktu bernapas. Tampak tua, rapuh, namun hangat dan memenangkan. Bagai lagu lama yang kembali berputar tanpa disadari dan menciptakan nostalgia membuncah dalam hati.

Rumah itu adalah segalanya. Tempat ia tumbuh dan besar. Tempat ia merayakan hari jadinya tahun demi tahun. Tempat ia berteriak marah, tempat ia menangis, tempat ia tertawa, serta tempat ia menerima begitu banyak cinta dari sang ayah.

"Haechan?"

Ibunya memanggil sekali lagi dan kali ini lelaki itu menoleh.

Sepasang matanya menyorot perasaan penuh keengganan serta kesedihan mendalam. Seolah sebongkah batu besar diletakkan di dalam hatinya, memperumit keadaan.

Sang ibu mendesahkan napas, lantas bergerak mendekat, menarik Haechan ke dalam peluk menenangkan hingga lelaki itu memejamkan mata, menghirup lebih banyak rasa nyaman bagi hatinya yang nelangsa.

"Semua akan baik-baik saja, Sayang, Ibu janji," sang ibu berujar, melepas pelukan dan mengusap-usap kedua sisi lengan Haechan. "Rumahnya memang tidak besar, tapi suasana di Mokpo akan membuatmu lebih segar. Tidak akan seramai di sini dan kau bisa istirahat dengan lebih baik."

"Tapi kita meninggalkan rumah, tempat kebersamaan dengan Ayah."

"Ibu tahu. Ayahmu pasti akan mengerti dan sangat setuju dengan apa yang Ibu putuskan sekarang. Bagaimanapun, dia sangat menyayangimu dan ingin yang terbaik bagimu."

Haechan menghela napas, merasa tak puas namun tak ada yang dapat dilakukan. Keputusan sudah bulat, dan sekali mereka melangkah ke luar Seoul, semua tidak lagi sama; mereka tidak akan bisa kembali ke rumah ini. Tak heran apabila ini jadi momen paling menyakitkan yang harus Haechan lalui.

[✓] Ocean Eyes Arc #1 [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang