B A G I A N 2 | I R I S

12 3 0
                                    

B A G I A N 2 | I R I S


"Apa yang membuatmu bertingakah seperti ini, Irisku sayang?" Cinde bertanya dengan nada selembut sutra. Dia tak habis pikir dengan jalan pikiran Iris.

Iris masih membisu di tempatnya. Mulutnya tak berniat untuk membuka guna menjawab pertanyaan dari Cinde. Namun, matanya masih mengeluarkan setetes demi tetes air yang mengalir di pipi putihnya, sehingga membentuk aliran kecil sungai-sungai kering.

"Ceritakan padaku Iris," bujuk Cinde, "Apa yang membuatkmu bertingkah seperti ini? Padahal selama ini kamu selalu tampak sangat menikmati kehidupannmu. Berbelanja. Berdandan. Berpesta. Dan hal-hal yang dilakukan perempuan di sini. Apa yang menganggumu Iris? Aku percaya, pasti ini bukan hanya tentang belahan jiwa sajakan?"

Lidah Iris terlalu keluh untuk menjawab pertanyaan Cinde. Rasa-rasanya alat artikulasi Iris berhenti mendadak dan tak sanggup lagi untuk bekerja. Seluruh kosa kata yang dipelajari Iris semalam ini hilang begitu saja tak bersisa. Menyisahkan kegagapan semata.

Tetapi, bukan itu masalah besarnya. Iris terlalu malu untuk mengungkapkan permasalahannya pada Cinde. Iya, malu. Atau mungkin harga dirinya yang malu? Harga diri Iris terlalu tinggi bagi seorang perempuan.

Harga diri Iris terlalu malu untuk menjelaskab bahwa Iris terlalu iri dengan segala hal yang dimiliki Cinde. Cinde yang cantik. Cinde yang baik hati. Cinde yang lemah lembut. Cinde yang pemaaf. Cinde yang rendah hati. Cinde yang memiliki seorang pangeran. Cinde yang memiliki keluarga yang harmonis. Cinde yang ini. Cinde yang itu. Iris iris dengan itu semua. Iris ingin menjadi seperti Cinde, yang memiliki segalanya, tanpa bersusah payah.

Iris ingin menjadi Cinde.

Aku ingin menjadi seperti Cinde, bisik hati Iris lirih.

Usapan lembut dari Cinde, membangungkan Iris dari lamunannya. Kelopak mata Iris mengerjap beberapa kali lalu memfokuskan pandangannya pada wajah manis Cinde. Dan kemudian, matanya berkaca-kaca siap untuk menumpahkan air mata lagi.

"Cinde..." panggil lirih Iris.

"Iya Iris? Ada apa? Ceritakan padaku!" pinta Cinde dengan lembut. Tangannya tak berhenti mengusap bahu Iris. Mencoba untuk menenangkan Iris yang terlihat akan menangis lagi.

"Cinde, aku hanya..." Iris memenggal ucapannya yang semakin membuat Cinde penasaran.

Cinde mananti dengan cemas kelanjutan kata-kata yang akan keluar dari mulut Iris. Wajahnya menyiratkan ekspresi yang tidak dibuat-buat. Cemas. Cinde cemas pada kondisi Iris saat ini. Namun, kelembutan dari wajah Cinde masih nampak. Seakan-akan Cinde bisa menampung semua keluhan orang-orang dan mereka akan mendapatkan solusinya dengan menatap wajah Cinde. Tapi, hal itu tidak berlaku untuk Iris.

Iris tidak tahu apa yang mampu membuatnya tenang saat ini. Tidak dengan gaun-gaun indah, perhiasan yang mahal, sarung tangan lembut, tidak semua hal itu.

Suasana hening kembali. Beberapa saat, sampai suara bergetar Iris memecah kesunyian di anataranya dan Cinde.

"Aku hanya tidak ingin sendiri. Aku merasa...kesepian," meskipun Iris berkata dengan lirih, namun suara pelannya masih terdengar oleh Cinde.

Kening Cinde sontak mengkerut ketika mendengar lontaran kata-kata dari Iris. Cinde tak habis pikir, setelah sekian lama, kenapa baru sekarang Iris merasakannya, kesepian itu? Setelah sekian lama, setelah dia sudah melakukan berbagai macam kesenangan, kenapa baru sekarang?

Apa yang salah pda diri Iris?

"Apa yang membuatmu merasa seperti itu Iris?" tanya Cinde, nada lembut tak pernah hilang dari suaranya.

Dan, untuk yang kesekian kalinya, Iris memberikan kesunyian pada pertanyaan Cinde. Membuat Cinde terpaksa menyeretnya untuk duduk di kursi yang ada di ruang keluarga.

Mata Iris dan Cinde disuguhi pemandangan bagian belakang rumah dari jendela kaca besar yang ada di ruangan itu. Hijaunya pepohonan menjadi lukisan hidup yang menyegarkan mata. Meskipun jaraknya jauh dari rumah, Iris sering kali berjalan-jalan di sana. Hanya untuk menikmati kesendiriannya.

Iya, kesendiriannya.

"Ayo ceritakan padaku Iris," Cinde berusaha membujuk Iris, "apa yang membuatmu terlalu sulit untuk berbagi cerita padaku?"

Iris menatap Cinde lekat-lekat. Sepasang bola mata terang itu intens menatap Cinde. Seakan-akan, dengan melalukan hal itu, dia bisa membaca raut wajah Cinde. Apakah Iris harus bercerita tentang semua hal yang dia rasakan pada Cinde?

"Baiklah, aku akan menceritakannya," putus Iris.

Diam-diam, Cinde menghela nafas lega mendengarnya. Lega karena bujukkannya pada Iris berhasil, menyesal karena pekerjaannya tidak akan selesai-selesai. Aku malah menambah beban pekerjaanku, gerutu Cinde dalam hatinya.

"Awalnya, aku menikmati hidupku, sangat menikmati malah," mulai Iris dengan pandangan menerawang, "tapi, semuannya berubah ketika aku melihatmu tertawa lepas dengan sang Pangeran. Di satu sisi, aku merasa lega karena kamu akan keluar dari rumah terkutuk itu. Tetapi, di sisi lainnya, aku merasa kesal, kenapa kamu yang lebih dulu menemukan belahan jiwamu".

Penjelasan singkat Iris membungkam Cinde. Cinde tertegun di tempatnya bersandar. Selama Iris memasuki rumahnya, ia tidak pernah berpikir Iris akan mengatakan hal semacam itu. Secara tidak langsung, Iris berkata bahwa ia iri padanyakan?

Cinderella dan Saudara TirinyaKde žijí příběhy. Začni objevovat