Aspia 01

46.7K 4.9K 124
                                    

"Baru pulang dari Mesir"

"Punya beberapa perusahaan juga katanya, tapi entahlah cuma nyantol di sini jadi manajer telemarketing. Berarti kan harusnya si bos ini kaya?

"Wes ojo ngrumpi wae ( udah jangan ngerumpi aja) liat wajahnya Pia pucet gitu. Ono opo to cah ayu (ada apa sih)?"

Aku hanya menghela nafas dan mengaduk -aduk isi  mangkok di depanku yang berisi soto. Siang ini makin panas setelah si bos baru mengaum. Tapi aku yang terkejut dan masih shock tentu saja tidak bisa mengatakan apapun.

Tim kami akhirnya di usir dari ruang meeting sama si bos.  Dan kami ada di sini, makan soto di kantin.

"Itu bos namanya siapa?" Suara mbak Asih menginterupsiku.
Aku mengerjap ke arah Mbak Asih, Nino dan Melly. Mereka menatapku dengan penasaran.

"Pusing nih. Boleh ijin pulang awal gak ya?"

Pertanyaanku itu langsung membuat semuanya melotot ke arahku.

"Kamu ndak kapok apa habis kena semprot bos?"

"Iya loh mbak Sof. Tadi aja kena auman gitu. Moga-moga aku gak diterima jadi karyawan tetap."

Melly dan Mbak Asih mengatakan itu. Sedangkan Nino kini malah memberikan es teh-nya kepadaku.

"Cup cup. Santai Pia nanti bilang aja sama Mas Dimas. Bilang kamu dijahatin si bos. Calon istrinya gitu loh. Dimas kan dokter ya? Biar disuntik itu si bos galak."

Aku tentu saja ngakak mendengar ucapan Nino.

"Ada apa ini? Udah jam segini kalian masih di sini? Daftar yang harus kalian follow up masih banyak."

Seketika itu juga kami menoleh ke belakang dan mendapati si bos mengaum.  Pria itu kini berdiri bersedekap dan menatap kami dengan tajam. Duh dia kok galak banget ya?

"Injeh pak ini lagi mau ke ruangan."

Mbak Asih sudah beranjak, begitu juga Melly dan Nino. Sedangkan aku sepertinya benar-benar lemes sekarang ini. Kakiku kayak gak punya tulang.

Si bos kini bersedekap di depanku, dia sudah siap menerkamku untuk kali ini.

"Kamu...kenapa tidak ikut mereka?"

Aduh aku jawab apa coba? Aku beneran grogi. Sudah sekian tahun lamanya dan sekarang saat bertemu dia berbicara langsung di depanku.

"Ehmm anu pak..."

Si bos kini melangkah mendekatiku dan malah duduk di depanku. Kalau semakin dekat begini dia beneran Kak Atma-ku yang sudah pergi sekian tahun. Ketua Osis yang sudah menorehkan benih-benih cintanya kepadaku. Tapi benarkah ini dia? Penampilannya benar- benar berbeda.

"Apa?"

Dia beneran gak ngenalin aku? Kok aku sedih ya?

"Ehmm bapak namanya siapa?"

Aduh mulut ini mulut. Tatapan si bos kini malah menghujam lebih tajam ke arahku. Tidak ada senyum di sana.

"Saya belum bapak-bapak. Panggil aja mas."

"Hah?"

Aku melongo mendengar jawabannya. Kok mas sih?
Tapi kemudian dia beranjak berdiri lalu membenarkan jasnya.

"Kamu segera ke ruangan kamu. Kalau tidak saya potong lagi gaji kamu."

Aku berjenggit mendengar hardikannya. Wah galak banget sih?

******
Telingaku panas. Tugas follow up customer belum selesai dan jam di dinding sudah menunjukkan pukul 4. Untung saja si bos pergi entah kemana dan kami bertiga tidak diawasi.

"Pi aku bali sik ya ( pi aku pulang dulu ya) mau benerin bulu mataku yang rontok nih."

Aku hanya menganggukkan kepala saat mendengar Mbak Asih dan menunjuk matanya.

"Mbak sof udah ditungguin dokter Dimas di bawah."

Teriakan Melly dari ambang pintu membuat aku teringat kalau Dimas memang menjemputku sore ini. Calon suamiku. Sebenarnya belum sih cuma ayah lagi jodohin aku sama anaknya sahabat ayah. Dan kami lagi mulai menjajaki perasaan masing-masing. Tidak juga dikatakan pacaran karena kami hanya sebatas antar jemput saja. Selebihnya aku juga belum nyaman dengan Dimas.

"Ok maturnuwun ya Mel."

Melly mengacungkan jempolnya dan menghilang.  Aku segera memberesi tasku lalu mencangklongnya. Nino yang sejak siang tadi diajak entah kemana sama si bos. Dia yang apes hari ini.

Aku nyeker akhirnya karena sepatuku buat sakit. Insiden hak sepatu yang patah membuat aku tidak bisa berjalan memakai sepatu. Sampai lantai bawah dan keluar dari loby aku sudah melihat Dimas dan si Kenan. Adik bungsuku itu memang selalu mengekor kemanapun.

"Sofia."

Deg

Aku baru saja akan melangkah ke arah mobilnya Dimas saat panggilan itu terdengar. Refleks aku menoleh ke belakang. Jantungku berdegup kencang saat mendapati si bos sudah ada di sana.

"Ya...pak eh mas bos.."

Dia menyipitkan matanya. Jas warna hitam yang tampak melekat dengan nyaman di tubuhnya yang tegap itu membuat aku salah fokus.

"Kamu mau kemana?" Suara beratnya membuat aku kembali menatapnya.

"Pulang mas bos. Ini kan udah jam.."

Tapi dia menggelengkan kepala.

"Kamu kan berangkatnya tadi telat. Jadi gak boleh pulang. Temani saya di kantor."

"Hah?" Lah kok gini sih? Galaknya ngelebihin berat badan yang gak mau turun-turun.

Aku melongo mendengar perintahnya.

Tapi dia hanya mengangkat alisnya. Sikapnya makin terlihat angkuh dengan menatapku penuh intimidasi. Hilang sudah rasa grogiku. Dia beneran gak ingat sama aku dan dia memang bukan Kak Atma-ku.

"Mau membantah? Saya bisa sp kamu." Geramannya melebihi singa yang sedang lapar. Aku menganggukkan kepala dan mengikuti langkahnya yang kembali menaiki tangga. Aku mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu kepada Dimas. Sepertinya aku terperangkap di sini sampai malam.

Lah kok gini sih? Galaknya ngelebihin berat badan yang gak mau turun-turun.

Bersambung


SIAP MAS BOS! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang