Bab 2. Ku ukir namamu

14 2 0
                                    

Seberusaha apapun engkau menggapai langit, bila tak ada izin kau menaiki pesawat maka kau tak akan mencapai langit.

30 hari sudah Sari mencari pekerjaan di kota jakarta yang ramai penduduk ini. Di setiap perusahaan atau tempat kerja manapun sudah Sari kunjungi, agar mendapatkan pekerjaan. Namun hasil nya nihil, mereka menolak untuk memperkerjakan Sari. Bahkan untuk menjadi tukang sapu jalanan saja Sari di tolak, mereka jas orange. Mengatakan bahwa Sari tidak layak menjadi mereka, karna rasa iba melihat gadis semanis Sari untuk menjadi tukang sapu, padahal dalam hati Sari sangat membutuhkan pekerjaan apapun itu, demi rumah singgah. Dengan perasaan campur aduk, dari grombolan berjas orange itu, Sari berjalan menyusuri trotoar, menghembuskan nafasnya lelah.

Apa lagi yang harus Sari lakukan? lamaran kerja dalam map coklatpun sudah tak ada, karna kejadian kemarin sore yang mengharuskan ia pulang dalam keadaan basah kuyup menyebabkan map itu kebasahan dan rusak karna kehujanan. Ia tak bisa menulis ulang, semuanya memerlukan proses yang lama dan uang. Tabungan saja sudah tak ada. Hanya uang simpanan yang masih tersisa, dan itu untuk keperluan yang lainnya. Sepertinya ia harus cepat-cepat mendapatkan pekerjaan, agar kehidupan kedepannya lebih terjamin.

Rerumputan yang di pijaknya terasa berdecak karna sisa air yang masih menggenanginginya. Hujan kemarin cukup deras, menyebabkan siang bolong sekarang yang teriknya menyengat belum cukup meraipkan air-air yang menggenang ini. Disisi terotoar tersebut ada lapangan di sana dan banyak orang-orang yang sedang bermain bola. Saripun memperhatikan mereka yang sedang bermain dengan seksama.

"Padahal tanah becek," gumam sari sambil menggelengkan kepala.

Kini pandangannya merunduk menghitung batu yang ia lewati.

Hingga.

Mata itu menatap sepasang sepatu snikers tepat di hadapannya. Ia pun mengangkat kepalanya bola matanya berhasil membulat, mimik mukanya berubah, terkaget karna apa yang ia lihat, meruntuhkan semua mood yang sedang tidak baik ini, menjadi feeling good.

"Tatang."gumam Sari, sudut bibirnya terangkat saat mendapati orang yang berada di hadapannya juga tersenyum padanya.

"Sari?"ujar orang itu tak percaya, dan seperti kembali mengingat wajah gadis yang berada di hadapannya ini, yang beberapa menit yang lalu sedang mendumel tak jelas yang ia lihat dari kejauhan.

"Ngapain di sini?"tanyanya lagi.

Sari hanya merunduk, menatap sepatu sandal yang ia kenakan. Mulai usang memang, namun hanya ini lah satu-satunya sepatu yang masih masuk kekategori lumayan untuk acara-acara tertentu yang harus Sari datangi, ke acara Reoni, salah satunya.

"Hanya sekedar jalan-jalan."jawabnya pelan. Tangannya tak bisa berhenti untuk tak bergerak, menyembunyikan rasa groginya.

"Oh iyaiya,"gumam pemuda berjas coklat iyu menganggukan kepala lalu kembali bertanya, "gimana nih kabarnya?"

Ah Sari rindu ini, rindu saat pemuda ini selalu menanyakan kabarnya setiap sore di depan pintu pagar rumah singgahnya yang saat itu berwarna putih. Warna favorite ibu yang memiliki rumah singgah.

Namun rutinitas itu bak tertelan bumi, karna 3 tahun yang lalu pemuda ini memutuskan untuk berpindah rumah. Menginginkan hidup mandiri, itu jawaban yang ia dengar saat orang tuanya sekaligus tetangga Sari berusaha menahan kepergian pemuda berambut klimaks tersebut. Ah bahkan dulu rambutnya urakan tak terusus seperti sekarang ini, apakah karna ia sudah hidup mandiri dan dapat menjaga diri sendiri membuktikan ucapnnya 3 tahun yang lalu?

SariAwanWhere stories live. Discover now