3 #Langit's flashback

11 2 0
                                    

Prev

Yang perlu di pikirkan adalah, bagaimana caranya agar kamu tetap hidup, sebagai seorang manusia, bukan makhluk bertubuh manusia yang busuk dan menjijikkan dengan liur yang menetes dari sudut bibir.

.

.

Peraturan yang mereka tetapkan hanya satu, "Lebih baik mati, daripada berubah menjadi salah satu dari mereka" tentu saja, itu ucapan sarkasme milik Angkasa. Bibir gadis itu tak pernah di filter apabila mengucapkan kata-kata. Pedas, dan menyakitkan, namun juga membangkitkan. Ucapan nya, adalah salah satu alasan untuk tetap bertahan hidup.

Langit ingat betul saat dia putus asa dan berniat mengakhiri hidup nya dengan menenggelamkan dirinya di bathtub berisi air dingin. Dia sudah mempersiapkan hal itu dari jauh-jauh hari dan belum ada yang berhasil membongkar rahasia rencana bunuh dirinya. Setidak nya sampai Angkasa datang. Gadis itu benar-benar datang di saat yang salah, Langit ingat betapa marah nya dia hingga melontarkan sumpah-serapah kepada gadis yang beberapa senti lebih pendek darinya. Gadis itu mendobrak pintu kamar mandi dengan tidak sabaran—memang gadis yang bar-bar—Disaat Langit baru memasukkan separuh badan nya, dan sedang berjuang membiasakan dirinya dengan air berisi es batu itu.

Angkasa segera menarik tangan nya sekuat tenaga, hingga Langit jatuh terjerembap ke lantai. Saat itu yang terlintas di kepala Langit 'Gadis gila, dia makan apa setiap hari hingga bisa menarik ku jatuh terjerembap begini!?'. Langit acuh tak acuh segera bangkit dan hendak kembali ke dalam Bathtub. Namun Angkasa bukanlah Angkasa apabila tidak dilengkapi dengan sifat keras kepala nya. Gadis itu menarik tangan Langit, kali ini bukan itu saja. Gadis itu bahkan meninju Langit tepat di wajah hingga Langit lagi-lagi jatuh terjerembap.

"Apa masalahmu?" Langit menggeram dan menatap Angkasa dengan sengit. "Kenapa kau menanyakan hal itu padaku? Bukankah harusnya aku yang bertanya padamu? Apa masalahmu bodoh!?" Angkasa bukan Angkasa apabila tanpa kalimat pedas dari bibirnya. Langit menatap gadis itu kesal, dan membuang muka nya 'yang seperti ini tak perlu dilawan' pikirnya.

"Kenapa? Mulutmu beku karena es batu,heh? Makanya tidak bisa menjawab?" Langit menggeram "Gadis berisik". Langit menatap mata russet brown itu dengan tajam, dia mengambil langkah maju pelan-pelan mendekati Angkasa. Berharap gadis itu ketakutan dan hanya menunjukkan keberanian lewat bacotan seperti gadis-gadis lain nya. Tapi diluar dugaan, gadis itu malah memasang tatapan yang tak kalah tajam. Angkasa menaikkan dagu nya, membawa kesan Angkuh pada wajah nya dan balas melangkah maju.

Langit terbelalak dan menghentikan langkah nya "Kenapa berhenti? Harapan mu pupus ketika melihatku tidak ketakutan seperti seekor kelinci yang akan di terkam seekor macan kumbang? Sorry lil bastard, I'm different". Langit mengambil nafas panjang, mencoba meredam amarah nya yang memuncak, ia mendengus "Pergi" ucap nya pelan "Maaf?" "KUBILANG PERGI!" Angkasa mengerjapkan matanya beberapa kali, belum ada yang berani menaikkan nada bicara kepadanya selain kedua orang tuanya. Dia tidak bergeming sekalipun Langit masih menatap nya dengan tatapan membunuh.

Angkasa bercicit "Kalau aku pergi..." Langit mengernyit mendengar nada bicara Angkasa yang berubah 'keberanian mu sudah hilang ternyata, gadis lemah' batin nya puas. Angkasa menaikkan nada bicaranya membangun kembali keberanian dalam dirinya, dia sudah bilang kan? Bahwa dia bukan seperti gadis-gadis pada umum nya, dia bukan gadis lemah yang akan merengek bila dibentak.

"Kalau aku pergi, kau mau apa hah? Bunuh diri? Dengar sad boy, kau hanya menambah beban kami bila mati,kau pikir aku mau mengangkat mayat mu nanti ? Diam! Aku belum selesai berbicara, dimana sopan santun mu disaat orang lain berbicara?" Langit kembali mengatupkan mulutnya yang hendak menyela Angkasa.

"Jangan bilang kalau aku bisa meninggalkan mayat mu disini. Tidak! Tidak akan pernah kulakukan. Aku tidak mau hidup dengan bau bangkai tajam menyengat yang mencemari udara di ruangan ini". Angkasa melipat kedua tangan nya. "Kalau aku sebegitu merepotkan nya untuk kalian, buang saja aku ke segerombolan zombie di luar sana. Aku hanya laki-laki tak berguna yang putus asa" Langit menatap kosong kedepan dan berdecih.

"Sudah kubilang, aku tak sudi menyentuh mayat mu apalagi tubuh mu, camkan itu! Dan kau ingin berguna? Maka tetaplah hidup, jangan kira aku tak tau sebahagia apa dirimu ketika menatap koran tentang Dome itu. Aku tau, keluarga mu ada yang selamat bukan? Pikirkan bila aku selamat, dan berhasil mencapai Dome. Lalu orang tuamu tau aku satu sekolah dengan mu, mereka akan tanya, apa aku kenal dengan mu? Tentu ku bilang, ya. Tapi bila mereka bertanya, sekarang dimana dia? Apa yang harus kukatakan? Oh, dia putus asa dan bunuh diri, begitu?"

Langit terdiam, mencerna tiap kata yang terlontar dari bibir Angkasa "Tolong pikirkan seberapa sedih keluargamu apabila tau kamu sudah tidak ada. Bukan apa-apa, aku akan merasa sangat bersalah karena tidak bisa melindungi teman ku. Tetaplah hidup" Angkasa mendekati bathtub dan membuang semua air nya, setelah nya gadis itu berbalik berniat meninggalkan Langit.

Namun sebelum gadis itu sampai di ambang pintu, Langit memanggilnya "Angkasa" gadis itu berhenti "Terimakasih" Langit melanjutkan ucapan nya. Angkasa kembali membuka mulutnya "Mau tau alasan ku selain tentang orang tua mu untuk melarang mu bunuh diri?" Angkasa terdiam sepersekian detik "Aku tidak mau kehilangan teman lagi" Gadis itu berbalik melemparkan senyum tipis lalu kembali berjalan menjauh. "Tetaplah hidup, Langit!" serunya.

Langit masih mematung, dia kembali memikirkan perkataan Angkasa. Dia menatap kaca wastafel, menyisir rambut hitam nya kebelakang menggunakan jemarinya, dia bergumam "Aku harus tetap hidup.Demi keluargaku, temanku, dan Angkasa" sesaat setelah mengucapkan nama Angksa, Langit kembali menatap kosong pantulan dirinya. "Angkasa, dia tidak sekuat ucapan dan barier yang di buat sebagai pelindung nya. Jauh didalam, dia gadis yang rapuh"

#tbc

We Must SurviveWhere stories live. Discover now