Degup Yang Seirama

161 12 0
                                    

Yogyakarta menjadi wadah lembaran baru bagi musisi muda dengan aliran indie. Meski tidak semujur Bandung—yang terkenal melahirkan bibit musikus handal—Daerah Istimewa tetap mengangkat kecintaannya yang menghubungkan antara puisi dan lagu. Dilebur dalam satu mini album yang rupanya peminatnya terus meningkat setiap minggu. Prana sang penulis lirik sekaligus pencipta aransemen sempat tidak percaya. Karyanya banyak diminati, terutama bagi orang-orang yang berkisar lima belas sampai tiga puluh tahun.

Sekarang tengah menginjak lagu ketiga, setelah induk karyanya yang berjudul "Lagu Jingga" dan "Tak Kasat Rasa". Prana mulai menghalau segala pikiran tentang ketidaktertarikan penduduk negeri ini dengan sajian musik indie. Rupanya, pernyataan itu ditangkis oleh kenyataan, bahwa orang-orang akan selalu menyukai lagunya asalkan menggunakan kata-kata yang indah.

Bahkan tak jarang ketika Prana pergi ke suatu destinasi, datang sekerumunan orang guna mengajak berfoto dan minta tanda tangan. Padahal ia tahu dirinya bukanlah artis berkelas yang sudah punya panggilan keren atau apalah itu.

Ingar-bingar Taman Nasional hampir mengalahkan keramaian di Ibu Kota. Kembali para gadis SMA mengantre foto bersama, membuat Prana sedikit kewalahan menerimanya. Tetapi tidak adil rasanya menolak hanya untuk diajak berpose di depan kamera. Jingga yang kini ambil peran sebagai asisten pribadinya, lambat-laun mulai terbiasa merangkap tugas sebagai tukang jepret gambar.

"Lama-lama aku beralih profesi dari penulis jadi fotografer," kata Jingga mengerucutkan bibirnya.

"Kamu harus lebih tahan cemburu, ya. Hahaha."

"Jadi sekarang punya banyak penggemar, nih."

Prana mengacak rambut Jingga. "Ya termasuk kamu. Fans beratku. Ngaku, deh."

"Ih, kebiasaan! Sudah rapi dibuat berantakan lagi!"

"Berantakan tetap cantik, aku tetap sayang."

"Prana...."

"Hemmm?"

"Sampai kapan mau gombal gitu?"

"Sampai aku bisa ikat kamu sama rasa sayang yang punya hak milik."

Jingga mengamati seputar Taman Nasional. Sesekali mencuri pandang ke arah Pranata yang tengah menyilangkan kedua tangannya di dada. Berjalan mencari tempat yang cocok untuk menuangkan isi kepala ke dalam layar laptop. Laki-laki yang semakin terlihat menawan, sekalipun perjalanannya menjadi seorang musikus tercatat perantau, tumbuh di kota yang bukan tempatnya dilahirkan. Pranata berhasil menarik banyak hati, tapi tidak pernah ada yang dianggap lebih dari antara musisi dan penikmat musiknya.

Sebagai timbal balik, kemanapun Jingga minta ditemani menulis, Prana bersedia menjadi tameng pertamanya. Semakin dimakan usia, bukan hubungan timbal balik semacam ini yang diinginkan keduanya, ada hasrat sama-sama ingin 'lebih' mengartikan kejelasan. Dan ketertarikan itu kembali dikubur seolah-olah tidak pernah lahir perasaan bahagia, cemas, begitu juga dengan takut saling meninggalkan.

***

Pagi masih malu menggantikan posisi bulan, matahari belum terlalu tinggi di kaki langit. Prana kembali mengemas peralatan panggungnya. Bersiap menyajikan dua lagu sebagai penghibur di acara ulang tahun Institut Seni Indonesia. Aksa mengerjapkan matanya berulang kali, ada kantuk hebat hasil tugas kuliah yang beberapa minggu terakhir harus dikebut. Kawannya itu lebih banyak menghabikan waktunya di rumah. Sebenarnya dengan jadwal manggung setiap minggu, Prana bersedia menyewa tempat indekos sendiri agar tak melulu merepotkan tuan rumah. Tetapi Aksa mengimbau, mengaku akan kesepian sebelum Prana datang.

"Nanti uangnya untuk dikirim ke Ibumu saja," jelas Aksa.

Usai bercengkrama tentang pindah atau tidak, Prana memutuskan tetap menjadi teman tinggal untuk Aksa. Meskipun ia juga sempat memaksa agar biaya listrik dan air menjadi tanggungan bulanannya. Mereka berdua mengamini. Beberapa saat kemudian, suara ketukan pintu berdera dari ruang depan. Bukan lagi seperti anak kemarin sore, kaki Jingga melangkah menuju ruang makan. Tangannya menarik daun telinga Prana.

BelantaraWhere stories live. Discover now