Seberang Keinginan

177 15 1
                                    

Biarkan aku menyayangi dengan cara paling sopan. Duduk, merenung, bicarakan, lalu biarkan bumi dan Tuhan yang menjawab.

***

Sebuah koper dan tas jinjing berukuran sedang sudah tersimpan aman dalam bagasi pesawat. Ketika tidak ada pilihan selain selesai dengan cara yang buruk, kita akan membuat keputusan yang tidak selaras dengan keinginan. Jingga memandang lengan gadis—yang isu punya isu dipanggil Aura itu—tengah merengkuh lengan Bagas.

"Itu tidak lagi membuatku cemburu, tapi kehilanganmu selamanya, yakni bandara ini jadi pintu gerbang dunia kita yang baru. Aku terlalu takut hidup tanpa kamu, aku terlalu cemas bila bumi semakin tak ramah dan tidak ada kamu di dalamnya."

Bagas mendengar siur suara bergeming, namun suaranya masih disimpan rapat. Seandainya Jingga merasakan degup jantungnya yang dua kali lebih cepat ketika disiarkan bahwa pesawat sebentar lagi akan boarding. Betapa ia ingin menetap di sini, melepaskan lengan gadis di sebelahnya lalu pulang bersama Jingga.

"Pesawat sudah boarding, kita harus bergegas," ucap Aura membuyarkan lamunannya.

Bagas memutar tubuhnya, berseberangan dengan seorang gadis yang masih menunggunya berubah pikiran. "Kita pasti bertemu lagi, Jingga. Suatu hari."

"Aku justru berharap sebaliknya," jawaban itu seolah meremukkan besi paling kuat.

Apakah sekarang aku boleh mengeluh? Apakah sekarang saatnya semesta memberiku jeda untuk berpikir bahwa cerita kita hanya sampai pada komplikasi tanpa ada penyelesaian? Kata Jingga pada dirinya sendiri.

Suara hati keduanya dilahap keramaian bandara.

Sepasang langkah kaki mulai menjarak, semakin jauh, namun sorot mata mereka masih melebur erat. Sampai tubuh Bagas sepenuhnya hilang dari jarak pandang, membawa pergi semua perasaan.

***

Bagas mengepalkan kedua tangannya, berulang kali juga mengusap kasar wajahnya dengan telapak tangan. Perasaan terberat adalah ketika ternyata Jingga sama sekali tak menahan kepergiannya kali ini. Mungkin ia mulai bisa menerima, atau memang sudah menebak bahwa kejadian seperti ini akan berulang adanya.

"Bukannya jadwal pesawat kita masih besok? Kenapa dibuat lebih cepat sehari?"

Aura terdiam sambil meneruskan perjalanan.

"Ra, Jogja itu rumahku..."

Langkah mereka terhenti karena tubuh Bagas yang mendadak kaku.

"Rumah yang mana? Kota ini atau orangnya yang kamu maksud?"

"Aura, aku punya masa lalu yang belum selesai."

"Mau selesai kapan, Bagas? Aku tahu tatapan mata yang kalian punya. Tanda rindu yang ingin kembali berpadu."

Hening, hanya terdengar deru langkah kaki orang-orang di bandara.

***

Mau sepahit apapun hari seberes ditinggalkan, pagi dan malam tetap terjadi sepanjang waktu. Linimasa aktivitas tetap berjalan seperti roda berporos. Yang berbeda hanyalah kini rasanya tinggal getir, apapun hal baik yang diperbuat terasa biasa saja. Apa ya namanya? Kosong mungkin, ya? Atau kesepian? Atau ini semua hanya sebuah rencana Tuhan untuk mengenalkan kehidupan yang sesungguhnya? Tapi mengapa caranya seperti tanpa toleransi sama sekali?

Seminggu berlalu sangat lambat. Jingga ingin segera pulih dari duka cita hatinya. Tapi jatuh cinta saja perlu waktu untuk memahami, apalagi patah hati yang tak pernah diminta menghancurkan hidup seseorang. Segala hal yang bergerak selalu punya akhir, terlebih ketika kita tak bisa berkawan baik dengan waktu dan keadaan.

BelantaraWhere stories live. Discover now