"Hahaha... gak lah. Kamu juga awas kalau gitu sama aku."

Zeva membekam mulut, dia tidak menyangka kehamilannya sudah di dengar oleh rekan kerjanya, dan apa itu tadi.

Dia sudah keluar?

Sejak kapan. Apa ini ulah Xavier. Tega sekali lelaki itu, menghalalkan segara cara agar dia pergi dari hidupnya.

Mengusap setetes air mata, Zeva ingin kembali melangkah. Dia harus cepat pergi dari sini.

"Kamu dengar itu?"

Langkah Zeva terhenti, dia berbalik dam terkejut melihat Xavier berada di dekatnya.

"Pak," kata Zeva serak.

"Kenapa kamu ke sini? Apa maumu?"

Zeva menelan ludah, susah payah dia masuk dengan sembunyi-sembunyi. Akhirnya ketahuan juga. Menghela napas, Zeva berkata, "Ada beberapa barang yang harus saya ambil, Pak."

Xavier berdecih, dia menatap Zeva tajam. "Segera ambil dan pergi dari sini. Di luar akan ada mobil hitam yang menunggumu. Naiklah ke sana, aku sudah menemukan dokter aborsi terbaik."

"Apa? Saya tidak mau!"

Bergerak cepat, Xavier membekap mulut Zeva. "Ssshh jangan berteriak. Kalau kamu masih mau selamat." Ancam Xavier. Zeva terisak, air matanya mengalir deras. "Jangan menangis karena saya tidak akan peduli."

Xavier terdiam, dia menyeret Zeva ke kamar gadis itu. "Ambil apa yang kamu buktikan sekarang. Karena setelah kembali dari dokter kamu tidak diizinkan ke sini lagi."

Tanpa kata, Zeva menyusun semua barang miliknya. Masih banyak tersisa, tapi nanti dia akan meminta tolong Nana untuk mengirimkan ke alamat barunya. Sekarang dia hanya bisa membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan.

"Saya berubah pikiran, kamu ikut saya saja."

Zeva menggigit bibir bawahnya gelisah. "Saya akan pergi, Pak."

"Tidak itu bukan pilihan bagus. Bisa saja suatu hari nanti kamu akan kembali dengan membawa seorang anak."

Tertunduk sedih, Zeva berkata, "Ibu saya membuang saya dari bayi, Pak. Saya di besarkan bersama anak-anak tidak beruntung lain. Kami hidup satu atap dengan keluarga yang tak bisa memiliki keturunan."

"Apa hubungannya dengan saya. Cerita sedihnya tak akan membuat saya berubah pikiran."

Xavier memang tak punya hati. "Biarkan saya membesarkan anak ini, Pak. Saya tidak ingin seperti Ibu kandung saya, yang tega membuang anaknya sendiri," kata Zeva mengusap air mata.

"Saya menyuruhmu menggugurkan. Bukan membuangnya."

"Bapak jahat. Bapak tidak punya
hati."

Zeva mendorong Xavier hingga terjatuh, saat lelaki itu hendak bangkit dia kembali mendorong koper besar miliknya hingga menimpa tubuh lelaki itu.

"Zeva ... kembali kamu!"

Zeva tidak peduli. Dia terus berlari dengan membawa dua koper lain. Sampai di depan pintu, Zeva berbalik. "Saya benci Anda," kata Zeva sebelum menutup pintu dan menguncinya.

Menarik napas lega, Zeva terus melangkah. Tiba di lantai dasar, dia terteguh untuk beberapa detik, sebelum kembali bersembunyi melihat mobil hitam di depan sana.

Zeva gelisah, dua orang lelaki di samping mobil itu terlihat memperhatikan dengan teliti semua wanita yang masuk dan keluar dari gedung ini.

Bersandar di tembok, Zeva memejamkan mata. Kenapa sulit sekali hidupnya tenang? Kenapa Xavier jahat sekali padanya.

Menguatkan tekad, Zeva merogoh ponsel dari sakunya. Dia nekat menghubungi Xavier untuk meminta lelaki itu menyuruh pergi orang suruhannya.

"Kembali, Zeva!"

Sambutan yang diterima Zeva sangat tidak menyenangkan, tapi dia tidak peduli. "Suruh pergi orang suruhan Bapak. Jika tidak-" Zeva sengaja menghentikan ucapannya.

"Apa?"

"Saya akan laporkan masalah ini pada orang tua Bapak dan Bu Aera," kata Zeva tanpa beban.

"Kamu mengancam saya?"

"Tidak ada kata ancaman untuk menyelamatkan diri." Zeva memejamkan mata, keringat dingin mengaliri tangan dan pelipisnya. Tubuhnya bergetar, dia takut. Namun, jika tidak begini, dia tidak yakin akan bisa pergi dari kota ini dengan utuh.




Wkwkw Si Zeva kok jadi nekat begini ya.

Kalau Xavier gak mau, gimana coba 😂😂😂

Jangan lupa tinggalkan jejak 😉😉

Minggu 9 Juni 2019

Xavier & Zeva Where stories live. Discover now