Satu

1.5M 29.2K 655
                                    

Info : bagi yang mau baca ini dan belum baca Kissing with the Boss sebaiknya baca itu dulu, minimal 8 atau 9 bab. Karena aku gak tahu Zeva dan Xavier pernah di bahas di bab berapa 😁

Biar paham gitu

====

"Pak, Anda mabuk." Zeva menyentuh bahu Xavier, bos barunya. Melihat Xavier yang nyaris terjatuh, Zeva langsung merangkul pinggang lelaki tinggi itu.

"Oh hai, cantik." Zeva terkekeh saat Xavier balas merangkul bahunya.

"Saya akan mengantar Bapak pulang," kata Zeva kelewatan semangat. Zeva tertawa, dia juga mabuk, tapi tidak separah Xavier yang melakukan apapun terlihat sangat kesulitan.

Tertatih mereka melangkah ke parkiran dan memasuki mobil Xavier. Menjalankan mobil dengan sedikit ugal-ugalan, akhirnya mereka tiba di parkiran apartemen Xavier dengan selamat.

Tidak ada yang keluar dari dalam mobil. Zeva memeluk kemudi, matanya menatap Xavier yang membalas tatapannya.

Tersenyum, Zeva mengulurkan tangan, menyentuh hidung Xavier yang tinggi. "Saya suka hidung Bapak," kata Zeva menyengir.

Menarik tangannya, Zeva membuka kunci pintu. Dia hendak keluar saat Xavier menahan tangan dan menari tubuhnya merapat. "Pap!"

"Sssttthh..." Xavier berbisik di dekat telinga Zeva. Dia menunduk dan memberi satu kecupan di pipi sebelum berpindah ke bibir menggoda Zeva.

Mengecap rasa masing-masing, Xavier dan Zeva sama-sama mengerang nikmat.

Zeva menurut saat Xavier memindahkannya ke pangkuan lelaki itu, dia mendesah, menamba sentuhan Xavier.

====

Zeva menggeliat, perlahan dia membuka mata. Mengerutkan kening Zeva kembali memejamkan mata, dia mengeluh saat kepalanya semakin terasa sakit.

Memijat keningnya selama beberapa detik, Zeva kembali membuka mata. Dia terkejut saat menyadari di mana dia berada.

Mengedarkan pandangan, Zeva semakin terkejut kala menyadari ada tangan kekar di perutnya. Meringis ngeri, Zeva menyingkirkan tangan itu dari perutnya.

Pelan-pelan Zeva berbalik, dia membekap mulutnya melihat Xavier, bos barunya tidur di sana.

Jantung Zeva bergemuruh, dia mencoba menenangkan diri sebelum turun dari ranjang. Zeva melakunya dengan hati-hati, dia sangat takut Xavier terbangun.

Berhasil melepaskan diri dari Xavier, Zeva langsung mencari pakaiannya. Dia hanya menemukan celana dalamnya saja, lalu di mana bra dan gaunnya?

Tidak memiliki banyak pilihan, Zeva menyambar kemeja dan jas Xavier. Semoga bosnya tidak pernah mencari kedua benda ini lagi. Memakainya dengan cepat, Zeva melangkah hati-hati ke arah pintu. Tubuhnya pegal, area pribadinya lebih parah lagi.

Menghentikan langkah, Zeva menahan napas. Pelan-pelan di berbalik. Dia melotot melihat Xavier menggeliat. Selimut yang menutupi tubuhnya semakin turun, sekarang hanya menutupi area pribadi lelaki itu saja.

Meringis, Zeva kembali melangkah. Perutnya mual, kepalanya berdenyut-denyut menyakitkan.

Sampai di luar dengan selamat, Zeva menghela napas lega. Dia langsung mempercepat langkah, berharap secepat mungkin tiba di apartemen miliknya sendiri.

====

Kehilangan perawan saat usia belasan tahun tidak membuat Zeva merasa biasa saja saat tersadar kembali melakukan kesalahan yang sama.

"Sialan," kata Zeva. Dia mengusap air mata yang tak mau berhenti mengalir. Menangisi nasib yang sudah menimpanya memang percuma saja.

Tapi air matanya tidak mau berhenti sekarang. Lagi-lagi dia gagal menjaga diri. Dulu setelah lulus SMA dia juga seperti ini. Terbangun dengan tubuh telanjang, pegal-pegal dan ada seorang lelaki gendut, gondrong serta tua yang memeluknya.

Isakan Zeva semakin kuat. Dia menarik selimut menutupi seluruh tubuh.

Bagaimana dia harus bersikap?

Bagaimana dia harus menghadapi Xavier di kantor nanti?

Zeva berteriak, marah. Suara tangisannya terdengar semakin mengerihkan.

Keesokan hari, Zeva duduk di ranjang dengan tatapan kosong. Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Sudah saatnya dia bersiap agar bisa berangkat.

Tapi berat rasanya meninggalkan ranjang. Tulang-tulang di tubuhnya terasa menghilang. Kepalanya semakin terasa sakit.

Zeva menjedotkan belakang kepala ke sandaran ranjang. Dia menendang-nendang selimut dengan kesal.

Sekarang, satelah satu hari terlewat Zeva lebih menghawatirkan nasib pekerjaannya. Berteriak kesal, Zeva merosot. Dia kembali berbaring, menatap langit-langit kamar sebelum menendang udara kosong dengan kesal.

Alarm kembali berbunyi, Dengan kesal Zeva mematikannya dan bangkit.

"Baiklah. Anggap saja itu semua tidak pernah terjadi," ucap Zeva sebelum melangkah ke kamar mandi.

Zeva berharap Xavier sangat mabuk hingga tidak ingat lagi dengan apa yang telah mereka lakukan malam itu.

Tiba di kantor, jantung Zeva semakin bergemuruh. Semangat menggebu yang dimiliki sebelum berangkat semakin layu saat duduk di kursinya.

Zeva menahan napas saat pintu lift di sudut kanan terbuka. Ya Tuhan. Zeva mengeluh dalam hati, dia belum mempersiapkan diri menghadapi Xavier saat ini.

Menahan gemetar di tubuh, Zeva bangkit. "Selamat pagi, Pak." Zeva susah payah mengeluarkan suara. Senyumnya kaku, wajahnya semakin pucat.

"Pagi. Kamu baik-baik saja?" Kening Zeva berkerut, dia tidak mengerti. "Wajahmu sangat pucat."

Menyentuh pipinya, Zeva menggeleng. "Saya baik-baik saja, Pak."

Mengangguk, Xavier mengucapkan sesuatu lagi sebelum meninggalkan Zeva seorang diri.

Melihat Xavier yang menghilang dari pandangan, Zeva langsung jatuh terduduk. Dia menyentuh jantung, mengusapnya pelan agar debaran di sana sedikit tenang.

"Dia lupa," kata Zeva. Perlahan senyumnya terbit, dia mengepalkan tangannya. "Yess." Zeva bersorak senang.

Zeva sangat bersyukur Xavier melupakan kejadian malam terkutuk itu. Dia sangat berharap ingatan Xavier tidak pernah kembali, karena dengan begitu hidupnya akan damai selamanya.

Terlalu merasa beruntung Zeva lupa jika gaun dan pakai dalamnya belum ada dalam genggaman.

Selamat hari raya, mohon maaf lahir dan batin semua.

Ini bab permulaan

Jangan lupa vote dan komennya.

Kamis 6 juni 2019

Xavier & Zeva Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang