Part 1

15 1 0
                                    

Setiap pasangan suami istri pasti mendambakan buah hati yang terlahir sehat dan lucu, namun bagaimana jika buah hati terlahir tidak seperti yang kita dambakan? Menyerah dan putus asa atau menerima dan bangkit berjuang bersama-sama? Semua pilihan kembali kepada kita sebagai orang tua. Ini sepenggal kisah tentang kedua putra putri kami,,,,

Usia kandunganku genap 7 bulan, kala itu kami tinggal bersama mertua di Wonogiri Jawa Tengah. Rumah kami berada dipegunungan terletak cukup jauh dari RS dan fasilitas kesehatan. Setiap kontrol per 2 minggu saran dokter tentang nutrisi tak pernah tertinggal dan tekanan darahku yang cenderung rendah membuatku mudah tiba-tiba lemas.

"Pa, disini RS kan jauh. Kalo aku lahiran di Malang gimana?," tanyaku kepada suami disuatu siang.
"Kenapa kalo disini? Kalo lahiran di Malang aku nggak bisa nungguin, dirimu tau kondisi ibu. Harus ada yang jaga disini," jawabnya. Aku menarik nafas dalam menatap laki-lakiku, tidak ada keraguan ditatapannya.

Janinku yang sudah ku ketahui jenis kelaminnya, kuberi nama Afrin. Afrin seringkali mengencang kaku dan menendang keatas menekan lambungku, membuatku muntah tiada henti hingga harus dilarikan ke UGD RS yang jaraknya 1 jam perjalanan. Kejadian itu membuat suamiku berubah fikiran dan setuju aku melahirkan putri kami di Malang kota kelahiranku. Juli 2013 suamiku mengantarkanku pulang ke Malang lalu seminggu kemudian dia kembali ke Wonogiri, perkiraan dokter aku akan melahirkan dibulan September. Alhamdulillah kepulanganku ke Malang membawa angin segar, nafsu makanku membaik dan perlahan aku bisa mengejar berat badan Afrin yang rendah.

Diluar perkiraan 15 Agustus pagi aku terbangun dengan dada sesak, kepala pusing dan mata buram gelap, mama yang was was langsung membawaku ke bidan terdekat. Tekanan darahku 150/110, aku tertegun karena baru kali ini setinggi itu dan terus melonjak naik. Bu bidan memberiku bantuan oksigen dan langsung merujukku ke RS, dia bilang kondisiku serius ditandai dengan bengkak di kaki dan tanganku. Sesampai di UGD aku di tensi ulang, dilakukan pemasangan infuse, cek darah dan cek urine, aku mendapatkan suntikan obat dan obat oral untuk membantu menurunkan tekanan darahku. Bukannya turun tekanan darahku semakin naik ke 180/150. Aku terus mengusap Afrin yang mengencang didalam perut buncitku, membisikan kami akan baik-baik saja. Dokter jaga mengkonsultasikan kondisiku ke dokter kandungan yang menanganiku, kali ini aku diminta bedrest total dan diawasi terus oleh seorang bidan muda yg setiap 5 menit melakukan pengukuran tekanan darah.

Papa, aku takut. Isi pesan yang kukirim kepadanya.

Tekanan darahku melonjak diatas 200 dokter menemui keluargaku mengatakan aku mengalami kondisi preeklamsia dan sudah terjadi kebocoran protein di urineku sehingga harus segera dilakukan operasi sectio caecaria. Aku bergeming meminta waktu agar suamiku bisa pulang menemani persalinan putri kami, permintaanku ditolak kondisi klinisku membahayakan Afrin. Saat itu menurut hasil USG kondisi Afrin masih stabil bagus dan suamiku memberikan persetujuan operasi.

Aku terus mengusap perutku, berharap sentuhanku akan menguatkan Afrin. Dengan terus membaca sholawat, aku menutup mata dengan bacaan syahadat. Jihad seorang wanita adalah disaat persalinan, jika aku tidak mampu melewati masa kritis ini ku harap suamiku mampu mencari ibu pengganti yang mampu menyayangi Afrin sepenuh hati.

Nak, asalkan kamu lahir dengan selamat. Bunda ikhlas waktu bunda berakhir disini, batinku diatas meja operasi.

Saat tersadar aku merasa seluruh badanku menggigil, mengejang tidak terkontrol dan perutku berkontraksi tiada henti, darah terus mengalir hingga perawat yang mengawasiku berulang kali mengganti alasku. Seperti ada kabut pekat yang menahanku berbicara keras, aku ingat terus bertanya bayiku dan perawat yang menanganiku bilang bayiku baik-baik saja tapi dirujuk ke RS besar karena butuh inkubator. Rasanya lega kami mampu melewati masa kritis persalinan, aku terus berfikir harus segera sehat dan kuat agar bisa menyusui Afrin. Bayiku pasti lapar dan membutuhkan pelukanku.

Selama masa pemulihan aku berusaha segera sehat, pening karena hemoglobin darah yang turun ke 8,6 pun tak kurasakan. Setiap dokter visite aku selalu menjawab penuh keyakinan bahwa aku baik-baik saja, harapanku adalah bisa segera pulang dan melihat putriku yang belum sempat sedetikpun ku peluk.Hari ke 3 akhirnya dokter memberiku izin pulang. Semangatku meluap, aku membereskan semua perlengkapanku dan mengirim pesan kepada suami.

'Papa jemput aku udah boleh pulang, pingin segera lihat bidadari kita,' aku tersenyum sepanjang pagi. 

Suamiku berjaga menemani Afrin dan mengabarkan perkembangannya kepadaku, namun rupanya banyak yang tak terucap olehnya. Tidak ada perkembangan karena nyatanya saturasi oksigen Afrin terus menurun, seharusnya Afrin membutuhkan ventilator namun alat itu terbatas dan sedang digunakan pasien lain yang sama gawatnya. Afrin dibantu dengan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) alat tersebut membantunya mendapat supply oksigen, alat yang digunakan untuk membantu pernafasan ini berupa dua selang yang berukuran kecil yang dimasukkan ke dalam hidung.

Ada perasaan mengganjal yang menggelisahkanku yang terus ku tepis dengan fikiran positif, aku menunggu lama hingga akhirnya suamiku datang dengan mama lalu disusul Bu Wid, humas RS tempatku dirawat.
"Sudah merasa lebih sehat bu?" sapa bu Wid
"Sudah bu, tumpeng syukurannya juga sudah saya makan. Sudah kangen sekali ingin lihat si kecil yang suka menendang perut saya," jawabku tersenyum lebar.

Suamiku berdiri diujung ranjang tidak mendekat, mama berdiri dipintu kamar sedangkan bu Wid duduk dikursi disamping ranjangku. Ku sangka ini adalah sesi pembekalan ibu baru.

"Bu, anak itu adalah titipan ya bu," tanya bu Wid lagi.
"Iya Bu, anak adalah amanah,"
"Jodoh, rejeki, kelahiran dan kematian adalah hal yg gaib bagi kita ya bu," kata bu Wid perlahan sambil menggenggam tanganku.

'Deg' sesuatu meninju dadaku, mataku beralih menatap suamiku yang menyendu berkaca-kaca. Bibirnya diam tanpa kata tapi matanya mengatakan banyak hal.
"Papa, adek baik-baik kan? Afrin kita baik-baik saja kan?" tanyaku. Dia diam, tatapannya bergetar dan dia mengangguk. Bu Wid menggenggam tanganku erat, aku yang tadinya duduk tak terasa terbaring diranjang.

"Bu, jika yang memberi mengambil kembali amanah yang dititipkan kepada kita, kita harus berusaha untuk ikhlas ya bu mungkin saat ini belumlah waktu yang tepat," kata-kata Bu Wid terdengar jauh ditelingaku.

"Adek sudah kembali kepadaNya," kata Bu Wid perlahan. Tangisku pecah, duniaku runtuh. Aku tidak lagi mendengar atau merasakan apa-apa.

Ambulance mengantarkanku pulang, diatas kursi roda aku melihatnya. Bidadari kecilku terbaring sendirian, aku memeluknya dipangkuanku. Tubuhnya dingin dengan ruam lebam di dada, bibir dan ujung kuku. Hari bahagia yang ku nantikan tidak ada, putriku yang berbulan-bulan berbagi detak jantung dan nafas denganku tiada. Dia membawa separuh jiwaku pergi bersamanya, bagiku sore itu aku sudah berakhir.

Twin StarsWhere stories live. Discover now