life safer.

2.8K 4 0
                                    

Kyra's POV

Aku menyeka keringatku untuk yang kesekian kali. dengan tangan kanan. tangan kiriku sedang tidak ingin diganggu karena nyeri yang ku rasakan hampir 20 menit terakhir. aku merasakan denyut jantungku berirama seperti ikut menyertai rasa sakitnya, ditambah matahari yang hari ini sepertinya dijatahi untuk masing - masing orang. oh... aku tergelak karena merasakan ulu hati ku berkontraksi. sepertinya cacing cacing penghuni perutku tidak ingin lama - lama berkompromi. Teringat akan sarapan yang kuabaikan tadi.

Tangan kiriku semakin sakit. terlihat setetes darah mengalir dari goresan yang ku buat sendiri akibat kecerobohanku. pasir aspal masih terlihat di sekitarnya.

Hari ini hari kedua Orientasi penerimaan mahasiwa baru di kampusku. pukul 06.30 pagi, dan aku belum berada di kampusku. aku terlambat 30 menit dari waktu yang ditentukan untuk berkumpul.

Aku, Kyra Ghaitsa Abraham.

Mahasiwi baru jurusan Managemen dan Bisnis Fakultas Ekonomi di Universitas ternama di Jakarta. ibuku alumnus kampus itu, betapa bangga nya ia bahwa aku dengan lapang dada dapat menuruti kemaunnya untuk melanjutkan studiku di mantan kampusnya, walau aku, dengan segenap jiwa dan raga, pernah bersusah payah untuk melancarkan aksi penolakan, namun berakhir dengan ibuku mendiamiku selama seminggu! aku tau, itu tipu muslihatnya untuk meluluhkan hatiku. sebenarnya aku mempunyai universitas impianku, di Bandung, tepatnya daerah Lembang. aku merasa pasion ku sudah mantap untuk mengambil bidang di kampus itu, namun selalu bertentangan dengan ibu ku.

"Kamu harus jadi manager, atau exsekutif muda yang nanti bisa bekerja di perusahaan - perusahaan ternama." kata - kata itu yang selalu terngiang di kepalaku. ucapan ibuku yang selalu ia lontarkan saat aku sedang belajar atau mendiskusikan masalah pasion ku dengan nya.

"Ngapain jadi chef? emang kamu bisa masak? yang pasti - pasti saja nduk, ibu kan nggak punya uang banyak,"

Biaya. salah satu kendala kehidupan kami. aku dan ibu tinggal berdua di salah satu unit apartement tipe studio dengan ukuran hanya 30 meter persegi. peninggalan ayahku yang sudah tidak ada sejak kandungan ibuku masih berusia 5 bulan. Aku pun sampai sekarang tidak pernah mengetahui wajah ayahku, fotonya tak pernah dapat ku temukan. dulu saat kecil ibu sering sekali menceritakan tentang masa kecilnya yang bahagia, tanpa sedikitpun bercerita soal ayah dan bagaimana sebenernya sosok ayahku. namun kulupakan, karena aku tidak pernah ingin melihat raut berbeda dari ibu yang selalu ia tampakan setiap aku bertanya tentang ayah. yang paling terpenting aku hidup bahagia, bersama ibu dan dengan segera akan mewujudkan impiannya yang ia taruh kepadaku.

Sudah hampir pukul 07.00 dan aku belum juga melihat angkutan umum jurusan kampusku lewat. gawat, bisa - bisa para senior ku mengamuk menyadari keterlambatanku. entah mengapa matahari di pagi yang baru mulai ini sangatlah menyengat, peluhku berjatuhan karena berdiri tanpa penghalang atap membuat sinar matahari seakan membakar ubun - ubunku.

jalanan di hadapan ku sangat ramai, keadaan macet yang entah sampai mana aku tidak bisa melihat ujung nya. aku mengamati mobil dan motor yang berlalu lalang padat, dan mendapati salah satu pengemudi motor melambat kearahku. matanya tepat tertuju kerahku yang mengamatinya. aku tidak bisa mengenali nya karena helm fullface yang ia kenakan.

motornya berhenti dihadapanku, ia membuka helm nya dan tersenyum simpul. aku semakin tidak mengenal sosok ini, sampai ia mengulurkan tangannya. Sungguh aku tidak mengenal siapa dia.

"Arga."

aku berkerut bingung sambil menjabat uluran tangannya. aku benar-benar tidak mengenalnya.

"Kyra.."

"Maba 19 kan?"

"eh,?"

"Gue angkatan 15. cepetan naik, jangan sampe gue laporin ke temen-temen gue yang lain karena lo belom masuk barisan. tunggu, tangan lo kenapa?"

Aku sigap menyembunyikan lengan kiriku yang mulai memar akibat jatuh tadi. mungkin ia mengenaliku dari tampilanku saat ini : baju kaus putih kebesaran dengan celana bahan hitam panjang, rambut yang di kuncir jadi 5 ikat, dan nametag berbentuk wajah ondel - ondel yang menampilkan biodata diriku yang dikalungkan di leher. aku bahkan hanya menyimpan barang pribadiku seperti dompet dan handphone di saku celana bahan yang berukuran besar ini. yang paling normal dari semuanya hanya sepatuku, converse hitam andalanku.

"Ayo naik! nanti keburu tambah macet" Arga menyadarkan lamunanku. aku sedikit ragu namun mengingat jam di ponselku semakin berjalan aku juga semakin takut Arga akan melaporkan keterlambatan ku pada temannya.

"Jangan kebanyakan mikir deh..."

Aku lalu naik ke atas motornya, dengan tangan kanan memegangi tangan kiriku yang sekarang makin terasa pedih.

***

Sesampainya di pakiran motor aku berterima kasih ke pada Arga yang sedang melepas helmnya. halaman kampus penuh dengan ratusan Mahasiswa baru dengan penampilan yang persis denganku. aku melangkahkan kaki hendak berjalan ke arah barisan lalu tiba tiba tanganku tertahan.

"Lo mau cari mati namanya kalo lewat situ, ayo ikut gue."

Aku mengikuti Arga melewati bagian parkiran motor yang tembus ke pintu samping Lobby utama kampus, langkahnya yang panjang membuat ia lebih cepat sampai ke sebuah ruangan berpintu putih dengan tulisan "Klinik" di atasnya. di dalam ada seorang perawat dan satu dokter yang sedang memeriksa beberapa obat.

"Pagi Dok, Sus, saya bawa mangsa baru." Aku melirik Arga yang menahan senyum sambil menyalami Dokter perempuan parubaya dan suster muda di sampingnya.

"Ah kamu ada ada aja, tuh liat jadi takut deh dia," Dokter Riri menyambut Arga hangat. ia memperhatikan wajahku yang memang agak menegang. aku takut rumah sakit. walaupun sedang tidak berada di rumah sakit tapi interior klinik ini mengingatkan aku akan ruangan ICU yang dipenuhi dengan berbagai alat-alat medis. Aroma obat-obatan pun menguar di penciumanku.

Perawat itu mengambil sebotol infus dan beberapa kasa. lalu mulai membersihkan luka di lenganku dengan cairan yang ia keluarkan dari botol infus itu dan menutupnya dengan kasa dan perban.

Setelah selesai Arga mengantarkanku ke barisan melalui pintu utama Lobby, melewati beberapa panitia yang menatap kami bingung juga terpukau, tentunya karena Arga. dengan wajah yang ku akui memang sangat tampan pasti lah Arga jadi pusat para gadis di kampus ini dan ratusan pasang mata Mahasiwa baru di hadapan kami. Arga mengantarku ke barisan kelompok ku, belum sempat aku berterima kasih ia langsung berlalu sambil berlari ke dalam gedung kampus.

Sweet Anxiety.Where stories live. Discover now