"Maaf."

Johnny bergumam pelan. Kepalanya dia jauhkan dari leher, kemudian mencari posisi nyaman dibantal. Bersamaan dengan tangannya yang menarik tubuhku hingga bergeser. Kini, jarak wajah kami sangat dekat. Merasakan hembusan lembut menerapa permukaan kulit, aku tersenyum.

Apa yang sedang Kakakku ini pikirkan? Dia sedang meminta maaf kepada siapa?

"Maaf."

Lagi, gumamannya masih sama. Senyumku semakin melebar. Sedikit merasa terhibur melihat Johnny seperti ini. Seolah, semua dinding pembatas yang sempat memisahkan kami telah runtuh. Membawa kembali sosok Johnny yang kukenali dengan utuh.

Mengangkat tangan, aku menekan kening Johnny yang berkerut. Alisnya nyaris bertaut. Apa dia tidak menikmati bunga tidurnya?

"Grace, Kakak minta maaf."

Aku terhenyak. Menghentikan gerakan tangan, membiarkannya menggantung diudara. Kembali mendengar kalimat yang sejak kemarin tidak hentinya Johnny ucapkan.

Terus-menerus meminta pengampunan, padahal aku tidak ingin memusingkan. Sudah membujuknya untuk berhenti, mencoba memberi pengertian kalau semakin sering dia meminta maaf, semakin sering dia mengundang luka basah untuk datang.

Aku hanya ingin melupakannya. Belajar ikhlas, menerima jalan takdir yang sudah tergambar.

Sangat bersyukur, Johnny kembali setelah semua yang kulewati selama ini. Tidak merasa sendirian lagi, sekarang aku punya pundak untuk mencurahkan isi hati.

Menangkup satu pipinya, aku mengusap pelan wajah Kakakku. Menyalurkan ketenangan lewat sentuhan kulit, berharap dia selalu bahagia, walau dalam mimpi sekali pun.

"Semua akan baik-baik saja."

Senyumku merekah. Bersamaan dengan hilangnya kerutan dikening dan alis Johnny. Melihat sudut bibirnya yang kembali terangkat, seolah kini kami sedang tersenyum bersama.

"Kita harus bahagia, paman Johnny."


*****




"Saya buatkan bubur ya, Nyonya?"

Aku menggeleng. Tersenyum hangat kepada pelayan yang baru saja datang. Mencoba menolak tawaran, tanpa meninggalkan kesan tidak sopan.

"Bagaimana kalau teh hangat? Nyonya mau?"

Kembali aku menggerakkan kepala. Memberi respon yang sama, membuat sosok disisi menghela nafas pasrah.

Merasa tidak enak, tapi mau bagaimana lagi? Aku sedang tidak ingin mengkonsumsi sesuatu. Bahkan, tidak memiliki niatan untuk sekedar beranjak posisi. Terus berdiam diri di meja makan, sesekali merebahkan kepala kala pusing kembali menyerang.

Jangankan untuk menelan, membuka mata saja aku enggan.

Tubuhku lemas luar biasa.

Sempat bimbang, ketika Johnny menawarkan untuk meminta libur sehari kepada Yuta. Berpikir mungkin aku butuh istirahat lebih, namun sepertinya semesta tidak mengizinkan.

Istri Paruh Waktu | Nakamoto YutaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon