Karlina Supelli ( Kosmos Dan Masalah Kebebasan Tuhan )

66 1 0
                                    

Kosmos dan Masalah
Kebebasan Tuhan*
Karlina Supelli

Di bawah bayang-bayang perang yang kelihatannya akan lebih buruk daripada Perang Dunia Pertama, penulis fiksi Olaf Stapledon menerbitkan Star Maker (1937). Narator dalam cerita itu dapat mengembarakan pikirannya dan memasuki ruang kosmis dengan kecepatan fantastis. Ia bisa bolak-balik antara masa lalu dan masa depan. Memakai kekuatan telepati, pikirannya terhubung dengan pikiran makhluk dari jagat lain. Bersama-sama mereka bertualang melintasi ruang dan waktu dan menyaksikan kehidupan di jagat yang berbeda-beda.
Tidak ada jagat yang persis sama. Jenis penghuninya pun beraneka rupa. Ada yang kurang cerdas sehingga tak mampu mengatasi persoalan sehari-hari, ada yang cerdas tetapi tidak punya kemauan sosial/politik dan ada pula yang terancam musnah oleh kemajuan teknologinya sendiri, atau punah karena faktor lingkungan semisal perubahan iklim. Terlepas dari perbedaan itu, semua ditandai dengan

* Karlina Supelli adalah dosen di Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

Tulisan ini telah disajikan dalam ceramah Kosmos dan Masalah Kebebasan Tuhan, Komunitas Salihara, Sabtu 18 Juni 2016.
nasib yang sama. Semua sedang menuju kehancuran. “Alangkah boros dan sia-sia,” si narator menggerutu.
Di tengah cekaman rasa cemas dan takut, si narator tiba-tiba merasakan kehadiran akal budi kosmis. Ia terangkut ke dunia “mitos atau mimpi fantastis”, tempat ia menyaksikan daya kreatif membentuk dunia. Rupanya, semua jagat adalah hasil coba-coba, eksperimen roh mutlak dan kekal, the Star Maker.
Setiap eksperimen memunculkan satu jagat. Jagat pertama berupa tetabuhan. Belajar dari sunyi dan bunyi, Star Maker menciptakan melodi. Semua itu hanya berupa rambatan waktu. Star Maker lalu mencoba beraneka kombinasi untuk menghadirkan waktu dan ruang. Ciptaannya makin lama makin pelik, begitu juga isinya.
Alam semesta kita lahir di pertengahan jalan. Star Maker kagum. Ia menyukai dunia yang elok serta cukup rumit ini. Namun, suka dan kagum tidak membawa keselamatan. Cacat pada rancangan otomatis menggiring alam semesta ke akhir yang tragis; dan itu berarti kesengsaraan menimpa penghuninya. Dengan agak kurang sabar kendati bukannya tanpa rasa takzim, ia menaruh alam semesta kita ke deretan alam semesta sebelumnya. Di situ, kepunahan datang pelanpelan dengan sendirinya. Ia berlanjut ke rancangan berikutnya.
Si narator mulai penat. Dunia mainan Star Maker tampak semakin asing. Ia tidak lagi memahaminya. Sekejap terlihat rancangan penghabisan jauh di masa depan, di penghujung aneka eksperimen. “Laksana gerakan terakhir sebuah simfoni,” kosmos masa depan merangkum melampaui “semua teras gerakan sebelumnya” dan sekaligus melampauinya. Alih-alih bersuka cita, si narator merasa terpukul. Ia geram sekaligus takjub.
Kosmos penghabisan adalah kosmos dalam keseimbangan mutlak. Penghuninya punya kekuatan tilikan budi sepenuh-penuhnya dan spiritualitas yang hampir-hampir sempurna. Tapi untuk apa? Dalam karya puncak Star Maker, segala sesuatu sudah selesai. Tak ada aliran energi, tak ada kreasi, tak perlu visi. Segalanya serba-rata, seimbang.
“Akulah embrio yang bertarung dalam telur kosmis, sementara intinya membusuk,” dengan puas si narator bergumam. Ia bukan lagi si pengelana. Ialah kosmos itu sendiri.
Bukan belas kasih dan bukan kemurahan hati yang menjelmakan dirinya. Star Maker tidak baik dan tidak jahat. Ia seniman yang sibuk menilai karyanya sendiri. Karena tidak dapat membatalkan cacat yang tertanam dalam rancangannya, ciptaan yang gagal ia lenyapkan. Lalu ia mulai lagi dari permulaan. Demikian berlangsung hingga hasratnya terpuaskan. Si narator pulang ke Bumi dan menerima takdirnya. Ia tidak paham apa yang ada di pikiran Star Maker, tetapi sedikit banyak ia tahu apa yang dikerjakannya. Dari situ ia mengerti. Ia sepotong momen dalam kontemplasi rasional-nan-dingin roh mutlak yang haus kreativitas.
C.S. Lewis, penulis Chronicle of Narnia yang terkenal itu, gusar. Dalam sepucuk surat kepada penulis fiksi ilmiah Arthur Clarke, ia mencerca bagian terakhir Star Maker dan menyebutnya “pemujaan setan belaka”. Lewis menerbitkan Space Trilogy untuk menanggapi karya Stapledon sebelumnya, Last and First Men, yang ia anggap merusak nilai-nilai religius.
Tentang tulisan ini
Seandainya masih hidup, barangkali Lewis semakin jengkel. Skenario jagat majemuk (multiverse) sekarang masuk ke dalam konferensi dan jurnal ilmiah serta dibahas dengan serius oleh ilmuwan-ilmuwan terkemuka.
Pada mulanya skenario itu diajukan sebagai alternatif bagi sebuah asas bernada religius yang dirumuskan untuk menjawab pertanyaan, mengapa alam seperti ini? Mengapa kita ada di sini? Nama asas itu sangat antroposentris, “asas antropik” (dari kata Yunani, ánthrōpos: manusia); seakan-akan alam terancang bagi manusia.
Rupa-rupanya alam mengandung banyak kebetulan. Beberapa aspek mendasar dalam proses-proses fisika dan kosmologi memiliki kombinasi yang sangat pas. Padahal, dari sisi fisika, peluang untuk menjadikan alam semesta seperti ini hampir-hampir mustahil. Penciptanya diikat oleh banyak sekali persyaratan. 
Tanpa diduga, skenario jagat majemuk muncul sebagai konsekuensi alami dari mekanika kuantum dan teori dawai (string theory). Skenario ini menarik bagi ilmuwan. Kalau ada berlaksa-laksa jagat, tidak perlu kita bertanya mengapa semua seperti ini. Seperti orang punya setumpukan besar kepeng logam, kebetulan saja ada satu kepeng emas di antaranya. “Teori itu anggun—memesona kecerdasan,” kata Liek
Wiladjo, tetapi “salah pun tidak” (not even wrong). 
Alternatif pertama menimbulkan pertanyaan teologis yang serius. Apakah Tuhan yang Maka Kuasa tidak bebas? Ini pertanyaan kuna yang membuat para alim berseteru dengan para filsuf. Di Eropa Barat, sengketa itu melahirkan Dekrit Uskup 1277 berisi 219 pernyataan sesat, sebagian di antaranya terkait dengan konsep tentang kebebasan Tuhan.
Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud menyampaikan pemecahan. Saya tidak mempunyai peta dan pengetahuan yang cukup untuk memasuki argumen teologis atau pun Filsafat Ketuhanan. Saya semata-mata ingin menunjukkan paradoks yang membayang-bayangi kosmologi tetapi jarang dibahas.
Saya tergerak memilih tema ini karena paradoks itu tampaknya bermula dari persengketaan para teolog-cum-filsuf Abad Pertengahan dalam upaya mempertahankan konsep kebebasan mutlak Tuhan. Tak dinyana, upaya itu membuka jalan bagi sekularisasi filsafat dan scientia.
Ketika pada abad ke-17 Isaac Newton merumuskan teori universal gravitasi, keyakinan bahwa alam adalah buah kehendak bebas Tuhan mendapatkan kepastian matematis. Bergandengan dengan impian “sains sebagai jalan keselamatan”, mesin kosmos tidak lagi sekadar berputar. Mesin itu berputar untuk berproduksi.
Ke mana semua ini mengarah?
Saya akan mulai dengan sebuah teka-teki yang membawa kosmologi, salah satu cabang ilmu empiris, kembali ke tradisi yang melahirkannya di permulaan sejarah.
Teka-teki 137
Selama berabad-abad ahli fisika menyusun teori tentang cara kerja alam. Model yang mereka bangun membantu kita memahami bagaimana alam bekerja, mulai dari atom sampai galaksi. Ahli biologi membantu kita mengerti bagaimana aneka ragam makhluk berkembang, atau punah, dalam lingkungan bumi yang terus berubah. Di mana manusia dalam kaitannya dengan alam semesta sebagai keseluruhan?
Ia pengamat. Hukum fisika sudah tertentu sejak pemulaan waktu dan bekerja ajeg, ada atau tidak ada yang mengamatinya. Situasi berubah ketika beberapa fisikawan merasa terganggu dengan sejumlah aspek alam yang sulit dijelaskan.
Salah seorang di antaranya adalah Max Born, penerima Hadiah Nobel Fisika 1954. Ketika menetap sementara di India karena Partai Nazi memecatnya dari Universitas Göttingen dan mencabut kewarganegaraannya, Indian Science Association meminta Born memberi kuliah. Ia menulis risalah berjudul “The Mysterious Number 137” untuk kuliah itu.
Sebetulnya ia menunjuk ke dua angka, nilai parameter fisika yang disebut tetapan struktur-halus, fine-structure constant, α, sebesar  serta perbandingan massa proton dan elektron, μ, senilai 1836.
Angka 137 ditemukan oleh Arnold Sommerfeld ketika sedang menelaah struktur garis spektrum atom hidrogen. Formulasinya,  memperlihatkan kombinasi tiga
parameter yang terkait dengan tiga teori berbeda, yaitu teori relativitas (diwakili oleh c: kecepatan cahaya), teori kuantum (diwakili oleh :
tetapan Planck) dan elektromagnetik (diwakili oleh e: muatan elektron).
Melihat kombinasi itu, Born merasa yakin bahwa angka itu memegang kunci yang akan menghubungkan teori relativitas umum dengan teori kuantum.  Keduanya sulit bekerja sama. Teori relativitas umum bekerja di kawasan alam berskala besar yang jauh di luar efek kuantum, sedangkan teori kuantum bekerja pada skala atom tempat gravitasi tidak berperan.
Mengapa angka 137 membuat penasaran? Ada dua alasan. Pertama,  tidak punya satuan ukuran, semisal meter/detik, coulomb atau joule-detik. Dalam formula di atas, e, c dan  terhubung begitu rupa sehingga satuan masing-masing saling meniadakan. Kedua,
merupakan faktor dominan dalam berbagai gejala alam, tetapi tidak ada teori yang dapat menjelaskan asal-usulnya. Maka Richard Feynman menggambarkannya demikian,
Ada persoalan mendalam yang elok terkait tetapan sambatan (coupling constant). . .angka sederhana yang nilainya sekitar 0,08542455 (rekan fisikawan tidak kenal angka ini karena mereka lebih senang mengingatnya dalam bentuk pangkat dua kebalikannya 137,03597). Anda tentu ingin segera tahu, dari mana angka itu datang?. . . Tak ada orang tahu. Inilah salah satu misteri keparat terbesar dalam fisika: angka ajaib muncul tanpa seorang pun mengerti. Boleh saja anda bilang “tangan Tuhan” yang menuliskannya dan “kita tidak mengerti bagaimana Dia menggerakkan penanya”. Kita tahu tarian yang perlu dimainkan untuk mengukur angka itu secara tepat dalam eksperimen; tetapi kita tidak tahu tarian apa yang akan membuat angka itu muncul dalam perhitungan, kecuali kita menaruhnya di sana secara sembunyi-sembunyi. 
Wolfgang Pauli, yang pernah menjadi murid Sommerfeld, ikut penasaran. Selama itu belum ada teori yang dapat menghasilkan nilai muatan elektron, e. Nilainya hanya didapat lewat pengukuran. Tiba-tiba e muncul dalam hubungan dengan c dan  melalui tetapan yang tidak jelas asal usulnya.  Born mmenyebutnya “angka mistik” (Proceeding, 538).
Ada cerita menarik tentang Pauli. Karena mengerti obsesi Pauli terhadap angka 137, fisikawan Abdus Salam mengarang anekdot dalam salah satu kuliahnya. Kalau Pauli mati dan bersua Tuhan, hal pertama yang ia tanyakan tentulah “mengapa 137?” Setahun kemudian, Pauli jatuh sakit dan masuk rumah sakit. Ia dapati nomor kamarnya 137. “Tak bakalan aku keluar hidup-hidup dari sini,” gerutu Pauli ketika Charles Enz menjenguknya. Pauli dirawat sepuluh hari. Ia meninggal di kamar itu.   Born tidak hanya mengaitkan angka itu dengan aneka gejala fisika, tetapi juga dengan metode untuk memaparkan gejala. Seandainya nilai itu lebih besar, “kita tidak dapat membedakan materi dari eter [baca: ketiadaan]”. Konsekuensinya, “tugas kita mengurai hukum-hukum alam menjadi tak terbayangkan sulitnya”. Ia semakin yakin, 137 bukan kebetulan. “Nilai itu adalah hukum alam itu sendiri” (Proceedings, 545).
Konspirasi angka
Dua tahun sesudah ceramah Born di Bangalore, Paul Dirac menghitung nilai perbandingan tetapan alam dan takjub dengan konfigurasinya yang ganjil. Pelbagai hubungan di antara parameter fisika dan kosmologi membentuk dua kelompok angka yang sangat besar, 1039 dan 1078. Kebetulankah? Apakah angka-angka itu sungguh merupakan tetapan alam? Maksudnya, tidak berubah sepanjang sejarah kosmis.8
Jawaban ilmuwan masa kini tidak berbeda dari dugaan waktu itu: tidak berubah! Sesudah menembus masa lalu sejauh 12,4 miliar tahun, mereka mendeteksi perubahan perbandingan massa proton/elektron kurang dari 0,0005%. Sangat masuk akal jika mereka mengabaikan perubahan tersebut dalam bentangan waktu sepanjang itu.9 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FilsafatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang