"Mau ketemu Mas Banyu."

"Banyu?" Dia ngernyitin dahi, dan garis-garis di keningnya itu perlahan memudar pas aku ngangguk.

"Diketuk aja."

"Udah. Orangnya juga udah keluar."

"Lah terus?"

"Aku diusir terus ditutupin pintu."

Bang Aloy yang pertama ketemu di acara orientasi itu ngasih kesan super galak dan omongannya pedes, tahu-tahu malah ketawa.

Beneran ketawa.

Ini dia kurang ajar nggak sih? Kesannya kayak lagi ngetawain aku yang diusir sama Mas Banyu soalnya.

"Bentar ya," katanya setelah setengah berhenti tertawa.

Aku ngangguk, tapi agak bingung juga.

Pas dia buka pintu dan lihat ke dalam ruangan, aku spontan ikutan ngintip. Tapi nggak kelihatan apa-apa kecuali rak-rak tinggi dan poster-poster di dinding.

"Nyu! Ditungguin Agni nih!" seru Mas Aloy terus noleh ke aku. "Apa mau masuk?"

"E-eh ... nggak Bang, aku tunggu di sini."

Dia ngangguk, habis itu masuk.

Dan selang beberapa saat, sosok judes dengan tahi lalat di dagunya itu kembali muncul di depanku.

"Apa?"

"Galak banget!" sungutku tanpa sadar.

Tapi sedetik kemudian aku berdehem pelan pas satu alisnya terangkat.

"Bisa luangin waktu sebentar?"

Dia buang nafas pelan. Sorot matanya sempat teralih ke arah tangga karena kedengeran suara langkah kaki dan percakapan beberapa orang.

"Ada jadwal briefing."

"Bentaran doang!"

Dia sempat mengerutkan kening sambil melihatku.

"Beneran cuman bentar kok!"

"Masalah apa?"

"Pas orientasi kemarin."

Dia sempat diam sambil tetap lihatin aku lekat. Tapi itu nggak bikin aku deg-degan apalagi keder.

Aku akui dia ganteng. Ganteng banget malahan. Sayangnya dia judes, makanya aku biasa aja. Nggak kayak temen-temen cewek seangkatanku yang tadi pagi pada heboh pas lihat Mas Banyu nyiapin sesi kuliah Profesor Luthfi.

Profesor yang ketemu aku dan Aji di tangga.

Asli, beliau juga ganteng! Dulu mudanya pasti nggak kalah ganteng sama Mas Banyu! Ditambah lagi sifat beliau yang ramah dan humoris, bikin sesi kuliah 100 menit kerasa singkat banget. Jelas beliau menang banyak dari Mas Banyu.

"Sudah lewat lama, ada masalah apa emang?"

"Ada masalah apa?" Aku mengulang omongannya dengan mata terpicing.

Obrolan kami disela beberapa kating yang menyapa Mas Banyu. Dari bahasa tubuhnya, juga cara mereka manggil, jelas kalau mereka adek kelas Mas Banyu juga, kayak aku.

"Kalau kamu masih di sini sampai briefing selesai, kita ngomong."

Terus tanpa sepatah kata, dia masuk dan nutup pintu di depanku lagi!

Ini maksudnya aku disuruh diam di tempat? Nungguin depan pintu dan nggak boleh ke mana-mana?? Jadi patung selamat datang gitu???

🔥

💧

🔥

Keberadaan sepasang kaki yang ada di depanku, bikin aku sontak mendongak dan menemukan Mas Banyu berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada.

Dia sudah make jaket warna biru langitnya lagi.

"Bentar," kataku pas mau berdiri tapi kemudian langsung duduk lagi sambil memegang kaki kiriku.

"Kenapa?"

"Kesemutan," sungutku sambil mendongak padanya sekali lagi.

"Suruh siapa jongkok di situ?"

"Kalau aku rebahan, terus ketiduran, Mas mau bangunin? Nggak kan! Yang ada pasti malah ditinggalin!"

Dia diam. Mukanya datar aja pas aku ngegas barusan.

"Jadi ngomong nggak?"

"Jadi!" sahutku cepat, "tapi kakiku masih kesemutan."

Dia menghela nafas agak keras, terus tangannya yang terlipat ganti berkacak pinggang.

Banyu Biru Nalendra.

Itu nama yang ada di jaketnya.

Tapi kayak ada yang aneh.

Nama belakangnya, rasanya aku pernah dengar belum lama ini.

Tiba-tiba ada suara ponsel bunyi.

Jelas bukan ponselku.

Dan kulihat Mas Banyu ngeluarin ponselnya dari saku celana.

"Assalamu'alaikum," ucapnya dengan ekspresi datar.

Aku memukul-mukul pelan kakiku yang kesemutan sambil ngamatin dia, masih dengan kepala mendongak. Karena sejak tadi, aku emang jongkok nggak jauh dari pintu ruang lab buat nungguin dia.

"Sekarang?" Keningnya kelihatan mengenyit.

"Kok tumben? Nggak sakit kan?" tanyanya pada lawan bicara di telepon. Ekspresinya sekilas kelihatan kayak khawatir.

"Ya udah, tungguin. Aku ke sana, assalamu'alaikum."

Setelah ngomong gitu, dia langsung masukin ponsel ke saku celananya lagi.

"Mas mau pergi?" tanyaku sambil coba berdiri karena kayaknya kakiku udah nggak kesemutan lagi.

"Hmm."

"Tapi kan kita belum ngomong! Aku juga udah nungguin Mas sejam lebih sampai kesemutan!"

Kepalaku masih mendongak, tapi sedikit, soalnya Mas Banyu masih aja lebih tinggi meski aku udah berdiri.

"Lain kali."

Habis itu dia tahu-tahu langsung pergi gitu aja.

"Mas!"

Dia nggak nyahut dan terus jalan menuruni tangga.

Serius deh, lain kali kalau ketemu, bakalan kuseret dia!

Nggak peduli kalau nanti aku dimarah-marahin!

Toh jelas dia yang salah sekarang!

Enak aja nyuruh aku nunggu tapi ujung-ujungnya malah ditinggal gitu aja tanpa pamit, plus tanpa permintaan maaf!

Emang minta disumpahin banget biar ngerasain kesemutan sebadan-badan!

🔥🔥🔥


Regards,

-Na-

AGNI (Sudah Terbit)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt