Guilty - Part 23

Mulai dari awal
                                    

Aku membuang pandanganku, "Cinta pertamaku, akan menjadi rahasia, sehingga Daddy takkan mampu mengincarnya lagi. Lagipula, ia sehat dan berhasil. Daddy seharusnya tidak memiliki celah untuk menjatuhkannya apalagi membunuhnya."

Aku segera keluar dari ruang makan dan bergegas masuk ke kamarku tanpa sempat mendengar apa reaksi Ayahku setelah semua aku muntahkan. Aku tidak pernah berpikir bagaimana menghadapi hari esok. Tetapi, selagi ada kesempatan, aku sangat ingin mengatakan seberapa aku benci cara Daddy menghukumku. Aku tak masalah jika dipukul atau bahkan diusir. Aku benci jika itu melibatkan orang lain.

Hazel menghampiriku yang sedang terduduk sendiri di kasurku dengan mata berkaca-kaca. Hazel segera merangkulku dan ia tersenyum tulus padaku.

"Takdir yang melelahkan, bukan?" itulah kalimat pembukanya dan aku hanya menjawab dengan anggukkan sederhana.

"Joseph membenci orang kaya, itu perkataan Lesile yang membekas di otakku. Sekarang, ia akan semakin membenciku," aku tersenyum untuk menutupi betapa kecewanya diriku dengan keadaan.

"Itu bukan salahmu, Anaz. Sama sekali tidak," Hazel berusaha memantapkan hatiku.

"Tetapi, aku adalah anaknya dan selama ini aku hanya diam tanpa bergeming. Padahal, aku bisa melakukan sesuatu," aku menahan isak tangisku. Sementara sebutir air mata sudah mengalir deras membasahi pipiku.

"Apa rencanamu mulai sekarang?" Hazel bertanya kembali padaku.

"Aku akan menemui Sophie lebih sering dan merawatnya. Meskipun aku tidak pantas, aku akan memberikan senyuman di rumah itu. Aku melewati beberapa kenangan di rumah itu," mengingat makan malam bersama Joseph saat itu, membuatku jauh lebih lega.

...

Akhir pekan ini, aku datang menemui Sophie. Aku datang dengan beberapa kantong belanjaan dan bahkan satu keranjang buah segar. Sophie sedang mencuci pakaian saat aku tiba dan ia segera berdiri untuk menyambutku. Ia melihatku membawa banyak sekali barang untuknya.

Aku segera duduk di sofa tua itu dan Sophie tergopoh-gopoh membawakan secangkir teh di hadapanku. Sekarang, ia sudah lebih tenang dan siap berbicara denganku. Seperti biasa, ia harus berganti pakaian saat aku datang.

"Aku akan memenuhi permintaan Louis untuk menemanimu," aku mengatakannya. Tidak, Louis tidak pernah memintaku karena aku tidak akan mendengarkannya. "Anda harus tahu seberapa Louis begitu sayang pada keluarganya," aku menambahkan. Hal itu jelas tidak pernah terucap darinya karena pertemuan kami terlalu singkat.

"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, Anaz. Wajahmu seolah bercerita seberapa berat beban yang kamu hadapi belakangan ini," Sophie tersenyum padaku.

"Ini tidak akan terjadi lagi. Sebentar lagi, masa jabatan Ayahku akan berakhir dan kepura-puraan ini pun demikian," aku tersenyum padanya dan menyodorkan semua barang yang sengaja kubeli. "Semua barang ini, bahkan seribu kali lipat barang ini takkan mampu mengobati luka kehilangan seorang anak. Tetapi, aku berusaha menyembuhkan luka Anda walau hanya satu persen."

Mendengar pernyataanku, air mata Sophie segera mengalir dan itu membuatku semakin tak enak hati. Sophie menggelengkan kepalanya untuk meyakinkan bahwa itu bukan kesalahanku.

"Kamu adalah satu-satunya orang di dunia yang mengunjungiku setelah kematian Louis dan begitu peduli padanya," Sophie sekuat tenaga menelan kembali isak tangisnya.

Melihatnya begitu terluka, menggerakkan hatiku. Aku segera meraih tangannya dan mengelus-elus kedua telapak tangannya.

"Orang sepertiku bahkan tidak pantas memohon bantuanmu. Tetapi, kamu sungguh ingin membayar biayanya saat itu. Kamu berbeda dari Ayahmu," Sophie tersenyum padaku walaupun bola matanya masih meneteskan air mata.

WEARY FATE 2nd Book of Painful Lies (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang