Selamat Tinggal - Part 20

204 9 0
                                    

Aku sama sekali tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan Louis dan Louis. Aku berusaha memejamkan mataku walau sebentar saja, namun jantungku tidak bisa berhenti berdegup kencang. Tubuhku menolak terlelap sama sekali. Tanpa terasa, fajar sudah menyingsing di ufuk timur. Aku berdiri dan benar-benar merasa tidak mengantuk. Aku kehilangan nafsu makanku. Aku penasaran kapan dokter itu akan mengatakannya pada Sophie dan Bernard. Jika boleh, aku berharap, mereka tidak perlu mengetahuinya. Kehilangan anak sama dengan kehilangan seluruh harta di muka bumi, bukankah begitu?

Selesai mandi, aku segera keluar kamar untuk melihat keadaan. Rumahku sepi sekali. Para pelayan baru bangun dan bersiap. Langka sekali aku bangun sepagi ini. Baru beberapa saat aku melangkah keluar, ponselku berdering. Sophie meneleponku. Aku menelan ludahku. Aku paksakan diriku agar jangan menangis sebelum mendengar kabarnya.

"Nona?" sapa Sophie dengan begitu panik. "Maafkan menganggu Nona di jam seperti ini. Tetapi...," Sophie terdengar menangis dengan deras di ujung sana.

Diam-diam, aku pun meneteskan air mataku. Aku membayangkan perasaan hancur kedua orang tuanya. Ponsel pun beralih ke tangan Bernard.

"Anaz, bisakah kamu katakan pada semua orang bahwa Louis sudah meninggal," Benard mengatakan seolah ia biasa saja. Aku masih bisa mendengar Sophie menangis dan memohon pada Tuhan. Aku mendengar rintihan yang menyedihkan itu.

Aku menahan isak tangisku dan berusaha menutupi suaranya, "Meninggal?" ulangku dengan suara parau.

Aku ingin mencubit tubuhku dan sadar bahwa semua ini hanya mimpi. Sebentar lagi, alarm pagi akan membangunkanku, bukan? Terlintas pemikiran bodoh itu di saat-saat seperti ini.

Telepon segera ditutup. Tubuhku begitu lemas. Dokter itu tidak berbohong sama sekali. Aku hanya bisa terduduk dengan berlinang air mata. Harusnya aku sudah menangis kemarin. Tetapi, itu terasa tidak cukup. Entahlah, aku hanya memikirkan bagaimana Sophie dan Bernard akan bertahan hidup.

Jika kematian Louis yang sesungguhnya diketahui mereka, akan lebih menyakitkan lagi. Sehingga aku bertekad menyembunyikannya sampai kapanpun. Louis yang begitu baik dan pintar, ia tidak berhak meninggal dengan cara ini. Dioper dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain? Hidup nomaden? Bukankah itu terlalu kejam untuk dikatakan?

Pastilah arwahnya sudah kebingungan mencari tempat tinggal selama berbulan-bulan. Ia kesepian karena kematiannya tidak langsung dirayakan. Apakah selama ini, ia terduduk di samping Sophie dan jika Sophie mampu melihatnya, ia akan sadar bahwa jiwa dan tubuh anaknya sudah berpisah. Bukankah itu menyeramkan? Tanggal pasti kematian Louis tidak diketahui siapapun. Itu sangat menyakitkan.

Hazel menemuiku yang sedang menangis di atas sofa di pagi hari. Hazel segera terduduk di sampingku dan melihatku dengan saksama, "Kamu tidak berhasil merayu pimpinan rumah sakit, bukan?"

"Aku tidak hanya gagal merayu, tetapi aku juga gagal menyelamatkan nyawanya," aku menangis dan begitu sedih untuk mendongak.

Aku bisa merasakan Hazel memukul pundakku, "Louis sudah meninggal? Aku turut berduka cita, Anaz. Ia masih sangat muda," Hazel segera mengatakannya dan memelukku dengan erat.

Aku berdiri dengan segera, "Aku harus berganti pakaian. Aku akan pergi ke rumah duka," aku mengatakannya.

Hazel tidak mampu mencegahku. Ia membiarkanku berlari ke kamar untuk berganti pakaian. Di dalam kamar pun, aku masih menangis. Aku bisa merasakan seberapa sakitnya kedua bola mataku saat ini. Tetapi, itu tidak penting. Karena yang terpenting adalah aku begitu menyesal atas kematian Louis. Seharusnya, aku bisa menemaninya lebih sering dan membuatnya lebih bahagia.

Saat aku keluar kamar, Ibuku segera memelukku dengan erat. Kedua matanya juga merah dan menampung air mata.

"Maafkan Mommy, Anaz," bisiknya dengan ragu.

WEARY FATE 2nd Book of Painful Lies (COMPLETE)Where stories live. Discover now