Guilty - Part 23

207 12 3
                                    

"Apa perasaan Daddy setelah hal itu terjadi?" kalimat itu mendesak keluar dari mulutku dan sukses merusak suasana damai makan malam hari ini. Tiga hari setelah kematian Louis, aku masih resah dan belum melupakan apapun sama sekali.

Ayahku berhenti memasukkan makanan ke dalam mulutnya untuk sesaat menatapku lebih dekat lagi, malah sedikit mengangkat kacamatanya.

"Apakah Daddy merasa bersalah atau apapun itu?" aku mendesaknya walaupun Ibuku sudah memberikan isyarat berupa gerakan bola mata yang memintaku berhenti berbicara.

"Hm..., kurasa seseorang memberitahumu," Ayahku memutar bola matanya pada Ibuku yang tersenyum lugu di sampingnya.

"Itu saja? Reaksi Daddy setelah membuat sebuah keluarga kehilangan anaknya?" aku sedikit meninggikan nada bicaraku. Aku membanting sendokku di atas piring kaca sehingga bunyi nyaring terdengar.

Ayahku hanya memasang wajah datar.

"Aku rasa, aku bisa memperkirakan bagaimana reaksi Daddy jika itu terjadi padaku," aku bergumam dan memalingkan wajahku.

"Ucapanmu sama sekali tidak relevan. Pertama, hal itu takkan terjadi padamu. Kedua, ia meninggal karena penyakitnya sendiri. Daddy bukan orang yang menanam tumor itu di tubuhnya," Ayahku balas membentakku. Tetapi, kerutan di wajahnya menunjukkan ia memiliki rasa bersalah walaupun hanya satu persen.

"Louis tidak perlu menderita lagi seperti di dunia ini, Anaz," Ibuku hanya menambahkan hal yang sama sekali tidak diperlukan.

"Ketimbang seorang keluarga kehilangan anaknya, bukankah lebih penting seorang wanita kehilangan cinta pertamanya?" Ayahku mengangkat sebelah alisnya dan melanjutkan makan. "Cinta pertama takkan berhasil, percayalah," tambahnya saat mulutnya sudah berisi makanan.

Aku hanya menggelengkan kepalaku, "Cinta pertama?"

Ayahku mengangguk dan tanpa rasa bersalah kembali menunduk untuk melihat piringnya yang berisi penuh makanan.

"Cinta pertamaku, tidak mengidap penyakit apapun. Aku rasa, ia hidup dengan sehat dan baik-baik saja. Daddy sudah salah sasaran dari langkah pertama," aku menegaskannya dan aku menuliskan poin satu untuk diriku.

Kedua orang tuaku diam dan saling bertatapan. Kening mereka sama-sama berkerut.

"Louis adalah cinta pertama orang lain. Daddy seharusnya merasa bersalah pada anak Direktur Min, bukan padaku," maksudku adalah Bianca. Tangisan Bianca mengusik hatiku.

Kemudian Ayahku menatap Ibuku yang terlihat bertingkah jauh lebih tenang darinya. Ia menyipitkan matanya, "Kau sudah tahu semua ini, bukan? Bagaimana tidak, Anaz adalah anak kesayanganmu," tegurnya dengan desahan keras.

"Apa salahnya menolong Louis saat itu? Membayar biasa operasinya takkan membuat kita jatuh miskin, bahkan satu persen pun. Tetapi, itu membuatnya bertahan. Daddy melenyapkan cita-cita seseorang," aku mengatakannya tanpa rasa takut sedikit pun. Semua keberanianku selama sembilan belas tahun kuhabiskan saat ini.

"Itu bukan masalah biaya. Itu untuk mendidikmu, Anaz. Apakah sekarang kamu sadar bahwa hidup tidak sependek belanja?" Ayahku mengatakannya dengan nada yang begitu tegas.

Tak diduga, aku pun meneteskan air mataku. Aku berusaha menahan isak tangisnya. "Tidak bisakah, Daddy menamparku saja? Mengapa seseorang dan keluarganya harus hancur karena diriku? Aku tidak akan berubah dengan cara ini," suaraku bahkan bergetar saat aku berusaha mengatakannya.

Suasana menjadi hening sejenak. Ibuku segera datang menghampiriku dan memelukku dengan erat.

"Daddy tidak pernah membayangkan tangisan Ibunya Louis, bukan? Daddy tidak pernah berpikir setinggi apa cita-citanya, bukan? Aku menangis bukan karena cinta. Tetapi, ada sesuatu yang lebih berharga daripada cinta itu sendiri," aku mengatakannya dan segera berdiri dari meja makan.

WEARY FATE 2nd Book of Painful Lies (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang