Satu

11.4K 1.1K 44
                                    

"Kenapa pernikahannya dibatalkan begitu saja? Kamu pikir ini lelucon, Revan?!" Bentak Ayahnya menatap Revan marah. "Revan... Papa nggak bisa terus biarin kamu seenaknya. Semuanya ada batasannya! Bagaimana bisa kamu batalin pernikahannya begitu saja, padahal acaranya besok Revan! Papa nggak ngerti cara berpikir kamu!" Ayah Revan mengurut pangkal hidungnya terasa pusing mengurus Revan.

Saat ini Revan memang sedang disidang di ruang tamu. Ada ibunya, kakak perempuannya, Revi, dan saudara kembarnya Revin. Revan hanya bisa menundukan kepalanya pasrah. Karena dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya mengakhiri mau Nesa yang membatalkan pernikahan mereka. "Kamu nggak bisa ngomong, ya, Van? Kamu mendadak tuli?" Revin ikut berbicara menatap Revan malas. Revin adiknya, tapi Revin lupa adab berperilaku pada seorang kakak seperti apa.

"Saya dapat panggilan dari Universitas di Inggris, Pa." Revan membuka suara disusul suara pukulan yang keras. Revan memejamkan matanya sejenak meresapi rasa sakit akibat pukulan yang dilayangkan Ayahnya. Hanya itu satu-satunya alasan yang bisa ia gunakan saat ini.

"Anak pembangkang! Susah diatur!" Hardik Ayahnya keras. "Maumu apa, hah! Kamu nggak bisa ya, nggak bikin Papa naik darah sekali saja Revan?! Kamu nggak bisa kayak Revin yang selalu patuh dan nggak bikin malu Papa, hah?!"

Revan kembali memejamkan matanya, rasa pedih dalam dadanya semakin bertambah. Bahkan lebih pedih dari sebelumnya. Saking pedihnya satu titik cairan bening keluar dari sudut matanya. Revan menelan ludahnya yang terasa tersangkut di tenggorokannya.

"Maaf, Pa." Hanya itu yang Revan ucapkan. Dia tidak tahu harus bagaimana. Lagi, mata Revan terpejam saat merasa satu tamparan melayang di pipinya yang lain.

"Mama nggak pernah didik kamu kayak gini, Revan! Mama nggak tahu kenapa kamu kayak gini. Mama pikir pilihan kamu sudah tepat mau menikahi Kekasihmu itu, dan tiba-tiba kamu membatalkannya. Kamu mau bikin malu keluarga kita, hah!" Ibunya yang menampar Revan keras. Dia tidak habis pikir bagaimana jalan pikiran putranya yang satu itu.

Revan hanya bisa diam. Ini sepenuhnya bukan kesalahan dirinya, tapi ini juga masuk dalam keteledorannya. Revan tidak tahu harus memulai dari mana. Dia tidak mungkin mengatakan jika Revin ikut andil dalam pembatalan pernikahan ini. Selalu salah. Itu yang selalu Revan rasakan di rumahnya itu. Revan selalu melindungi Revin dari kesalahan kecil sampai kesalahan besar. Seperti sekarang contohnya.

Revan tahu dirinya memang keras kepala dan sulit diatur. Dia sangat tahu maksud Ayahnya. Semuanya pasti merujuk ke arah perusahaan yang tidak mau dia ambil alih. Revan lebih senang berbagi ilmu dengan menjadi seorang guru dan dosen pengganti. Memang uangnya tidak besar, tapi baginya, itu pekerjaan yang tidak ada duanya. Itu sebuah pekerjaan mulia. Dan Revan sangat bangga akan hal itu. Banyak pertentangan yang akhirnya membuatnya memilih tinggal di sebuah kontrakan kecil dekat tempatnya mengajar. Mobilnya kadang ia titipkan di garasi mobil milik rekan kerjanya.

Sebenarnya, Revan sudah lama tidak mengandalkan uang dari keluarganya. Revan sudah membuka les privat saat dia duduk di bangku SMA sampai dia lulus kuliah. Dan inilah yang akan diulik oleh Ayahnya.

"Sekali lagi, Saya minta maaf, Ma, Pa. Saya nggak bermaksud bikin keluarga malu. Saya--" Satu pukulan menghentikan ucapan Revan.

Revan menatap Ayahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Sudut bibirnya mengeluarkan darah segar. "Batalkan semaumu. Percuma kamu bicara, karena nggak akan merubah keadaan." Ayah Revan segera berbalik kemudian meninggalkan ruang tamu. "Mama kecewa sama kamu, Van." Ibunya ikut berdiri menyusul Ayahnya. "Lainkali, kalau mau sesuatu, itu pikir dua kali, Van. Kamu nggak mikir, undangan udah di sebar. Besok ijab-qabul, dan kamu nggak mikirin perasaan cewek kamu? Egois boleh, tapi jangan kelebihan." Revi memberi petuah pada Revan sebelum akhirnya ikut beranjak dari ruang tamu.

Kini, hanya tinggal Revan dan juga Revin. Revan memejamkan matanya sejenak. Dia menahan pening yang mendera kepalanya. "Sekarang lo bisa nikah sama Nesa." Revan membuka matanya menatap Revin yang terlihat terkejut. Revan tersenyum miring. "Nesa bilang dia sangat mencintai lo. Gue pikir nggak ada gunanya nerusin pernikahan itu. Makanya gue dateng malam-malam ke sini buat batalin semuanya."

Revin menganga tak percaya. "Van, lo..." Revin tak bisa melanjutkan perkataannya. Dia terlalu terkejut dengan ucapan Revan. "Itu artinya Nesa yang--"

"Ya. Nesa bilang semua itu sama gue tadi sore. Gue sempet nggak percaya, tapi lihat mata dia yang kelihatan serius. Nggak ada alasan buat gue nggak percaya." Revan mengedik. "Lo jangan terlalu sering nyakitin Nesa. Kalau sayang sama bajet yang sudah dikeluarin, lo bisa gantiin gue buat Nesa." Revan tahu kalau ini bukanlah perkara yang mudah, tapi Revan memilih mengorbankan perasaannya daripada membuat dua orang terluka sekaligus.

Revin menatap Revan tak percaya. "Lo nggak seharusnya ngelakuin itu, Van. Gue nggak mau lo banyak mengalah terus buat gue. Gue--"

"Karena gue harus, Vin. Gue kakak lo. Itu berarti gue harus bisa mengayomi lo." Revan menyela ucapan Revin cepat. Revan menatap lekat Revin. "Jangan sakitin Nesa lagi, Vin. Gue mau lo belajar tanggung jawab yang sebenarnya."  Sakit memang. Tapi, bukankah cinta tidak akan berkesan jika tidak disertai rasa sakit? Setika senyum miris terbit dari bibir Revan. Membayangkan wanita yang ia cintai bersanding dengan Pria yang wanitanya cintai. Ulu hati Revan terasa ditendang keras membuat rasa ngilu kembali terasa.

Revan tersenyum pahit. "Dicintai memang keinginan setiap insan. Tapi kalau tidak bisa dicintai, mencintai saja pun tak masalah. Karena cinta tidak menuntut harus saling memiliki. Itu yang gue pelajarin, Vin." Revan tak melepaskan tatapannya pada Revin. "Karena melihat yang kita cintai bahagia, itu lebih dari cukup." Revan segera beranjak dari duduknya, disusul Revin ikut berdiri. Revan memeluk Revin menepuk punggungnya kuat sebelum melepaskannya. Revan menepuk kedua bahu Revin. "Bahagia selalu." Setelah mengatakan itu Revan berlalu begitu saja meninggalkan Revin yang termangu menatap nanar punggung Revan.

Revan merasa pandangannya mengabur. Dia memejamkan matanya sebelum kembali membukanya. Mengusap matanya kembali melangkah.
Terkadang, sakitnya cinta akan menjadi cambuk tersendiri agar dirinya bisa lebih berhati-hati dalam mencintai. Tidak selamanya cinta hanya kesakitan. Hanya saja, ujung dari manisnya cinta yang ia reguk meninggalkan pahit yang melekat dalam rongga hatinya.

Revan jatuh, ia merasa sakit di seluruh bagian organ dalamnya. Dia benar-benar jatuh dalam lubang yang bernama cinta.

Sakitnya Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang