Prolog

15.9K 1.2K 39
                                    

"Kenapa kamu ngajak ketemu di sini, Nes? Bukannya pamali ya ketemu pas besoknya mau nikah?" Tubuh tinggi Revan menutupi tubuh mungil wanita yang dipanggil Nesa itu.

Nesa wanita cantik dengan segala kepolosannya membuat Revan jatuh cinta terhadapnya. Siapa yang tidak beruntung bisa dicintai oleh sosok Revan yang luar biasa tampan dan cerdasnya? Suatu kebanggaan tersendiri bagi Nesa.

"Van..." Nesa menatap Revan ragu. Ada yang harus dia akhiri. Mereka tidak boleh terus berlanjut di saat hatinya sama sekali tak memilih Revan.

Kedua alis Revan saling bertaut menunggu sang pujaan melanjutkan ucapannya. Jemari Revan terulur mengusap pipi Nesa. "Kenapa, Sayang? Semuanya aman-aman saja, kan?" Revan bertanya dengan lembut.

Nesa menarik napasnya dalam-dalam. "Kita nggak bisa melanjutkan ini semua," kata Nesa penuh tekad.

Revan membeku, dia menatap Nesa tak percaya. Namun, sedetik kemudian Revan tertawa keras terbahak-bahak. "Kamu lagi ngelawak, ya?" Revan kembali tertawa setelah mengatakan itu.

Nesa mencengkram pergelangan tangan Revan. "Aku serius, Van."

Revan menghentikan tawanya. Dia menatap lekat wajah polos wanita di depannya itu. "Kamu serius? Terus gimana sama pernikahan kita besok?" Revan bener-bener speechles tak menyangka dengan apa yang dikatakan wanitanya itu. "Nesa, sudah bukan waktunya lagi buat bercanda, Nes." Revan menatap Nesa memperingati.

Nesa membalas tatapan Revan. "Aku mintaa maaf, tapi aku memang nggak bisa terusin ini semua. Aku... Aku nggak cinta sama kamu."

Revan bergeming, raut wajahnya tiba-tiba datar. "Terus kenapa kamu terima lamaranku waktu itu? Jika kamu lupa, besok kita akan menikah."

"Aku beneran nggak bisa, Van. Aku nggak cinta sama ka--"

"TERUS KAMU CINTANYA SAMA SIAPA?!!!" Bentak Revan mulai tersulut emosinya.

Nesa memejamkan matanya, air mata merembes begitu saja. "Aku cinta sama Revin," jawab Nesa berani.

Revan diam, sudut bibirnya terangkat menbentuk senyum getir. "Kamu beneran mau batalin semuanya?" Revan menatap Nesa yang menundukan kepalanya. "Jawab, Nesa!" Bentaknya lagi keras. Revan memang begitu, dia mudah tersulut emosinya, tapi dia juga sangat mudah memaafkan.

Nesa menganggukan kepalanya mengiyakan. Revan geram setengah mati, dia mengapit dagu Nesa dengan kedua jarinya agar membalas tatapannya. "Terus kalau kamu nggak cinta, kenapa kamu terima lamaranku? Dan Revin, bagaimana bisa kamu berpaling semudah itu, Nesa?" Suara Revan merendah sarat akan kesakitan yang merajai jiwanya.

Nesa menatap Revan penuh rasa bersalah. "Sebenarnya, aku nggak ada niat sama kamu, Van. Aku sudah lebih lama hubungan sama Revin, kami pacaran. Revin nyakitin aku terus, dan waktu kamu deketin aku. Aku sengaja manasin Revin."

Jemari yang mengapit dagu Nesa terlepas. Tatapan mata Revan berubah dingin siap membekukan siapa pun yang menatapnya. "Ah, cuman pelarian." Revan tersenyum kecut setelahnya.

"Maafkan aku, Van. Aku nggak bisa pura-pura terus. Aku belajar mencintai kamu, tapi tetep nggak bis--"

Revan mengibaskan tangannya meminta Nesa menghentikan ucapannya. Iris matanya memerah. Dia tidak bisa berpura-pura baik-baik saja, karena nyatanya hatinya terluka.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Revan melangkah pergi dari sana. Dia tidak yakin jika dia tidak akan menyakiti wanita di depannya itu. Tanpa kata. Tanpa ucapan perpisahan, Revan berlalu begitu saja. Hatinya terlalu pedih, terlalu sakit untuk menerima semuanya. Lalu, bagaimana dengan besok? Haruskah ia menghancurkan semua taman yang sudah didekor itu? Haruskah ia menarik kembali undangan yang sudah disebar? Haruskah dia membakar semua poto preweding yang sudah dipajang begitu cantiknya di taman? Seketika amarah bergejolak dalam dadanya.

Revan masuk ke mobil, tangannya mencengkram erat stir mobil hingga buku jarinya memutih. Tidak puas hanya mencengkram, Revan memukul stir mobilnya keras. Air mata mengalir membasahi pipinya. Siapa yang bisa percaya, jika dirinya bisa mengalami nasib tragis seperti ini. Dia tidak mungkin memaksakan kehendaknya untuk melanjutkan pernikahan. Dia memang mencintai Nesa, tapi bukan berarti dia bisa memaksa Nesa untuk tetap menikah dengannya. Bagaimana lagi. Cinta tidak bisa dipaksakan. Cinta memang sakit. Ya, sekarang Revan percaya jika Cinta memang menyakitkan.

Jika bisa dilihat keadaan hati Revan, sudahlah pasti hancur sekali. Bak diterjang ombak dan dihempas angin puting beliung secara bersamaan. Mungkin begitulah jika digambarkan.

Bibir tebal seksi Revan terangkat membentuk senyum miris. Dia memang selalu kalah dari Revin. Dan dia memang selalu mengalah. Namun, dia tidak pernah menyangka jika dalam asmara pun dia akan tetap kalah dari Revin. Revin memang lebih baik darinya. Revin lebih bersikap kalem daripada dirinya yang lebih cenderung petakilan.
Sekali lagi, nasib baik tidak berpihak padanya.

Revan memilih melajukan mobilnya tanpa konsentrasi yang baik. Tatapan mata Revan terlihat hampa. Pikirannya berkelana mencari solusi untuk semuanya. Revan baru tersadar saat suara jeritan nyaring terdengar memekikan telinga. Revan segera menginjak rem sekuat tenaga, jantungnya terasa dipacu 2x lipat. Revan mematikan mesin mobilnya. Dia segera keluar dari mobil. Pupil matanya melebar saat melihat seorang wanita terduduk di depan mobilnya dengan celana jeans robek dan sikutnya yang terluka.

Revan segera menghampiri wanita itu. "Maaf, Saya nggak sengaja." Revan menatap cemas wanita yang tengah merunduk meniup lukanya.

Wanita itu mendongak, ia menelan ludahnya susah payah saat tatapan mereka bertemu. Rasa perih kembali terasa, wanita itu meringis kembali meniup lukanya. "Nggak apa-apa, Mas. Saya juga yang ceroboh waktu mau nyebrang," sahutnya masih meniup lukanya.

Revan semakin bersalah. Dia mendesah pelan. "Saya yang nggak bener bawa mobil. Saya bener-bener minta maaf. Kita ke rumah sakit saja, bagaimana?" Tawar Revan berharap wanita itu menganggukan kepalanya.

Wanita itu kembali menatap Revan. Dia tersenyum tipis. "Saya nggak separah itu, Mas. Buat ke rumah sakit. Cuman celana yang sobek dikit, tapi bukan masalah juga sih." Wanita berbibir kecil tipis itu masih tersenyum. Revan terpana melihat senyum yang diperlihatkan gadis itu. Ini gila! Bagaimana bisa dia melirik wanita baru saat hatinya sedang patah. Wanita itu segera bangkit. Diikuti Revan menyusul berdiri. Wanita itu menepuk bagian bokong serta lututnya yang kotor. "Permisi, Mas." Wanita itu menganggukan kepalanya hendak melangkah meninggalkan Revan.

Revan tersadar dari keterpanaannya. Revan mencegah wanita itu pergi dengan menyodorkan kartu namanya yang mengundang kerutan di kening wanita itu. "Ini kartu nama saya. Siapa tahu kamu butuh ke rumah sakit. Memang biasanya awalan terluka itu nggak akan terasa, tapi nanti setelah beberapa jam kemudian." Jelas Revan pada wanita itu.

Wanita itu kembali tersenyum. Dia segera mengambil kartu nama yang disodorkan. "Baikalah, permisi." Wanita itu kemudian berbalik meninggalkan Revan yang masih berdiri termangu di sana.

Revan menggelengkan kepalanya pelan. Wanita itu memang terlihat seperti Nesa. Dia terlihat polos dan lugu. Persis seperti Nesa. Dan dia buru-buru menepis pemikiran itu, karena kepolosan yang ia kagumi tidak lebih mematikan daripada bisa ular. Iya, dia tidak akan lagi terpesona dengan kepolosan yang bersinar dari wajah seorang wanita. Sekarang yang harus Revam lakukan adalah membenahi semua yang seharusnya terjadi besok. Dia harus menanggung malu entah sampai berapa lamanya. Tidak masalah, lebih baik menanggung malu sekarang, daripada menanggung sakit yang semakin berkepanjangan.

Sakitnya Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang