Elang Memeluk Senja - Part II

5.9K 457 23
                                    

"Kamu tahu nggak kenapa bintang sekarang jarang terlihat?" tanya Elang saat kami sedang menikmati malam kami dengan duduk diatas rumput halaman rumahku. Aku menoleh ke arahnya,"Karena banyak satelit yang menghalangi mereka." jawabku. Elang tersenyum dengan mata tak lepas memandang hamparan langit yang malam ini sepi dari bintang.

"Bukan."

"Bukan? Trus kenapa?"

"Karena terlalu banyak yang berharap bintang jatuh agar harapan mereka bisa terkabul." Jawaban Elang membuatku sedikit memutar otak. Bintang jarang terlihat karena banyak orang berharap bintang jatuh agar harapan mereka terkabul? Oke.. Sedikit kurang masuk akal tapi cukup bisa dimengerti.

"Dan saat aku butuh bintang, mereka justru nggak pernah terlihat."

"Kamu butuh bintang? Untuk apa?"

Elang mengalihkan pandanganku. Matanya kini menatapku lekat.

"Untuk mengabulkan doaku agar aku bisa terus mengingatmu." jawaban Elang sontak membuatku terkejut. Kami hanya bisa saling memandang dalam diam lalu kurasakan sesuatu menyentuh dahiku. Itu bibirnya.. Dan kecupan hangat itu membuat pikiran-pikiran buruk yang sempat mampir di dalam otakku musnah seketika. Aku menyusupkan tubuhku dalam dekapannya. Elang menerimaku dengan lengan terbuka lebar. Kami hanya diam sambil memandang langit dalam posisi itu. Cukup lama sampai tiba-tiba sebuah cahaya terlihat melesat diatas kami

"Itu bintang jatuh!" Seruku sambil menunjuk dimana cahaya itu. Kulihat kedua mata Elang terpejam. Ia terdiam seolah tengah menuturkan harapannya dalam hati. Aku pun mengikuti jejaknya.

"Aku ingin Elang selalu mengingatku walau apapun yang terjadi,walau tahun terus berganti, walau jarak memisahkan kami, Amin."

*****
Aku tidak siap untuk ini..

Aku tidak akan pernah siap..

Mengapa bintang tidak mengabulkan doaku?

"Ibu kenapa?" pertanyaan Ratih mengalihkan pandanganku sesaat.

"Nggak apa-apa kok." jawabku sekenanya.

Tapi nyatanya tidak. Aku tidak sedang baik-baik saja. Bagaimana mungkin aku bersikap baik walau pada kenyataannya tidak. Melihat Elang memasuki ballroom dengan menggandeng seorang wanita cantik tentu saja membuat seluruh duniaku runtuh seketika.

"Bu.. Muka Ibu pucat." suara Ratih membuatku tersadar. Jelas wajahku pucat. Wanita mana yang tidak pucat saat melihat pria yang dinantinya selama 8 tahun muncul kembali dengan membawa wanita lain. Bahkan kenyataan yang paling pahit saat ini adalah ia tidak mengenali sosok wanita yang pernah bersamanya selama 5 tahun.

"Bu.. Ibu sakit?" tanya Ratih yang sepertinya sadar bahwa kini aku sedang terguncang, duniaku berguncang hebat.

"Saya permisi pamit ya Tih, salam buat pak Guntoro dan Pak Eko," ujarku yang kemudian beranjak bangkit dari meja yang kutempati. Walau menarik perhatian dari beberapa partner tapi aku tak peduli. Saat ini yang kubutuhkan hanya satu. Aku ingin mengubur wajahku dalam-dalam di bawah bantal lalu menangis sepuasnya.

Alih-alih berada di rumah Aku justru mendatangi Kafe bersejarah yang selama 8 tahun tidak pernah absen kudatangi. Harapan itu selalu bertambah jika aku Mendatanginya. Aku semakin berharap dan terus berharap bahwa ia akan mendatangi kafe ini.tapi nyatanya selama 8 Tahun  tak pernah sekali pun aku bertemu dengannya lagi.

"Senja? Kamu kenapa? Wajahmu pucat." pertanyaan itu datang dari Silla. Pelayan kafe yang telah berubah jadi nyonya bos pasalnya Silla berhasil menikahi pemilik kafe itu.

Box Of LoveWhere stories live. Discover now