Selamat Tinggal - Part 20

Start bij het begin
                                    

"Maaf? Untuk apa?" aku balas berbisik, di tengah-tengah tangisanku.

"Jauh sebelum ini, Mommy menemui pihak rumah sakit secara diam-diam dan mendengar semua cerita mengenai Louis," Ibuku tersenyum padaku dan menghapus air mataku dengan perlahan.

"Mommy sudah tahu? Mengapa diam saja?" aku dengan gusar menanggapinya.

"Untuk apa terluka lebih lama? Setiap harinya, Mommy berdoa semoga semua itu kebohongan dan mereka hanya ceroboh. Ternyata, mereka tidak berbohong."

Aku memeluk kembali Ibuku, "Mengapa Mommy peduli dengannya?"

"Karena ia sudah memperlakukan puteriku dengan baik. Apalagi yang orang tua inginkan? Orang tua ingin agar orang lain memperlakukan anak mereka dengan penuh hormat. Seperti Louis kepadamu," aku bisa merasakan ia tersenyum di bahuku.

Setidaknya, kepergian Louis meninggalkan banyak kesan baik. Bahkan Ibuku berjanji akan mendoakannya agar ia bahagia. Aku pun akan mendoakannya agar di kehidupan berikutnya, hindari wanita jahat sepertiku. Tetapi, hiduplah sehat dan panjang umur dengan perempuan berhati malaikat. Di kehidupan berikutnya, aku siap menerima hukumanku. Semua ini adalah salahku. Aku tidak membuat hari-hari terakhirnya menyenangkan.

...

Pak Jono mengantarku ke rumah duka. Ia memerhatikanku daritadi yang tidak pernah berhenti menangis. Ia diam-diam mencuri pandangan lewat kaca spion atas. Aku menyadarinya. Kurasa, ia ingin bertanya tetapi tidak mampu berkata-kata.

"Apakah Bapak ingat pria dengan sepeda yang selalu aku temui saat turun dari mobil?" tanyaku padanya dan ia segera tersenyum dengan malu.

"Oh, tentu saja. Dia pria paling tampan di sekolah Nona," Pak Jono menanggapi dan tidak berani membantah sama sekali.

"Ia sudah tidak berada di dunia ini. Entah dia berada di mana, tetapi yang pasti, ia berada di tempat yang lebih bahagia daripada di dunia. Karena dunia bukan tempat yang menyenangkan," aku mengatakannya dan Pak Jono segera terbelalak.

"Saya turut berduka cita, Nona," ujarnya degan ragu padaku.

"Jika Pak Jono memiliki orang yang bapak sayangi, tolong jaga dia sekuat tenaga. Jangan biarkan hal buruk menimpanya. Bapak mengerti?" tanyaku dan aku melihat Pak Jono tersenyum padaku.

Aku sampai di rumah duka itu. Aku melihat foto Louis terpampang dan beberapa bunga menghiasi ruangan. Aku melihat Sophie dan Bernard menangis seraya terduduk tak berdaya di meja. Aku datang menghampiri dan tersenyum pada keduanya. Aku memeluk Sophie dengan begitu erat.

"Mengapa Louis pergi begitu cepat? Ia masih muda dan belum melewati apapun dalam hidupnya," Sophie mengeram disertai tangis. Bernard yang duduk di hadapannya hanya mampu menangis dalam ketenangan. Tetapi mata keduanya merah sekali.

"Mengapa tidak menjemputku saja? Aku sudah tidak punya hal untuk dilakukan. Aku ingin menyusulnya saja," Sophie segera mengatakannya dan tamu-tamu yang bermunculan mulai berdoa pada Louis.

"Anda tidak boleh bicara seperti itu. Louis pasti inginkan kedua orang tuanya sehat dan panjang umur. Ia adalah anak yang memohon untuk kepentingan orang lain. Ia tidak pernah peduli dengan kehidupannya," aku segera membantahnya.

"Louis memiliki segudang cita-cita. Tetapi berakhir di usia dua puluh," ia kembali menangis tersedu-sedu.

"Aku akan selalu ada untukmu, tante. Aku akan sering datang ke rumah dan membuat suasana rumah kembali menyala. Jangan menyerah dalam hidup. Louis akan sedih jika mendengarnya. Ia bekerja keras pastilah hanya untuk membanggakan kalian. Dia tidak mau kalian menyerah sampai di sini," aku meneteskan air mataku dan kembali memeluk Sophie.

WEARY FATE 2nd Book of Painful Lies (COMPLETE)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu