RUMIT

28.8K 1.3K 43
                                    

●●●

Langkah Sayla berhenti saat tangannya memegang handle pintu rumah penuh kenangan bersama suaminya. Sayla kembali, bukan untuk rujuk dalam artian menerima nasibnya, melainkan harus mengambil barang yang tertinggal. Laptop dan ponsel, benda yang sangat dia butuhkan.

Ingatannya kembali saat pertama kali dibawa ke rumah ini, dengan status baru, sebagai Istri dari seorang Prima, pria mapan yang hatinya retak.

"Masuk," ajak Prima setelah membuka pintu utama selebar-lebarnya. Mengulurkan tangannya dan disambut gugup oleh Sayla. Wanita itu mengangguk dan ikut melangkah masuk.

Menatap sekeliling, Sayla tersenyum tipis. Rumah itu cukup besar, terlihat rapi, dan nyaman. Barang-barang tidak mencolok dan tidak berlebihan. Cukup sederhana di kawasan Jakarta.

"Mas harap kamu betah di rumah baru kita."

Sayla mengangguk pelan. Dia pasti betah untuk tinggal tapi entah untuk hatinya. Dia hanya peran pengganti dalam pernikahan ini. Ibaratnya, Pahlawan kepagian. Yap. Bukan siang. Karna akad nikah terjadi saat pagi.

Dia harus benar-benar membuang ego demi keharmonisan keluarga barunya. Tidak saling kenal awalnya, benar-benar membuatnya susah. Susah untuk berlagak sok kenal yang akan terlihat aneh, tapi selalu dilakukan.

"Kamu tidur di ranjang, Mas tidur di sofa." Prima membuka jasnya dan menaruhnya di punggung sofa. Tubuh dan hatinya benar-benar lelah.

"Mas," panggilan lirih Sayla masih bisa didengar oleh Prima. Pria itu menoleh menatap Sayla yang sudah duduk di atas ranjang. Masih memakai pakaian bahkan aksesoris pengantin.

Tangannya memukul tempat luas di sisinya. Dengan gugup dia berucap. "Mas tidur di sini." Matanya bergerak gelisah.

"Kamu tidak perlu memaksakan--"

"Kita buat pembatas di tengah, pakai guling." Potongnya pada ucapan Prima. Segera tangan mungilnya menaruh bantal guling di tengah ranjang.

Makin lama, cara-cara sederhana seperti sering mengingatkan, tegur sapa, berbalasan senyum, canda tawa, kebersamaan, menumbuhkan rasa cinta dan sayang juga rasa saling membutuhkan. Di bulan ke empat, mereka mulai mengutarakan perasaan masing-masing.

"Kamu cantik."

Sayla tersenyum malu. Pipinya terasa menghangat. Makan malam di taman belakang, berdua. Di bawah langit yang banyak bertabur bintang, Dua kursi diantara satu meja, makanan lezat, dengan lilin tertancap di tanah, membentuk love, melingkari tempat mereka duduk.

"Makasih."

"Ada yang mau Mas katakan."

"Silahkan." Jantung Sayla berdegup kencang.

Prima terlihat menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Menatap mata Sayla dengan intens.
"Mas cinta kamu."

Mata Sayla melebar. Mulutnya membulat. Raut wajahnya nampak tidak percaya.

"Ya! Mas cinta kamu, Sayla. Bolehkah namamu Mas simpan dalam hati, Mas? Maukah kamu mendampingi Mas susah dan senang, sampai ajal memisahkan kita?"
Prima mengenggam tangan Sayla yang tergeletak bebas di atas meja. Senyumnya mengembang sedangkan Sayla, wanita itu blank.

"Sayla,"

Lamunan Sayla hilang. Dia sadar kembali dan tersenyum. "Sayla mau."

Senyum Prima mengembang. Cintanya berbalas. Sayla pun yakin dengan keputusannya. Dia mencintai Prima, suaminya. Dan berjanji akan terus bersamanya sampai ajal memisahkan.

Sayla menyeka air matanya, mencoba mengatur kembali hatinya yang hancur. Janjinya tempo dulu? Haruskan tetap ditepati walaupun kondisinya seperti ini?

Mengingat kembali kebersamaan bersama Prima membuatnya luluh. Dia yakin, hatinya masih sangat-sangat mencintai Prima, otaknya selalu memikirkan suaminya itu dan tubuhnya, menginginkan kehangatan pria tercintanya. "Satu kali lagi." ucapnya mantap. Mencoba membuka kesempatan.

ISTRI PENGGANTI (Tamat)Where stories live. Discover now